Oleh: Syeich Abdullah Al-Harory
Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga beliau yang suci dan para sahabat beliau yang mulia dan baik.
Wahai kaum Wahabi, kalian adalah pemeluk agama yang baru. Yaitu agama yang diciptakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Dalilnya adalah sebelum datangnya Muhammad bin Abdul Wahab, para muslimin belum pernah ada yang mengharamkan perkataan ‘Yaa Muhammad’.
Seorang yang telah diberi gelar oleh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai Syeikhul Islam saja, yaitu Ibnu Taimiyah, telah mengakui kebolehan menyebut kata ‘Yaa Muhammad’. Yaitu ketika seseorang dalam keadaan genting dan kakinya terkena khodar (hilang rasa). Beliau berkata, “Dianjurkan bagi seseorang yang kakinya terkena khodar untuk berkata ‘Yaa Muhammad’.”
Dalilnya adalah kisah Abdullah bin Umar r.a. yang suatu ketika tertimpa khodar di kakinya. Rasulullah lalu berkata, “Sebutkanlah nama seseorang yang paling kau cintai!” Maka beliau berkata, “Yaa Muhammad!” dan sembuhlah ia dari penyakit tersebut.
Wahai kaum Wahabi, Ibnu Taymiyah yang telah kalian beri gelar dengan Syeikhul Islam telah memperbolehkan hal tersebut. Sedangkan kalian mengkafirkan setiap orang yang mengatakan ‘Yaa Muhammad’??? Maka Ibnu Taimiyah pun telah lepas tangan dari kalian di dalam masalah ini.
Maka bagaimana kalian bisa mengaku beragama Islam sedangkan kalian tak berada di dalam agama Allah. Dan kalian telah mengkafirkan umat Islam sedangkan mereka belum pernah mengingkari kalimat ‘Yaa Muhammad’. Kalianlah yang pertama kali mengharamkan kalimat ini.
Barang siapa yang mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka dia sendirilah yang kafir. Karena senantiasa mayoritas umat berada di dalam ke-Islaman. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwa beliau berkata, “Umatku akan senantiasa dalam keadaan lurus sampai datangnya hari kiamat atau sampai datangnya perintah Allah.”
Apabila mereka (kaum Wahabi) berkata, “Ibnu Taimiyah tidak mengatakan hal tersebut.”… Bukankah beliau telah mengatakan hal tersebut di dalam kitabnya ‘Alkalim Attoyyib’? Para ulama yang menulis riwayat hidup Ibnu Taimiyah telah menyebutkan bahwa kitab tersebut termasuk dari kitab yang beliau tulis. Di antara ulama yang mengatakan hal tersebut adalah Solahuddin As-Sofdi yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah bahkan sering mengunjungi beliau.
Adapun panutan kalian yang terkemuka yaitu Albani telah mengakui bahwa kitab tersebut adalah karangan Ibnu Taimiyah. Bahkan Albani memberi catatan kaki pada kitab tersebut. Namun Albani berpendapat bahwa sanad perkataan Ibnu Umar ‘Yaa Muhammad’ ketika tertimpa khodar adalah lemah (dlo’if).
Pendapat ini tak dapat kita terima karena terbukti bahwa Ibnu Taymiyah telah mencantumkannya di dalam kitabnya. Yaitu di dalam pasal yang berjudul ‘Apabila Kaki Terkena Khodar (Mati Rasa)’ di dalam kitabnya yang berjudul ’Ungkapan Indah’. Andaikan sanad tersebut memang lemah, lalu bagaimana dengan perkataan Ibnu Taymiyah yang membolehkan hal tersebut…
Jadi siapakah sekarang yang kafir? Orang yang telah kalian beri gelar sebagai syeichul islam atau kalian…? Jadi sekarang kalian telah mengkafirkannya tanpa kalian sadari…. Kalian tak akan berani mengatakan bahwa Ibnu Taymiyah kafir apalagi mengatakan bahwa kalian kafir…
Maka kamilah yang akan mengatakan bahwa kalian adalah segolongan orang yang beragama baru. Karena kalian telah mengkafirkan segenap muslimin dari zaman Rosulullah SAW hingga detik ini. Dan secara tidak langsung kalian juga telah mengkafirkan pemuka kalian Ibnu Taymiyah. Karena beliau telah memperbolehkan perkataan ‘Yaa Muhammad’ pada seseorang yang tertimpa khodar (mati rasa) pada kakinya. Barang siapa yang memperbolehkan atau menganggap baik suatu perkataan yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi kafir maka ia sendiri adalah kafir. Apakah kalian punya jawaban dalam masalah ini…? Inilah hal yang dapat meluluhlantakkan akidah kalian.
Apakah perkataan Albani dapat dijadikan hujjah? Sedangkan dia bukanlah seorang yang ahli dalam menghukumi lemah/kuatnya suatu hadits. Karena ia tak mempunyai daya hapal yang kuat dalam menghapal hadits. Bahkan ia pun tak menghapal sepuluh hadits dengan sanadnya. Apalagi dikatakan sebagai ‘Haafidl’… Dengan pengakuannya sendiri ia mengatakan, “Aku adalah muhaddits kitab, bukan muhaddits hapalan.”
