Minggu, 22 Maret 2009

Tabarruk 6

Mengambil Berkah dari Pusara (Kuburan) Rasul
oleh Salafy

Apakah kaum Wahaby memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul yang telah bertabarruk (mencari berkah) terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kubur adalah perbuatan syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun orang awam biasa. Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa mereka (Wahaby) tidak konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya yang masih sarat dengan kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran mereka (Wahabisme) yang mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika mereka merasa benar sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku paling monoteis (muwahhid)!!!

————————–


Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-6)

(Mengambil Berkah dari Pusara (Kuburan) Rasul)
Pada kajian lalu telah kita sebutkan beberapa hadis yang menjelaskan bahwa para Salaf Saleh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan Rasul seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Rasul dan lantas mengusapkannya ke mukanya, dimana semua itu, kini, jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan Wahaby terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya terhadap mimbar Rasul.

Kajian dan telaah kita sekarang berkaitan dengan diperbolehkannya pengambilan berkah (tabarruk) -dalam syariat Rasulullah SAW- yang pernah dicontohkan oleh para sahabat mulia Rasul. Kali ini, lebih akan kita konsentrasikan pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kubur’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang selama ini mengaku-ngaku penghidup ajaran Salaf Saleh (Salafy) dan bersikeras untuk diaku sebagai pengikut Ahlusunah wal Jamaah. Padahal ajaran mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Saleh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jamaah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kubur Rasulullah saw. Kaum muslim yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan Wahaby ketika mereka hendak menyentuh –apalagi mengusap-usap- dinding yang mengitari makam Rasulullah, untuk mencari berkahnya.

F- Tabarruk Para Sahabat dari Kuburan Nabi:

Pada kesempatan kali ini, kita akan sebutkan beberapa teks hadis yang jelas-jelas dengan tegas menjelaskan bahwa para sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh telah melakukan tabarruk terhadap kubur (makam) mulia Rasulullah. Sebagai contoh seperti yang di bawah ini:

1- Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: “sadarkah apa yang telah engkau lakukan?”. Kemudian lelaki itu menengok ke arah Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari) dan mengatakan: “Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasul. Aku pernah mendengar Rasul bersabda: Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menagis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah”.” (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadis ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404)
Hadis di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan kesasihahannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadis lain yang meragukannya.

Atas dasar hadis di atas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad hadisnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayalkan’ oleh kaum Wahaby.

Lantas, jika apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari -seorang sahabat besar Rasul- itu tergolong perbuatan syirik (yang dinyatakan oleh kaum Wahaby) maka; mungkinkah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik? Apakah beliau tidak mengetahui bahwa apa yang telah diperbuatnya tersebut (tabarruk dari kubur) tergolong syirik? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)? Mana bukti bahwa Wahaby membenarkan dan mengikuti metode (manhaj) dan sepak terjang Salaf Saleh?

2- Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasul. Beliau bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidakperhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?”. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasul) datang. Lantas Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Lihat: Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar Jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)

Lantas apakah kaum Wahaby lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka di atasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasul?

3- Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)

Lantas apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasul? Kenapa sekarang jika kita menziarahi Rasul dilarang keras oleh ulama Wahaby untuk berdiri di hadapan pusara Rasul, apalagi berusaha memegang terali besi penutup pusara Rasul beserta kedua sahabatnya itu. Pasti akan langsung divonis pelaku syirik oleh para rohaniawan sekte Wahabi yang berkeliling menjaga kuburan Rasul dengan disertai tentara itu?

4- Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa; sewaktu Rasulullah dikebumikan, Fatimah –puteri Rasul satu-satunya- bersimpuh di sisi kuburan Rasul dan mengambil sedikit tanah makam Rasul kemudian diletakkan dimukanya dan sambil menangis iapun membaca beberapa bait syair…. (Lihat: al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar Jilid: 2 Halaman: 18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid: 2 Halaman: 340, Irsyad as-Sari jilid: 3 Halaman: 352, dsb)

Lantas jika apa yang dilakukan Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka kenapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang dilarang oleh Rasul (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasul yang tergolong Salaf Saleh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahaby?

5- Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kubur Rasul). Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Lantas beiau langsung bangkit dan menuju pusara Rasul dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasul kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Lantas beliau menjawab: “Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444)

Atas dasar hadis-hadis tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (Jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering mengambil tanah dari pusara Rasul. Lantas Aisyah (ummul mukminin) membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di atasnya”.

Lantas masihkah kaum Wahaby yang mengatasnamakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Saleh (Salafy) itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kubur adalah syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun orang awam biasa. Beranikah mereka mengatakan bahwa para Sahabat telah melakukan syirik karena terbukti mereka telah melakukan tabarruk? Apakah kaum Wahaby memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul yang telah bertabarruk terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa mereka (Wahaby) tidak konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya yang masih sarat dengan kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran mereka (Wahabisme) yang mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika mereka merasa benar sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku paling monoteis (muwahhid)!!!

Trus, bagaimana dengan kuburan para ulama dan manusia-manusia saleh yang dipercaya sebagai kekasih Ilahi? Bagaimana fatwa para tokoh ulama Ahlusunah wal Jamaah (non Wahaby) tentang masalah ini?

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.