oleh Salafy
Yang lebih aneh lagi, kenapa sewaktu Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa dalam membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasul dan bahkan beliau sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kenapa ia tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik. Ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal!”.
——————————————————-
Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-8)
(Fatwa-Fatwa Ulama Ahlusunah tentang Legalitas Tabarruk)
Setelah kita melihat berbagai dalil, dari al-Quran dan riwayat-riwayat yang ada tentang legalitas tabarruk (mengambil berkah), baik yang berkaitan dengan tabarruk dari pribadi kekasih Allah (dari para nabi, syuhada dan orang-orang saleh) maka pada kesempatan kali ini kita akan khususkan kajian kita berkaitan dengan fatwa para ulama Ahlussunnah berkaitan dengan legalitas tabarruk.
Kita akan melihat beberapa fatwa ulama Ahlusunnah dari empat mazhab besar Ahlusunnah. Tentu, Ijma’ (konsensus) mereka ini berdasarkan pada ajaran al-Quran dan kesepakatan (ijma’) para sahabat mulia Rasul. Walaupun tidak pernah Rasul secara jelas memerintahkannya namun diamnya Rasul ketika melihat para sahabat melakukan tabarruk merupakan bukti akan legalitas perbuatan tersebut. Karena diamnya Rasul (sukuut a’lal ‘amal) berarti persetujuan (taqrir) Rasul. Bukankah kita (kaum muslimin) meyakini bahwa Rasul –sebagaimana nabi-nabi sebelumnya- diutus oleh Allah untuk mengajarkan tauhid dan memerangi segala bentuk syirik, dan mengikuti syariat Allah yang diturunkan melalui para nabi dengan menjauhi segala macam bid’ah? Jika bertabarruk merupakan perbuatan yang tidak diajarkan oleh syariat Islam (baca: Bid’ah) ataupun tergolong syirik kepada Allah niscaya Rasul-lah pertama orang yang akan menegur para sahabatnya dan melarang mereka melakukan hal tersebut. Atas dasar inilah, para ulama muslim Ahlusunnah berijma’ akan legalitas tabarruk dalam syariat Rasulullah. Hanya sekte Wahaby (Salafy gadungan) saja yang mengingkarinya, seakan syariatnya berbeda dengan syariat yang dibawa oleh Rasul dan bertentangan dengan apa yang disepakati oleh para sahabat (salaf saleh) yang konon ajarannya hendak mereka hidupkan. Entah Salaf Saleh mana yang mereka maksud.
Kita akan menukil beberapa contoh fatwa ulama Ahlusunnah sesuai dengan urutan berdirinya mazhab tadi dari sisi zaman dimana fatwa-fatwa mereka dapat mewakili mazhab mereka;
I- Fatwa Ulama Mazhab Hanafi (Pengikut Imam Abu Hanifah)
- Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: “Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan dada”. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruh) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya” (Lihat: Syarh as-Syifa’ Jilid: 3 Halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1404)
II- Fatwa Ulama Mazhab Maliki (Pengikut Imam Malik bin Anas)
- Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Mawahib Jilid: 8 Halaman: 315).
- Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: “Tiada kerguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasul) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)” (Lihat: Kanzul Matholib Halaman: 20 dan Masyariq al-Anwar Jilid: 1 Halaman: 140).
