Senin, 16 Maret 2009

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah

Apabila ada orang yang mengharamkan sesuatu dengan berdalih bahwa hal itu tidak pemah dilakukan Rasulullah SAW, maka sebenamya dia mendakwa sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, dakwaannya tidak dapat diterima.

Demikian Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari dalam "Itqanush Shunnah fi Tahqiqi Ma’nal-Bid’ah". Lebih lanjut beliau mengatakan: ”Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah, karena kesibukannya dalam mengurus tugas-tugas besar yang telah memakan sebagian besar waktunya.

Tugas berat Nabi antara lain menyampaikan dakwah, melawan dan mendebat kaum musyrikin serta para ahli kitab, berjihad untuk menjaga cikal bakal Islam, mengadakan berbagai perdamaian, menjaga keamanan negeri, menegakkan hukum Allah, membebaskan para tawanan perang dari kaum muslimin, mengirimkan delegasi untuk menarik zakat dan mengajarkan ajaran Islam ke berbagai daerah dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat itu utnuk mendirikan sebuah negara Islam.

Oleh karena itu, Rasulullah hanya menerangkan hal-hal pokok saja dan sengaja meninggalkan sebagian perkara sunah lantaran takut memberatkan dan menyulitkan umatnya (ketika ingin mengikuti semua yang pernah dilakukan Rasulullah) jika beliau kerjakan.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganggap cukup dengan menyampaikan nash-nash Al-Qur'an yang bersifat umum dan mencakup semua jenis perbuatan yang ada di dalamnya sejak Islam lahir hingga hari kiamat. Misalnya ayat-ayat berikut:

وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ

"Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya." (Al-Baqarah [2]: 197)

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amal itu." (QS. Al-An'am [6]: 160)

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (QS. Al-Hajj [22]: 77)

وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً

"Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikan itu." (QS. Asy-Syura [42]: 23)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ

"Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat biji sawi, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah [99]: 7)

Banyak juga hadis-hadis senada. Maka siapa yang menganggap perbuatan baik sebagai perbuatan bid'ah tercela, sebenamya dia telah keliru dan secara tidak langsung bersikap sok berani di hadapan Allah dan Rasulnya dengan mencela apa yangtelah dipuji.

Dr. Oemar Abdallah Kemel


Komentar:

Gus Nur menulis:
Salah satu bukti kebijaksanaan ajaran Islam adalah Nabi SAW memberi kelonggaran dalam hal keduniawian, yang bernilai mubah kepada manusia. Namun untuk urusan agama dan ibadah, Nabi-lah yang memiliki otoritas untuk dijadikan contoh (uswah).

Nabi SAW-pun mengancam bagi orang-orang yang berbohong (dusta) dan mengatakan bahwa ini dan itu adalah berasal dari Nabi, padahal Nabi SAW tidak pernah melakukannya.

Dicuplik dari akhir paragraf ke-3 artikel di atas (tanpa diedit):
"yang dibutuhkan saat itu utnuk mendirikan sebuah negara Islam"

pertanyaannya:
Apakah kyai-kyai NU 100% setuju dengan artikel dari ulama Mesir di atas? Sepengetahuan saya, banyak kyai NU sekarang yang "alergi" mendengar sebutan "negara Islam", "syariah Islam" dan simbolisasi keislaman lainnya.

Bahkan dalam Muktamar NU yang terakhirpun cukup alot perdebatan tentang asas organisasi, apakah mencantumkan kata Islam atau Pancasila.

Ahmadi menulis:
Ustad,

Contoh apa bahwa nabi tidak melakukan semua perkara Mubah ?. bukankah semua telah Nabi sampaikan sampai pada urusan beliau SholaLLOHu 'alaihi wasallam buang hajad, dalam mendatangi Istri beliau SholaLLOHu 'alaihi wasallam.
Kemudian apakah yang kita anggap baik kemudian juga baik menurut ALLOH dan Rasul-Nya SholaLLOHu 'alaihi wasallam ? Jajang Asfarin menulis:
Saya sebenernya untuk masalah bid'ah dari dulu ruang lingkupnya sudah jelas yaitu untuk amaliya pokok. sedang untuk amliya-amaliya yang ada hubungannya dengan perkembangan zaman maka bisa jadi itu bukan bid'ah (yang dholalah) tapi bid'ah khasanah.

