Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah saw :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية فاقدروا له ثلاثين
" Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah saw:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
" Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh "faqduru lahu" dalam hadits di atas setelah menjama' beberapa riwayat yang ada.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1 ) , hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh " faqduru lahu " dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah saw :
إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
"Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari."(HR Bukhari dan Muslim)
Artinya hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model “ wujudul hilal.”
Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan model “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta'an.
Realita Penentuan Ramadhan 1433 H
Kesaksian terlihatnya hilal atau bulan sabit terbaru dari Cakung, Jakarta Timur sering menjadi kontroversi. Kemarin, dalam sidang itsbat kementerian agama RI untuk menentukan awal ramadhan 1433 H, hal ini terjadi lagi. Ketika semua perukyat dari berbagai ormas islam lainnya di seluruh indonesia tidak berhasil melihat anak bulan sabit (hilal), tim rukyat di Cakung mengklaim melihat bulan pada ketinggian 3,5 derajat pada pukul 17:53 WIB selama 5 menit.
Bagaimana menyikapi hal seperti ini? Benarkah kesaksian dari Cakung ini? Pantaskah ia ditolak oleh sidang itsbat?
Dari munculnya kontroversi berkenaan dengan hasil rukyat
cakung dimana hal tersebut menimpulkan polemik dikalangan masyarakat
< bahkan dengan kengototannya pihak yang pro hasil rukyat Cakung
mengatakan telah terjadi ketidak amanahan ilmu dalam menentukan 1 ramadhan
.
Beberapa tulisan yang muncul mendukung Rukyat Cakung bahwa
hasil pengamatan hilal di Cakung kemudian dibawa ke sidang Isbat yang diselenggarakan
oleh Kemenag. Tapi apa yang terjadi di ruang sidang? Kesaksian empat warga
Cakung tersebut ditolak dengan alasan, secara teori tidak mungkin Hilal sudah
dapat dilihat. Menurut Kemenag, Imkanul Rukyah (keboleh nampakan) bulan itu,
hanya terjadi ketika bulan sudah berada 2 derajat di atas ufuk pada saat
matahari terbenam. Sedangkan menurut hisab Kemenag, saat itu ketinggian hilal
masih di bawah satu derajat. Maka (menurut mereka), TIDAK MUNGKIN Hilal
dapat dilihat, sehingga kesaksian empat warga Cakung dinyatakan tidak syah.
Kalau Kemenag sudah memiliki Imkanul Rukyah seperti ini, kenapa mengajak
masyarakat untuk melakukan Rukyah. Bodoh atau hanya sedang membuat lelucon? Toh
kalau ada yang melihat akan dikatakan “TIDAK MUNGKIN”.
Pada titik itulah yang saya sayangkan. Penggunaan metode
yang tidak konsisten seperti ini yang membuat kita patut menduga, ada aroma
ketidak tulusan Kemenag dalam menyelenggarakan sidang Isbat. Ada bau “busuk”
kepentingan kelompok yang ingin ditonjolkan. Karena jika kita mau konsisten,
kesaksian satu orang saja sudah cukup untuk menentukan awal Ramadan.
Sebagaimana dijelaskan Oleh Syekh Bin Bazz :
Penetapan hilal cukup dengan satu orang saksi saat
masuknya bulan Ramadhan, seorang saksi yang adil menurut mayoritas ulama, berdasarkan
hadits dari Ibnu Umar t, ia berkata:
((تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ باِلصِّيَامِ))
“Orang-orang mengamati hilal, lalu aku mengabarkan kepada
Nabi r bahwa aku telah melihatnya, maka beliau r puasa dan
menyuruh semua orang berpuasa.”[i]
Dan berdasarkan hadits dari Rasulullah Saw bahwa seorang
arab badawi bersaksi di sisi beliau bahwa ia telah melihat hilal, maka Nabi
bersabda:
“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Allah I dan aku adalah utusan Allah I?” Ia
menjawab: ‘Ya.? Lalu beliau menyuruh puasa.’[ii]
Bahkan Rosulullah saw pun bisa menerima kesaksian dari satu
orang arab badui dalam menentikan awal Ramadan. Rosulullah tidak mengenal
terminologi Imkanul Rukyah.
Sampai di sini, setidaknya ada dua inkonsistensi Kemenag
dalam menetapkan awal Ramadan, Pertama : tidak menerima kesaksian empat orang
dari Cakung bahwa mereka telah melihat hilal (Padahal Rosul saja mau menerima
kesaksian seorang arab badui). Kedua : adanya kriteria Imkanul Rukyah yang di
jaman Rosul tidak dikenal.