Apabila salah seorang di antara mereka berkata bahwa Ibnu Taymiyah meriwayatkan dari jalur perawi yang masih diperdebatkan kesohihannya. Maka kami katakan, kutipan Ibnu Taymiyah tentang masalah ini di dalam kitabnya adalah dalil bahwa beliau membenarkan hal tersebut. Baik hadits tersebut beliau anggap sohih atau tidak. Karena orang yang mencantumkan suatu hal yang batil di dalam kitabnya tanpa memberi peringatan tentang masalah tersebut, bermakna mengajak dan memperbolehkannya.
erita ini juga diriwayatkan oleh Al-Haafidl ibn Sunni dan Imam Bukhori di dalam kitab beliau Adabul Mufrod dengan sanad yang berbeda dengan sanad Ibn Sunni. Begitu pula Al-Haafidl Ibrohim Al-Harobi, seorang yang memiliki kedalaman ilmu dan sifat waro’ hampir menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal, di dalam kitabnya Ghoriibul Hadist. Serta Al-Hafidl Annawawi dan Al-Hafidl ibn Al-Juzuri dalam kedua kitabnya Alhisnul Hasin dan ‘Iddatul Husnil Hasin. Begitu pula Asy Syaukani yang kalian banyak mengikuti pendapatnya dan tak kalian ragukan kejujurannya.
Wahai para Wahabi, kemana kalian akan lari…??? Sungguh suatu aib yang besar atas diri kalian dan Ibnu Taymiyah sebagai imam kalian…. Bukankah Muhammad bin Abdul Wahhab telah banyak mengambil pendapat dan pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu pemikiran yang banyak bertentangan dengan para ulama...?
Apabila kalian mengatakan, “Kami dalam kebenaran dan Ibnu Taymiyah-lah yang menghalalkan kekufuran dan kesyirikan (yaitu perkataan ‘Ya Muhammad’).” Kami katakan : Kalian telah mengkafirkan pemimpin kalian dalam akidah tasybih dan paham sesat lainnya. Dan kalian sekarang mengakui bahwa kalian telah mengikuti seorang kafir yang banyak pendapat serta pemahamannya dijadikan hujjah dalam akidah kalian.
Kalian telah mengikuti paham Ibn Taymiyah yang menyebabkan kekafiran. Yaitu pernyataan beliau, “Sesungguhnya kalam Allah dan kehendak-Nya adalah haditsul afrod (hal yang baru) dan qodiimun nau’/jins (jenis/macam lama).” Juga pernyataan beliau lainnya, “Sesungguhnya alam adalah azali (tidak mempunyai permulaan) dan bukan makhluk Allah.”
Pernyataan sesat ini telah dikeluarkan oleh seseorang yang kalian jadikan sandaran dan tuntunan dalam akidah kalian… Sedangkan pernyataan ini jelas-jelas telah keluar dari kebenaran alias batil… Namun anehnya, kalian mengingkari pernyataan Ibnu Taimiyah yang justru para ulama telah menyepakati kebenarannya. Yaitu bolehnya ber-istighotsah (mememinta tolong) kepada Rosulullah di dalam keadaan genting dengan berkata ‘Yaa Muhammad.’
Wahai para Wahabi, kalian adalah pendusta ketika menamakan diri kalian dengan Salafiyah. Salafi mana yang mengingkari perkataan ‘Yaa Muhammad’ di dalam keadaan genting…? Penamaan diri kalian dengan nama salafi adalah HARAM. Karena dengan nama tersebut seakan-akan kalian berada pada aqidah salaf…. Sedangkan kalian betul-betul jauh dari aqidah mereka, baik akidah salaf ataupun kholaf sekalipun…
Kalian telah jelas-jelas memeluk agama baru… Karena perkataan ‘Yaa Muhammad’ untuk istighotsah diperbolehkan oleh salaf maupun kholaf, baik di zaman Rosul ataupun setelahnya. Dan hal ini telah disepakati oleh segenap ulama.
Sedangkan yang diharamkan adalah memanggil Rosul ‘ Yaa Muhammad’ di hadapan beliau secara langsung. Yaitu setelah turunnya ayat, “Janganlah kalian jadikan panggilan kepada Rosul seperti panggilan di antara kalian.” Hal ini diharamkan karena ketika sebagian kaum tak berakhlak memanggil Nabi di rumahnya dengan perkataan, “Wahai Muhammad, keluarlah engkau untuk bertemu kami.” Lalu Allah menurunkan ayat untuk mengharamkan panggilan semacam itu.
Terdapat kisah seorang buta yang datang kepada Nabi untuk meminta doa kesembuhan baginya. Nabipun mengajarinya berdoa dengan doa sebagai berikut, “Yaa Allah, sesungguhnya kami meminta dan menghadap kepada-Mu dengan perantara Nabi kami Muhammad Nabi yang penuh rahmat, Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menghadap kepadamu sebagai perantara Tuhanku Allah yang Maha Agung di segala kebutuhanku.”