Saya sangat sepakat sekali dengan tulisan DR Oemar, bahwa bisa jadi rosululloh juga melakukan hal-hal yang sifatnya manusiawi pada umunya seperti misal kalau ada jambu, jeruk, pisang dan dll terus dia maem jambu atau pisang bukan berarti jika kita maem jeruk itu bid'ah contoh lain mungkin seperti nabi berdagang bukan berarti jika kita bertani cengkeh itu bid'ah. padahal maem jeruk, bertani itu juga ibadah.

Jadi yang perlu dibenahi saat ini adalah bagaimana kita dalam beribadah pokok bisa lurus ihklas (qualitas terbaik) agar makna ibadah itu bisa bermanfaat. menjadikan islam itu bener-bener rahmatan lil alamin jangan sampai islam jadi momok menakutkan.

Izzah akan terlihat jika islam bersatu.

M. Khudhori menulis:

karena tidak dikenal pada masa Rasul SAW, dan kita harus membatasi dengan adzan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: Sesungguhnya sunahnya Usman ra adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Al-Albani). Beliau (Usman ra) termasuk Khulafa’urrasyidin yang memperoleh petunjuk dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk diikuti.” Jika kita amati dalam manaqibnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ternyata juga melakukan ritual dzikir yang tidak ada nash dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau Syaikhul Islam sehabis sholat subuh selalu membaca al-Fatihah dan mengulang-ulanginya hingga matahari naik (lihat al-A’lam al-Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah: 37-39). Apakah Gus Nur juga akan menganggap Ibnu Taimiyah sbg ahli bid'ah?
Gus,apa njenengan sudah taslim dgn adzan bayi, kok tulsn saya tdk ditanggapi?

Hasani menulis:

Contoh yg tdk dilakukan Nabi, bkn saja Mubah: Hasil setiap Ijtihad dan Ijma. Karena Ijma dan Ijtihad dilaksanakan sesudah Rasul

M. Khudhori menulis:
Alhamdulillah Washsholatu Wasssalamu ala Sayyidina Muhammadin ibni Abdillah, saya ingat sebuah ungkapan “ma fiika dhahara min fiika” yang artinya: “Madzhab (faham) yang engkau anut tampak pada pembicaraanmu (tulisanmu).” Ternyata Gus Nur sekarang lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pandangannya. Dan tampaklah bahwa Gus Nur dengan ungkapannya “Nabilah yang memiliki otoritas untuk dijadikan contoh.” yang halus itu seolah-olah Gus Nur ingin mengatakan bahwa semua ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW adalah bid’ah. Dan juga tampak bagi kita bahwa Gus Nur ini termasuk dalam kelompok orang yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat. Sebenarnya kalau kita teliti banyak sekali ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW, tapi dilakukan oleh para sahabat dan para ulama. Diantaranya adalah: sholat terawih secara berjama’ah, penambahan lafadz: "الصلاة خير من النوم" pada adzan subuh, adzan jum’at dua kali pada masa Sayidina Ustman ra. Dll.
Akan tetapi Syekh al-Albani (dan mungkin Gus Nur) mengatakan dalam kitabnya ”Al-Ajwibah al-Nafi’ah” bahwa adzan jum’at pertama yang dilakukan mu’adzin yang kemudian orang-orang melakukan sholat empat rakaat setelahnya termasuk perkara yang tidak ada dalilnya dalam Sunnah, bahkan hal itu termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan hukumnya telah diketahui.” Padahal Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mengatakan bahwa adzan itu merupakan sunah Sayidina Usman yang telah disepakati kaum muslimin. Maka jadilah adzan itu adalah adzan yang syar’i (lihat Majmu’Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:5/411). Akibat fatwanya ini Syekh al-Albani mendapat serangan yang tajam dari para ulama, bahkan dari kelompoknya sendiri.
Syekh Utsaimin dalam kitabnya ”Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah:638” berkata: ”Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa adzan jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada masa Rasul SAW, dan kita harus membatasi dengan adzan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: Sesungguhnya sunahnya Usman ra adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Al-Albani). Beliau (Usman ra) termasuk Khulafa’urrasyidin yang memperoleh petunjuk dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk diikuti.”
Jika kita amati dalam manaqibnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ternyata juga melakukan ritual dzikir yang tidak ada nash dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau Syaikhul Islam sehabis sholat subuh selalu membaca al-Fatihah dan mengulang-ulanginya hingga matahari naik (lihat al-A’lam al-Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah: 37-39).
email: ibnutsubut@yahoo.co.id

Gus Nur menulis:
To: M. Khudhori,

Komentar dari tulisan anda yang ini kok rasanya tidak jelas juntrungannya. Beberapa masalah anda ramu menjadi satu sehingga rasanya gado-gado.