Semestinya, penggunaan metode Rukyatul Hilal dalam penentuan
awal bulan baru membawa konsekuensi logis bagi diterimanya hasil Rukyah dari
orang yang mengaku melihat hilal (di bawah sumpah). Jika itu tidak
dilaksanakan, buat apa diselenggarakan Rukyah? Pemerintah mempersilahkan
masyarakat untuk melihat hilal sebagai penentu awal bulan, tapi ketika ada yang
mengaku melihat hilal, pemerintah mengatakan “ITU TIDAK MUNGKIN”. Apa yang bisa
kita bilang dari fenomena seperti ini kalau bukan DAGELAN ISBAT yang tidak
LUCU?
Jawaban dari tulisan diatas
Dalam menyikapi kesaksian rukyat di pantai Cakung Jakarta
Timur sebagian kalangan berargumen "Walaupun secara hisab tidak ada
kemungkinan hilal bisa dirukyat akan tetapi jika Alloh menghendaki kenapa harus
ditolak?". Dalam kaedah ilmu hakekat argumen tersebut tidaklah salah, akan
tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan hukum syar'i, karena hukum
berdasarkan kenyataan bukan hakekat.
Syarat pertama kesaksian rukyat hilal adalah adilnya seorang
saksi (Al-Adalah/Kredibel) dan yang kedua adalah adanya obyek hilal yang bisa
dilihat secara indera, akal, adat dan syara'. Jadi apabila ahli hisab sepakat
secara ilmiah tidak mungkinnya hilal untuk dilihat, maka kesaksian seseorang
atau beberapa orang adil sekalipun yang menyaksikan hilal harus ditolak, karena
hisab adalah qothi sedangkan rukyat adalah dhonni, I'anatut Tholibin juz 2 hal
216 (Maktabah Syamilah 3.8)
Kesaksian melihat hilal tidaklah serta merta harus diterima
hanya karena saksi bersedia untuk disumpah. Hilal bukanlah benda gaib, hilal
adalah obyek nyata yang bisa diamati, dianalisa dan diprediksi posisi
keberadaannya secara ilmiah. Kesaksian yang tidak rasional memang seharusnya
ditolak. Misalnya, ketika hari sedang mendung, kemudian pada pukul 5 sore
seseorang menyerukan bahwa sudah tiba saatnya berbuka puasa karena telah
melihat matahari terbenam di ufuk barat, yang demikian itu tidak bisa diterima
walaupun kesaksian tersebut diperkuat dengan sumpah sekalipun.
Pun juga kesaksian melihat hilal di Cakung Jakarta Timur
memang seharusnya dipertanyakan karena tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan
yakni hisab hakiki (qoth'i). Seperti halnya yang terjadi pada saat penentuan1 Syawal tahun yang lalu memang sebagian hisab taqribi (hisab yang
perhitungannya belum menggunakan segitiga bola) mengklaim bahwa ketinggian
hilal pada tanggal 29 Agustus 2011 tersebut sudah mencapai 3-4 derajat. Akan
tetapi berdasarkan penelitian kami sepuluh tahun terakhir ini hasil perhitungan
dengan hisab taqribi jauh dari realitas di lapangan dengan pengukuran yang
seksama menggunakan perangkat theodolite. Dan ketidak sesuaian hisab taqribi
ini juga bisa dibuktikan ketika terjadinya gerhana bulan maupun gerhana matahari
yang mana kesalahannya mencapai 1 jam.
Untuk itu menurut hemat penulis agar tidak menambah
perselisihan dalam penentuan awal Romadlon, Syawal dan Dzulhijjah diantara para
ahli hisab sendiri, sebaiknya tidak menggunakan hisab taqribi dalam penyusunan
kalender hijriyah, bersikaplah obyektif dalam menilai keakurasian sebuah metode
hisab karena kitab hisab bukanlah kitab suci yang tidak boleh dikritisi. Kitab
hisab/falak seharusnya dikoreksi terus-menerus dengan melakukan pengukuran
seksama terhadap matahari dan bulan agar sesuai dengan perkembangan zaman dan
realitas yang ada.
Seperti diberitakan beberapa media televisi, seperti di
TvOne bahwa hilal awal Syawal 1432 hijriyah terlihat di Cakung Jakarta Timur
dengan ketinggian 3,5 derajat. Andaikata klaim itu dianggap benar tentu satu
hari berikutnya 30 Agusuts 2011 ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5
derajat karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12
derajat. Akan tetapi realitasnya satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib
hanya 14° 10' 50"
Setelah tidak berhasil melihat hilal pada hari Senin, 29
Agustus 2011, kami Lajnah Falakiyah NU Kabupaten Gresik bersama Lajnah
Falakiyah NU Surabaya dan Lajnah Falakiyah Lanbulan Madura melakukan observasi
hilal pada hari berikutnya (Selasa, 30 Agustus 2011) di bukit Condrodipo
Kebomas Gresik koordinat 112° 37' 2,5" BT, 7° 10' 11,1'' LS.
