Minggu, 22 Maret 2009

Tabarruk 9

; Jenazah dan Kubur Ulama yang Diambil Berkah
oleh Salafy

Lebih kasihan lagi Ibnu Taimiyah, betapa tidak, pengantar jenazahnya terdiri dari orang-orang musyrik dan ahli bid’ah (versi Wahabisme). Lantas mana kaum muslim monoteis (muwahhid) yang mengantar jenazah syeikh yang konon adalah pengikut salaf saleh, penyebar tauhid, anti bid’ah dan syirik yang ajarannya kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu? Ataukah fatwa sesat bertabarruk itu hanya berlaku bagi selain pengikut Ibnu Taimiyah saja, sehingga bertabarruk dari jenazahnya –yang kata para ulama Wahabisme yang lantas ditaklidi oleh para pengikut awam sekte Wahabisme, “tidak memberikan manfaat ataupun madharat”- diperbolehkan, bahkan dianjurkan? Kembali pertanyaan ini dapat dimunculkan; mana konsistensi para pengikut sekte Wahabisme terhadap akidahnya?

——————————————————-


Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-9)

(Jenazah dan Kubur Ulama yang Diambil Berkah)


Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama Ahlussunnah dari berbagai mazhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari berbagai peninggalan Rasul pasca wafat beliau -terkhusus kuburan suci dan mulia beliau- dan dari para manusia saleh lainnya, kini kita akan melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini kepada kuburan para sahabat Rasul dan ulama mereka.

1- Kuburan Bilal al-Habsyi –seorang sahabat besar dan muadzin Rasul - yang berada di Damaskus (Syiria) adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan Rasul-Nya yang selalu diziarahi dan diambil berkah oleh banyak dari kaum muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari berkah darinya, namun para Waliyullah pun turut berdoa dan mengambil berkah darinya. (Lihat: Rihlah bin Jubair Halaman: 251)

2- Kuburan Abu Ayyub al-Anshari juga termasuk yang diambil berkahnya. Al-Hakim an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala as-Shohihain Jilid: 3 Halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah al-Shofwah Jilid: 1 Halaman: 407)

3- Makam sahabat besar Suhaib ar-Rumi juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan as-Samhudi sendiri pernah mencoba tanah kuburannya untuk mengobati demam. Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin Abdul Mutthalib –paman Nabi dan penghulu para syahid- dimana as-Samhudi menukil ucapan az-Zarkasyi yang menyatakan: “Tanah makam Hamzah diambili oleh orang-orang untuk pengobatan”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 1 Halaman: 69)

4- Salah seorang sahabat Rasul yang bernama Abu ‘Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari -yang dalam kitab Siar A’lam an-Nubala Jilid: 1 Halaman: 279 disebutkan bahwa kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang- kuburannya menjadi salah satu tempat pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah pekuburannya kemudian membawanya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya as-Samhudi Jilid: 1 Halaman: 115)

5- Makam Umar bin Abdul Aziz salah seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H) juga menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh adz-Dzahabi. (Lihat: Tadzkirah al-Huffadz Jilid: 1 Halaman: 339)

6- Pusara salah seorang cucu Rasulullah yang bernama Ali bin Musa ar-Ridho yang kuburannya berada di Thus juga menjadi obyek zizrah dan pencarian berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika kami keluar bersama Imam Ahli Hadis Abu Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah Abi Ali ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang ingin menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus”. Beliau mengatakan: “Aku melihat betapa penghormatan, kerendahan dan perendahan dirinya –yaitu Ibnu Khuzaimah- terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya”. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani Jilid: 7 Halaman: 339)

7- Abdullah bin al-Haddani yang terbunuh (syahid) pada “hari Tarwiyah” di tahun 183 H juga merupakan salah seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah kaum muslimin. Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat misik yang kemudian mereka taburkan di baju mereka. (Lihat: Hilliyatul Auliya karya Abu Na’im al-Isbahani Jilid: 2 Halaman: 258 atau kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani Jilid: 5 Halaman: 310)

8- Kuburan Ma’ruf al-Karakhi pun termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu al-Jauzi dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak menonjol dan diambil berkahnya”. Ibrahim al-Harbi mengatakan: “Kuburan Ma’ruf adalah obat yang mujarab” (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman: 324)

9- Kuburan al-Khidr bin Nashr al-arbali (wafat tahun 567 H) seorang ahli fikih dari mazhab Syafi’i pun kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku telah menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni kuburannya dan mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir Jilid: 12 Halaman: 353)

10- Kuburan Nuruddin Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah pejuang dan penguasa negeri Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 306)- juga termasuk yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya berada di Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak wangir dan dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)

11- Kuburan Imam al-Bukhari (pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau, menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol. Sampai-sampai para penjaga tidak mampu menjaga kuburan tersebut. Kami telah melupakan diri kami sendiri. lantas kami menyerbu kuburan tersebut bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai ke kuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah Jilid: 2 Halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi Jilid: 12 Halaman: 467)

Dan masih banyak lagi kuburan-kuburan lain yang menjadi pusat ziarah maupun pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak, Syiria, Mesir, Yordania, Yaman, Iran dan negara-negara lainnya, termasuk Indonesia sendiri. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para kekasih Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya ataupun mencari berkah darinya, berdasarkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasul melalui sahabat-sahabat mulia beliau yang menjadi sandaran kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa legalitas bertabarruk. Jika hal tersebut tetap dinyatakan –oleh pengikut sekte Wahhaby- sebagai perbuatan syirik maka apa kata mereka ketika melihat bahwa kuburan dan jenazah Ahmad bin Hambal yang diaku sebagai Imam Hadis mereka dan Jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan sama semacam itu oleh kelompok dari mereka sendiri?