Tulisan anda tentang adzan bagi bayi sudah saya tanggapi walaupun yang dimuat hanya 1 dari 2 tulisan saya. Tapi tidak masalah.

Sebuah ritual yang anda anggap ibadah dan anda hukumi sebagai "sunnah", apapun namanya, silakan saja anda melakukannya, karena itu adalah hak anda, dan itu juga yang akan anda pertanggungjawabkan di yaum al hisab kelak.

Yang jadi masalah adalah ketika ritual itu dijadikan "ketetapan" bagi banyak orang, sehingga menganggap yang tidak melakukannya dianggap tidak sesuai sunnah.

Contoh: "ketetapan" sebelum shalat adalah membaca "ushalli...", awalnya ini adalah kebiasaan saja, lama kelamaan menjadi ketetapan yang dihukumi sunnah, sehingga orang yang shalat tidak membaca "ushalli..." tersebut dianggap menyalahi sunnah, bahkan dianggap tidak syah.

Ini hanya salah satu contoh.

faisol menulis:
saudaraku GUS NUR yg baik,

sampean ini termasuk golongan orang yg tdk ngerti NU, tp bicara ttg NU...

jadinya, persis spt cerita orang tdk tahu gajah, tp komentar ttg gajah...

dr tulisan sampean di bagian lain web ini, scr implisit diceritakan bhw sampean memahami NU dr buku karya Yth. Bpk. Hartono Ahmad Jaiz...

Saya pribadi sdh membaca tulisan2 beliau... Bg saya, semua kritik adalah sarana u/ memperbaiki diri...

KALO BOLEH, SAYA MAU MENYARANKAN :

Jika sampean masih ingin bicara atau komentar ttg NU, sebaiknya sampean baca karya ilmiah (disertasi S3) pengamat NU dr Prancis yg sdh diterjemahkan & dibukukan :

Judul : NU vis-a-vis NEGARA
(Pencarian Isi, Bentuk dan Makna)
Karya : Andree FEILLARD
Penerbit : LKis Yogyakarta
Jml Hal. : 506+xxvii

tentu sampean paham bgmn akurasi sebuah disertasi doktoral, baik dr segi obyektivitas, kualitas & kadar ilmiahnya...

setelah baca buku tsb, mari diskusi, termsuk pertanyaan2 sampean-> biar lebih ilmiah.

Wahyu Santoso menulis:
gus nur,ahmadi dan wahabiah yang terhormat.Sampeyan selalu menepis hadist2 yang di ucapkan atau ditulis para ulama NU dengan dalih hadistnya dhaif apakah sampeyan tahu asal muasal tingkatan hadist apakah pada zaman rosul ada .sampeyan harus tahu siapa ahmad nasirudin al albani yang banyak menshahihkan hadist beliau hidup jauh setelah fuqoha 4 mazhab apalagi sampai ke rasululloh ratusan tahun coy... sahabat Ali bin abitalib mengatakan "undhur ila ma qaala wa laa tandhur man qaa la" lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang berkata. Jadi intinya kalo itu baik kenapa harus di tepis. huwa allohu'alam bishshowab.......