III- Fatwa Ulama Mazhab Syafi’i (Pengikut Imam Ibn Idris)
- Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencim segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
- Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i Jilid:1 Halaman: 276)
- Syeikh Muhibbuddin at-Thabari berfatwa: “Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan perbuatan para ulama dan orang-orang saleh” (Lihat: Asna al-Matholib Jilid: 1 Halaman: 331 atau sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1407)
- Syeikh ar-Ramli as-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib karya al-Hamzawi Halaman: 219)
- Syeikh al-‘Azami dalam menaggapi ungkapan Ibnu Taimiyah yang mengatakan; “Barangsiapa yang mengelilingi (thawaf) kuburan orang-orang saleh maka ia telah melakukan salah satu dosa besar”, beliau menjawab dengan fatwanya: “Ia (Ibnu Taimiyah) telah mengatakan ungkapan yang ambigu. Terkadang ia menyatakan bahwa hal itu adalah termasuk dosa besar, terkadang tergolong syirik atau semisalnya. Padahal banyak ulama peneliti dan para pakar fikih yang sangat detal (dalam berargumen) telah melakukan pembahasan sebelum ia lahir beberapa ratus tahun sebelumnya. Ia enggan untuk mengikuti mereka kecuali hanya mengingkari mereka. Terkadang ia mengaku adanya kesepakatan (ijma’/konsensus) atas apa yang dinyatakannya. Padahal seringnya, kesepakatan telah terjadi sebelum dia lahir dan kesepakatan itu bertentangan dengan apa yang dikemukakannya. Hal ini akan bisa dipahami oleh orang-orang yang meneliti semua ungkapannya dan dibandingkan dengan ungkapan orang-orang sebelumnya juga orang-orang setelahnya yang tergolong orang-orang yang memiliki pemahaman yang lurus dan pemilik jiwa kritisi yang sehat. Sebagai contoh: mengusap kuburan ataupun mengelilinginya yang dilakukan oleh banyak orang muslim dimana orang-orang alim dalam hal ini terdapat tiga golongan pendapat; (1) Diperbolehkan secara mutlak, (2) pelarangan secara mutlak namun pada tahap memakruhkannya secara keras namun belum sampai derajat haram, dan (3) mendetailkan hukum dengan membedakan antara orang yang memiliki perasaan rindu yang sangat terhadap yang diziarahinya dimana hal ini tidak dimakruhkan dengan orang yang tidak (memiliki perasaan rindu) dimana hal itu lebih baik ditinggalkan. Dan jika anda merenungkan perkara-perkara yang dijadikan obyek pengkafiran kaum muslimin…kembali kepada dua premis (mukaddimatain) dimana mayor (kubro) dari keduanya dapat diterima yaitu; Semua peribadatan kepada selain Allah adalah syirik…dan minor (sughro) dari keduanya terdapat kebohongan yaitu; Semua seruan (panggilan) untuk mayit, atau yang tiada (ghaib), atau mengelilingi kuburan, atau mengusap-usapnya, ataupun menyembelih dan bernazar untuk penghuni kubur tergolong penyembahan selain Allah (syirik)” (Lihat: Furqon al-Quran Halaman: 133)
IV- Fatwa Ulama Mazhab Hambali (Pengikut Imam Ahmad bin Hambal)
- Dinukil dari Ibnu Jamaah (as-Syafi’i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah) meriwayatkan: Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasul dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah. Beliau menjawab: “Tidak mengapa” (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1414).
- Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H- dalam kitab “Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al”. Dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hambal pada cetakan/bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham Jilid: 18 Halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidz (penghapal/penjaga) yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidz lainnya yang menyatakan bahwa; Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hambal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbarnya. Lantas beliau berfatwa: “Hal itu tidak mengapa”. Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: Lantas kutunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”. Lantas (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi: “Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lantas meminum air bekas cucian tadi” (Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi Halaman: 609, atau Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir Jilid: 1 Halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).
Ini adalah contoh-contoh dari fatwa para ulama Ahlusunnah yang jauh bertentangan dengan fatwa para ulama Wahabisme yang mengambil fatwanya dari Muhammad bin Abdul Wahhab dimana iapun mengadopsi fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah. Yang lebih aneh lagi, kenapa sewaktu Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa dalam membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasul dan bahkan beliau sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kenapa ia tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik. Ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal!”. Ini bukti tidak konsistensian dan ketidakkonsekuenan Ibnu Taimiyah yang hingga saat ini diteruskan oleh orang-orang yang taklid buta kepadanya yang terhimpun dalam sekte Wahabisme. Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari kerancuan berpikir dan bertindak seperti mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.