Kini kita lihat apa yang terjadi dengan Imam Ahmad bin Hambal dan jenazah Ibnu Taimiyah:

- Ibnu Hambal: Kuburan Imam Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah. (Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah Halaman: 14)

- Ibnu Taimiyah: Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’) jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan jenazahnya memenuhi jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru sehingga kerumunan kian bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban mereka di atas eranda guna mengambil berkah (tabarruk). Kayu-kayu keranda jenazah banyak yang putus akibat terlampau banyak orang yang bergelayutan. Mereka juga meminum air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, untuk memandikan jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; Benang yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya untuk menghalau kutu-kutu pun mereka beli dengan harga seratus lima puluh dirham”. (Lihat: al-Bidayah wa an-nihayah Jilid: 14 Halaman: 136 dan atau juga bisa didapat pada kitab al-Kuna wa al-Alqob Jilid: 1 Halaman: 237)

Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang mati) adalah syirik atau bid’ah maka kasihan sekali Imam Ahmad bin Hambal yang selalu diziarahi oleh para ahli bid’ah dan kaum musyrik. Lebih kasihan lagi Ibnu Taimiyah, betapa tidak, pengantar jenazahnya terdiri dari ‘orang-orang musyrik’ dan ‘ahli bid’ah’ (versi Wahabisme). Lantas mana kaum muslim monoteis (muwahhid) yang mengantar jenazah syeikh yang konon adalah pengikut salaf saleh, penyebar tauhid, anti bid’ah dan syirik yang ajarannya kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu? Ataukah fatwa sesat bertabarruk itu hanya berlaku bagi selain pengikut Ibnu Taimiyah saja, sehingga bertabarruk dari jenazahnya –yang kata para ulama Wahabi yang lantas ditaklidi oleh para pengikut awam sekte Wahabisme, “tidak memberikan manfaat ataupun madharat”- diperbolehkan, bahkan dianjurkan? Kembali pertanyaan ini dapat dimunculkan; mana konsistensi para pengikut sekte Wahabisme terhadap akidahnya? Ini bukti lain dari begitu banyak kerancuan berpikir dan bertindak para pengikut Salafy gadungan yang pada hakekatnya Wahhaby itu.

Setelah kita lalui beberapa urutan kajian tentang argumentasi legalitas pengambilan berkah (tabarruk) dari pribadi atau benda-benda peninggalan Nabi atau orang-orang saleh –baik semasa hidup mereka, ataupun sepeninggal mereka- yang berlandaskan pada argument ayat-ayat al-Quran, prilaku dan ketetapan (taqrir) Nabi, riwayat-riwayat para sahabat mulia Nabi (Salaf Saleh), juga ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang semuanya membuktikan akan legalitas tabarruk. Ini semua menjadi bukti akan kebenaran ajaran dan kesepakatan ulama Ahlussunnah tentang hal ini, sesuai dengan dalil-dalil yang kuat. Dan sebagai bukti pula bahwa tuduhan sekte Wahaby terhadap kaum muslimin yang menyatakan bahwa tabarruk adalah bid’ah atau bahkan syirik adalah tuduhan yang tidak beralasan, tidak berdasar dan memiliki pondasi lemah yang sangat mudah digoyahkan. Selain itu, menjadi bukti pula bahwa, ternyata apa yang diyakini sekte Wahaby selama ini perihal tabarruk tidak sesuai dengan ajaran Salaf Saleh yang konon ajaran dan metode (manhaj)-nya hendak dihidupkan dan disebarkan oleh sekte Wahaby (Salafy gadungan, bahkan mengaku-ngaku Ahlusunnah) pun ternyata tidak terbukti, bahkan keyakinan sekte tersebut justru bertentangan dengan ajaran dan metode Salaf Saleh. Jadi kata “Salafy” dan “Ahlus-sunnah” yang selalu hendak diambil secara paksa dan arogan (rampok) dari kaum muslimin hendaknya ditanggalkan dan segera diberikan kepada pemilik aslinya. Justru nama “Khalafy” dan “Ahlut-Takfir” lebih layak bagi sekte itu, jika melihat dari fenomena cara berfikir dan bertindak mereka.

Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh sekte Wahabi, namun kali ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus kajian ini untuk menjawab beberapa isu pengikut sekte Wahaby yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin. Untuk mempersingkat, kita akan mengambil beberapa problem yang sering mereka lontarkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris Wahaby yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani dalam bukunya yang berjudul: “At-Tabarruk Al-Masyru’” (Tabarruk legal). Kita akan melihat, apakah dalil mereka sesuai dengan pemahaman yang benar berkaitan dengan ayat dan riwayat, ataukah seperti argumen kaum ‘Khawarij’ yang “menerapkan ayat dan riwayat yang diperuntukan bagi kaum kafir dan musyrik namun diterapkan kepada kaum muslimin”. Untuk mempermudah kajian, kita akan memakai cara tanya-jawab antara Sekte Wahaby yang pada hakekatnya adalah Jamaah Takfiri (disingkat: JATAK) yang pada posisi penyebar isu, dan Ahlusunnah wal Jamaah (disingkat: ASWAJA) pada posisi menjawab/menyangkal isu Jamaah Takfiri (Wahaby).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.