M. Khudhori menulis:

Alhamdulillah, Gus, yang mengatakan bahwa orang yang tidak membaca usholli sholatnya tidak sah itu ya njenengan thok Gus,saya tidak mengatakannya lo.Masalah usholli itu masalah khilafiyah, sebagian ulama ada yang mensunahkannya (termasuk imam Nawawi, imam Al-Sayrozi,Ibnu Hajar al-Haitami dll dari kalangan Syafi’iyah) dan sebagian yang lain melarangnya. Kalau kita sering ngaji fiqih pasti kita tahu bahwa al-niat mahalluha fi al-qalb. Sedangkan usholli sebagaimana penjelasan para ulama hanyalah sebagai penolong untuk menghadirkan niat di dalam hati. Kalau njenengan tidak setuju yo mboten nopo-nopo kok.Apa njenengan juga akan menganggap imam Nawawi dll sbg ahli bid’ah karena telah mensunahkan membaca usholli?
Mengenai adzan bayi apakah njenengan tetap akan mengatakan bahwa haditsnya dlo’if yang tidak boleh diamalkan.Padahal syekh Albani menganggap hadits itu hasan lo Gus, dan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah juga mencantumkan hadits itu dalam kitabnya al-Kalim al-Thayyib. Gimana..

Jimmy menulis:
To. M. Khudori & Faisol
Apapun isi ubudiyah diatas. Gus Nur akan mencari cari alasan untuk membackupnya. Supaya terlihat seakan-akan amaliyah jamiyah NU tidak ada yang benar. itulah Gus Nur yang sudah tertutup mata hatinya.....yang tidak rela NU semakin besar...contoh kecil ubudiyah diatas menyoroti tentang hal ibadah yang tidak sempat dicontohkan oleh Nabi karena kesibukanya. mereka memvonis Bid'ah.
tetapi Nur mengambil alinia 3 tentang negara Islam. cukup bagus & kelicikannya semakin terlihat. Gus Nur tidak berpikir kalau Indonesia terdiri dari beberapa Pulau. di Pulau A banyak Islamnya.. di Pulau B banyak agama lainnya...apa mau dipaksa untuk Islam semua ya ndak bisa toh...anak SD/MI aja udahngerti ini...eh Gus Nur kok Blo'on...he..he..he...
tapi saya suka ubudiyah ini karena dikantorku sekarang semakin banyak yang mengerjakan amaliyah NU walaupun sebelumnya tidak percaya...karena selalu saca cetak & ditempelkan....trims...

Jimmy menulis:
to: Gus Nur lagi
Kalau anda bilang tidak jelas jelungtrungnya itu pertanda kalau anda tidak tau banyak tentang dasar amaliyah NU. makanya belajar pada sumber yang asli jangan hanya menukil-nukil buku karangan si A dan si B kemudian anda simpulkan/tafsirkan sendiri. dan sukurlah anda sudah mulai mengerti dikit akan perbedaan dan kalau anda yakin menurut anda benar silahkan dikerjakan n lebih mulia bila anda mau belajar terus disini dan turut menjalankan amalan ahlussunnah waljama'ah seperti yang dikerjakan jamiyah NU. saya dulu berkeyakinan seperti anda tapi saya lebih manteb dengan amaliyah ini.

Muslim menulis:

Berdendang/qasidah, walau berbahasa arab, artinya baik, apalagi lagu barat/indo...itu dikategorikan amalan mubah. Rasul sendiri pernah didatangi dua orang juriyah (budak perempuan Arab) bernyayi dengan rebana menyanjung Nabi, Nabi diam sembari memalingkan posisi tidurnya, tidak melihat. Bagaimana dengan baca syair barzanji yang kemudian status hukumnya mubah dinayatakan sunnah.

