Antar Para Sahabat (satu dengan yang lainnya) pun Saling Bertabarruk
oleh Salafy
Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang saleh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya. Baik tabarruk dari diri orang Saleh dan Takwa tersebut, ataupun doanya, maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak saleh dan takwa, apalagi obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi (karena dinisbahkan kepada manusia saleh dan bertakwa, kekasih Ilahi) maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita. Seperti obyek-obyek yang dianggap sakral oleh orang-orang kejawen yang ‘konon’ beragama Islam (Islam KTP). Dan teks-teks agama Islam pun akan berlepastangan dari obyek-obyek semacam itu.
——————————————————————————
Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-7)
(Antar Para Sahabat (satu dengan yang lainnya) pun Saling Bertabarruk)
Jika pada kajian sebelumnya telah kita pahami bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari diri Rasul beserta semua peninggalan beliau dari baju, sandal, piring, gelas, cincin, tongkat hingga mimbar dan kubur Rasul pasca wafat beliau, kini kita akan melihat apakah hanya Nabi saja yang boleh ditabarruki ataukah mencakup para sahabat dan para manusia saleh lain pun boleh diambil berkahnya?
Pertama-tama, kita akan melihat beberapa teks tentang; apakah diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia saleh dan bertakwa pasca masa mereka?
Kita di sini akan melihat beberapa teks yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa, menurut Ahlusunah wal Jamaah, semua sahabat adalah Salaf Saleh yang layak ditiru dan diikuti.
1- Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta doa hujan melalui Abbas (paman Rasul) dengan menyatakan: “Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka tutunkan hujan bagi kami. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang sahih).
2- Dalam kitab yang sama (seperti pada poin no 1 di atas) disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Lantas ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.
3- Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.
4- Ibnu Atsir dalam kitab “Usud al-Ghabah” (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: “Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain”. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.
5- Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: “Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasul”.
6- As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (Jilid: 2 Halaman: 448) menyatakan bahwa; “”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang berhadapan dengan kubur (Rasul, red). Di situ terdapat pintu Rasul yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: “Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini”. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan “Tempat para Pemimpin” (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.
7- Dalam kitab yang sama (seperti pada poin 6 di atas), as-Samhudi (pada Jilid: 2 Halaman: 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya”.
8- Ibn Sa’ad dalam kitab “at-Thabaqoot al-Kubra” (jilid: 5 Halaman: 107) menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Lantas ia berkata kepada Husein: “Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikitpun. Jika engkau berkenan untuk mendoakan kami kepada Allah dengan berkah”. Lantas Husein berkata: “Berikan sedikit air yang kau punya!”. Kemudian diberikan kepadanya air lantas ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi lantas mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancarkan air dengan melimpah” .
9- Ibnu Hajar dalam kitab “as-Showa’iq al-Muhriqoh” (Halaman: 310 pasal ke-3 tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasul, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Lantas ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jelannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)
Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil berkah dari orang-orang saleh dan dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Saleh (sahabat) telah melakukannya.
Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutamaan di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Saleh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik diri orang Salah dan Takwa, ataupun doanya, maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak saleh dan takwa, apalagi obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi (karena dinisbahkan kepada manusia saleh dan bertakwa, kekasih Ilahi) maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita. Seperti obyek-obyek yang dianggap sakral oleh orang-orang kejawen yang ‘konon’ beragama Islam (Islam KTP). Dan teks-teks agama Islam pun akan berlepastangan dari obyek-obyek semacam itu.
Dari riwayat-riwayat juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’ -dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” (Halaman: 261)- dan as-Syatibi -dalam karyanya yang berjudul “al-“I’tisham” (Jilid: 2 Halaman: 9)- dimana keduanya sepakat bahwa; “Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasul saja”. Hal itu karena mereka beralasan bahwa Rasul tidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan lainnya adalah; “Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini (tabarruk kepada pribadi selain Nabi)”. Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; “Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah, sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat”.
Tentu, riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan. Entahlah kenapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, lantas kenapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah Umar telah melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasul tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang semacam as-Syatibi dan al-Jadi’ menvonis sahabat seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?
Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditetapkan bahwa selain peninggalan Nabi, peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkahnya sewaktu masa hidup mereka, lantas bagaimana dengan perkara tadi pasca kematian mereka? Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; bolehkah kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Saleh dan bertakwa? Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan mereka? Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung pada artikel kami pada Tabarruk 6 tentang bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kubur Rasul- dalam postingan selanjutnya akan kita jelaskan akan diperbolehkannya tabarruk semacam ini, dan tabarruk tidak hanya dibatasi pada orang Saleh yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak seperti sangkaan kaum Wahaby yang dengan tegas menyatakannya sebagai syirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.