Doa ini bukan dibaca di hadapan Rosul. Karena setelah beliau mengajarkan doa ini, Nabi mengatakan, “Pergilah kau ke tempat wudhu’ untuk berwudhu’, kemudian sholatlah 2 rokaat dan berdoa dengan doa tadi.” Maka orang tersebut keluar untuk berwudhu’ kemudian sholat 2 rokaat dan membaca doa tawassul tersebut. Lalu kembali ke hadapan Rosul dalam keadaan pulih mampu melihat lagi. Doa ini bukan di hadapan Rosul dan di zaman Rosul.
Begitu pula keyakinan kalian bahwa Tuhan bersemayam di ‘arsy. Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘arsy, maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”.
Kalian juga mengatakan Atta’wil Ta’til (Ta’wil dapat menghilangkan arti) yaitu kalian meniadakan wujud Allah dan sifat-sifat-Nya. Maka batallah akidah kalian dalam melarang takwil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
Adapun kami Ahlus Sunnah mentakwil firman Allah, “Allah sang Maha Rahmat, bersemayam di atas ‘arsy,” dan juga semua ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa Allah menempati arah atau tempat secara dhohir, Allah mempunyai anggota badan atau gerakan atau perpindahan atau semua sifat yang menyerupai makhluk dengan dua takwil, ijmali dan tafsili, seperti yang dikemukakan oleh para salaf dan kemudian diikuti oleh kholaf.
Maka kami katakan, maksud dari semua hal tersebut bukanlah secara dhohir. Akan tetapi mengandung makna yang pantas untuk Allah. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Bila kaif wa la tasybih.” Artinya adalah tanpa bagaimana dan tak menyerupai apapun. Adapun makna tanpa bagaimana menurut ahlus sunnah ialah segala ayat dan hadis di atas bukanlah bermakna jasmani. Dan bukan seperti yang kalian gembor-gemborkan lafadznya (tanpa bagaimana) tapi kalian meyakini kaif (bagaimana) tersebut.
Adapun takwil tafsili juga diyakini oleh sebagian kecil salaf. Sebagaimana keyakinan Imam Ahmad bin Hanbal ketika mentakwil ayat, “Dan telah datang Tuhanmu” dengan “Telah datang pahala Tuhanmu.” Di riwayat yang lain, “Telah datang perintah-Nya”.
Kalian mengatakan kedatangan Allah yaitu dengan turunnya Allah dari ‘arsy ke bumi ini sebagaimana para malaikat turun dari tempat yang tinggi ke bumi di hari kiamat. Apabila Imam Ahmad mempunyai keyakinan seperti kalian, tak akan pernah beliau mentakwil ayat seperti di atas, dan akan mengatakan seperti yang kalian katakan. Adapun takwil Imam Ahmad di atas benar-benar dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, Sebagaimana dikutip oleh Albaihaqi dalam kitabnya “Biografi Imam Ahmad”.
Begitu pula dalam menafsirkan Saaq (tulang kaki bagian bawah) dalam ayat, “Hari ketika disingkap tulang kaki bagian bawah.” Makna saaq di sini menurut salaf adalah kegentingan yang luar biasa (lihat fathul bari). Tetapi kalian artikan saaq secara tekstual yaitu seperti yang dimiliki manusia… Maka dimana kalian dalam mensucikan Allah dari penyerupaan dengan makhluk? Maka jelaslah bahwa nisbah kalian kepada Imam Ahmad adalah nisbah palsu.
Imam Bukhori juga menyebutkan dalam kitabnya 2 takwil di 2 ayat. Yang pertama, “Segala sesuatu akan musnah kecuali wajah-Nya.” Makna wajah ditakwilkan dengan kekuasaan, Begitu pula disebutkan oleh Sufyan Ats-tsawri dalam tafsirnya. Yang kedua ialah ayat, “Mengambil dengan ubun-ubunnya.” Makna ubun-ubun beliau takwilkan dengan kekuasaan. Bukan seperti takwil kalian yang mengatakan makna ubun-ubun (naasiyah) adalah menyentuh. Dan dhohir ayat ialah sesungguhnya Allah mengambil segala makhluk melata di bumi melalui ubun-ubunnya. Sedangkan mustahil bagi Allah untuk menyentuh ataupun disentuh karena itu adalah sifatnya makhluk.
Adapun hadits riwayat Muslim di atas, yang dimaksud dengan kedekatan dalan hadits tersebut bukanlah kedekatan jarak. Begitu pula di semua hadits dan ayat yang secara dhohir menunjukkan bahwa Allah mempunyai tempat atau arah, ditakwilkan oleh para Ulama dan tidak diartikan secera letter luks. Maka bagaimana kalian yang selalu mengatakan “Attakwil ta’til” atau “Attakwil ilhaad”. Akan tetapi mau tidak mau kalian juga mentakwilkan hadits tersebut dan hal tersebut bertolak belakang dengan kaidah sesat kalian “Attakwil ta’til”.
Wallahu a’lam..
apa iya
BalasHapussilahkan dikomentari bagian mana yang kiranya tidak setuju
Hapus