Zafan menulis:
To Gun Nur :
Unt menetapkan ushalli jadi keharusan, itu tdk boleh. Dlm hal ini kita sepakat. Namnun yg membuat KETETAPAN (misal baca ushalli pd awal shalat) itu siapa ? NU/Kiai NU tdk menetapkan. Yg MENETAP-NETAPKAN itu orang yg tdk ngerti saja atau orang yg tdk suka NU.
Contoh lain : Masalah Tahlil. Dlm hal ini ada tiga permasalahan yg diperdebatkan :
1. Masalah bacaan tahlil
2. Masalah hidangan tahlil
3. Masalah sampai tdknya bacaan ke yg meninggal dunia
4. Masalah waktu pelaksanaan, 3 hari,7 hari,40 hari,100 hari,1000 hari (haul).
Pembedahan :
Unt bacaan tahlil itu bacaan surat2 al qur'an, kalimat2 thaoyibahjadi kita sepakat bhw itu baik dan berpahala. Masalah hidangan,itu sama dgn shadaqoh. Itu sangat dianjurkan oleh al qur'an dan hadits. Tapi perlu diingat itu bukan kewajiban,jika tdk ada uang yaa tdk perlu.Masalah sampainya semua sepakat,ulama madzab 4 juga ulama anda Ibnu Taimiyah. Yg perlu ditekankan adl perkara waktu....
Unt harinya 3,7,40,100,1000 itu bukan penetapan. Misalnya kalau tdk persis hari yg ke 40 maka tdk sah. Tdk boleh seperti itu. Hari 2 itu hanya merupakan kebiasaan/budaya/tradisi (tradisi sebelum islam datang,apakan hindu/budha/animisme/dinamisme atau yg lain).Dan itu tdk masalah kita menggunakan itu. Unt lebih jelas bukan sejarah tahlil.
Jadi penetapan bacaan ushalli, hari2 dlm tahlilan itu kita sepakat,TDK BOLEH. BEGITU JUGA DGN TDK BOLEHNYA ANDA MENGANGGAP BAHWA PENDAPAT ANDA YG BENAR DAN MENEGASIKAN (MENGANGGAP SALAH) PENDAPAT ORANG LAIN SALAH. Sehingga anda tdk mau mentoleransi. Kita boleh mengunggul-ungguilkan pendapat kita tapi jangan mengklaim pendapat orang lain itu salah. Sebagaimana kita boleh mengunggul-unggulkan istri kita paling cantik,paling setia,itu hak anda tapi jika anda menambahi kata2 anda "TDK SEPERTI ISTRIMU". MAKA PERMASALAHANNYA AKAN JADI LAIN.
Proses berzanji kok bisa sunnah ? Begini penjelasannya. Berzanji dlm arti "kulitnya" adalah budaya,yaitu di bacakan/dilaksanakan pada waktu maulid misalnya atau waktu kelahiran bayi. Memang dari segi kuli/luarnya adalah budaya. Tapi dlm berzanji ini budaya diisi dgn shalawat. Sehingga sering disebut shalawa berzanji. Tapi akhirnya shalawa berzanji ini sering disingkat orang dgn sebutan berzanji saja atau syair berzanji. Jadi yg dimaksud berzanji (yg sering kita dengar) adalah shalawat berzanji yg berisi shalawat Nabi. Kita tahukan bhw shalawat itu sangat dianjurkan al qur'an,"innallaha wamalaikatahu yushalluna alan nabi ya aiyyuhalladzina amanu shallu alaihi wasallimu taslima". Jadi yg dimaksud berzanji diatas bukan berzanji dalam arti budaya tapi dalam arti shalawat Nabi. Coba teliti yg dilakukan nabi dgn berpaling itu adalah bernyayi dlm arti budaya. Tapi ngomong2 hadits itu apakah shahih....

Gus Nur menulis:
To: M. Khudhori,
Seyogyanya anda belajar ilmu hadits dulu, sehingga untuk menilai suatu hadits anda telah memiliki bekal ilmu yang mencukupi.

Ada qaidah dalam ilmu hadits, yaitu: al-Jarhu muqaddamun 'ala at-ta'diili, yang salah satu pembagiannya: idza kaana al jarhu mubayyinan as sababa, fa yuqaddamu al jarhu. al jarh (cacat) hendaknya didahulukan daripada pernyataan 'adil, bila si si penjarh (yang menganggap cacat) menjelaskan sebab jarhnya, maka hendaknya didahulukan pernyataan jarhnya.
Silakan anda mempelajarinya.

To:Jimmy, anda menulis:
"Apapun isi ubudiyah diatas. Gus Nur akan mencari cari alasan untuk membackupnya"
Saya membackup yang mana? Saya justru mengkritisi, bahkan sering membantah, anda justru mengatakan saya mem-"backup"?
Sebaiknya anda belajar bahasa dahulu sebelum berkomentar, dan jangan terlalu memaksakan diri untuk memakai istilah asing dari pada ditertawakan kucing.

M. Khudhori menulis:
Alhamdulillah,Washolatu Wassalamu ala Rasulillah,...
Gus Nur,saya tidak tahu dengan cara berfikir njenengan.Mengenai masalah adzan untuk bayi semua ulama dari madzhab 4 mensunahkannya,termasuk Imam Ibnu Taymiah, Ibnul Qayim dan ulama-ulama yang lain.Yang menganggap shohih dan hasan hadits itu adalah Imam Tirmidzi dan Abu Daud.Syekh Albani yang anda kagumi juga mengatakan bahwa hadits itu adl hasan.Kira-kira apakah mereka tidak tahu kaidah yang anda sodorkan? atau (Allahumma wal 'iyadzu billah) njenengan yang keblinger dalam memahami kaidah itu dan diarahkan ke masalah ini?
Saya tidak tahu khilaf njenengan dlm mslh ini,apakah karena amalan ini biasa dikerjakan org NU sehingga njenngn gengsi untk mengamalkannya atau karena kerasnya hati njenengan:Idza qasa al-qalbu la tanfa'uhu al-mau'idhotu. Allahumahdina shirathal mustaqim...
Gus Nur,kaidah yang njenengan sodorkan tidak ada hubungannya dengan masalah ini.Seandainya njenengan mengatakn hadits itu dlo'if, toh menurut kesepakatan ulama ahli hadits hadits dlo'if bisa diamalkan dalam hal fadloil.Adapun ungkapan yang mengatakan bahwa "hadits dloif tidak bisa dijadikan hujjah",maka maksudnya adalah bahwa hadits itu tidak bisa dijadikan hujah dalam hal aqidah dan hukum,sedangkan untuk fadloil yang boleh2 saja, bahkan sunah,sebagimana ungkapan Imam Nawawi dalam Adzkarnya (silakan lihat dalam kitab2 ilmu hadits).Jadi kaedah njenengan tidak ada hubungannya dalam masalah ini alias salah alamat.Wallahu A'lam...
Afwan...

abu addin menulis:
Wah... ternyata untuk masalah perbedaan fikih ubudiyah sangat ramai. Kesan yang saya ambil dari komentar di atas adalah :
1. Sebagian berusaha untuk memberikan informasi tentang hukum suatu amalan ibadah, dan untuk saling berbagi ilmu.
2. Sebagian lagi mengomenteri penuh dengan suatu kebencian dan menganggap amalan ibadah yang dilakukan merasa benar.
Saya mengajak kepada saudara sekalian janganlah perbedaan pemahaman fikih ibadah menjadikan kita buta tentang jati diri kita sebagai seorang muslimin. Ingat orang kafir bagaikan binatang buas yang kelaparan dan siap untuk memangsa kita.

ismu menulis:

saya cinta NU. tapi bukan cinta buta. karena saya bukan "buta".

Muslim menulis:
Terimakasih Pak Ustad Zafan, Alhamdulillah atas penjelasan bab tradisi Barzanji, untuk masalah mengamalkan traidisi model baru shalawat seperti itu, apakah diperbolehkan dalam hukum Islam (sudut fadha'il a'mal) atau tidak, karena masalah hukum sesuatu yang baru dalam agama, Allah-lah yang Maha Tahu. Bolehkah saya mengamalkan yang ada kepastian hukum (haditsnya shahih, sudah pernah dilakukan sahabat/ijtihad) seperti sholat sunnah, do'a usai azan, dan masih banyak lagi amalan sunnah yang didalamnya ada shalawatnya. Daripada ragu, shalawat barzanji misalnya....Untuk Gus Nur argumen anda proporsional dan sistematis, terimakasih atas pencerahanya. Bagaimanapun juga argumen Gus Nur mengadopsi putusan/tarji/fatwa para Ulama dunia terpercaya. Kebenaran hanya milik Allah. Gus

wong NU menulis:

@Jimmy

Walau aku enggak 100% setuju sama tulisan cak Nur, tapi dia itu pinter timbangane kamu, Jim.
Tulisanmu keliatan tidak bermutu, moso' Cak Nur mem-"backup"?
Sing bener ta?
Jim, kamu belajar dulu apa arti backup, backhand, backstreet, back kanan dan back kiri dulu sebelum ngomentar, biar nggak malu-maluin warga Nahdliyin.
Sori yo Jim!
Makanya, jangan mblo'on-mblo'onin orang lain dulu, karena jangan-jangan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.