Dalam observasi ini kami menggunakan tiga theodolite, Nikon
NE-202, Nikon NE-102 dan theodolite China. Sebelum pengamatan hilal berlangsung
azimut theodolite kami kalibrasi dengan matahari. Petunjuk waktu menggunakan
Casio W96H dikalibrasi dengan Atom Time. Untuk mengarahkan theodolite ke arah
hilal kami menggunakan tabel yang kami persiapkan sebelumnya dengan algoritma
Irsyadul Murid dan sebagai pembanding kami menggunakan Accurate Times dan
Ascript.
Sabit bulan pertama kali terlihat pada pukul 17:14:00
(sebelum maghrib) ketika theodolite kami arahkan ke posisi Alt 18° 15'
05", Azm 269° 49' 10". Pada posisi tersebut hilal tidak pas di
tengah-tengah theodolite, lalu posisisinya kami perbaharui mengikuti obyek
hilal tersebut dan terbaca di layar theodolite posisinya berada di Alt 17° 49'
25", Azm 269° 49' 10". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik
link dibawah ini :
http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_01.JPG
Setelah obyek hilal terdeteksi, kami mengikuti hilal sampai
saat maghrib tiba yakni pukul 17:30:30 dimana posisinya berada di Alt 14° 10'
50", Azm 269° 20' 05". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik
link dibawah ini :
http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_02.JPG
Dengan demikian klaim hilal dari Cakung yang melihat hilal
di kisaran 3-4° derajat pada hari Senin 29 Agustus 2011 tidak sesuai dengan
adanya bukti otentik yang diambil saat maghrib pada hari Selasa, 30 Agustus
2011 di Condrodipo, Andaikata klaim hilal dari Cakung tersebut dianggap benar
tentu satu hari berikutnya ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5 derajat
karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12 derajat.
Akan tetapi realitas yang ada satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib
hanya 14° 10' 50"
Maka bisa jadi obyek yang terlihat di Cakung tersebut
bukanlah hilal 1 Syawal 1432 H. melainkan potongan awan yang terkena sinar
matahari yang akhirnya terbentuk seperti hilal. Atau bisa jadi hilal imajiner
yang timbul karena terobsesi oleh kenginan yang kuat untuk melihat hilal dengan
dukungan system hisab yang ketinggian hilalnya berkisar antara 3°- 4°.
Berikut adalah petikan tulisan dari saudara Ma’rufin Sudibyo seorang praktisi ilmu falak dan pemerhati masalah hisab rukyat hilal dari halaman facebooknya. Tulisan ini menurut kami sangat bagus sebagai kritikan terhadap praktek rukyatul hilal di Cakung dan sebagai penguat akan pentingnya dasar hisab atau perhitungan ilmiah dan kajian ilmu falak atau astronomi yang mumpuni dalam melaksanakan rukyatul hilal.
Kesaksian Terlihatnya Hilal di Cakung Meragukan
Menurut Pak Ma’rufin Sudibyo, ada empat alasan mengapa klaim terlihatnya bulan sabit di Cakung, meskipun oleh 4 orang dan telah disumpah, pantas ditolak oleh sidang itsbat.
Perhitungan dari kitab rujukan Sullam al-Nayyirain tidak akurat.
Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan) Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima’ misalnya, jika sistem hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima’ terjadi pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu
Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925 silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima’hisab Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari… Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.
Penerapan istilah dan kriteria yang salah
terminologi “tinggi hilaal” dalam hisab Mansyuriyah berbeda dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. “Tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012 ini), mak “tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah menjadi miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegak lurus terhadap horizon.
Selain itu, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2 derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku untuk sistem hisab mutakhir. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25 derajat.
Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur telah menggarisbawahi kalau “tinggi hilaal” yang bisa diterima sebagai parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Jadi, jika perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada kesilapan mendasar.
Lokasi Cakung bukan tempat ideal untuk merukyat hilal
Cakung bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan sebagainya.
Kesaksian tidak didukung oleh alat optis
Kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Nilai kontras Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata. Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga mata takkan bisa membedakannya.
Atas : posisi Bulan dan Matahari untuk Cakung pada Kamis 19 Juli 2012 saat terbenam berdasarkan hisab sistem kontemporer yang berakurasi tinggi. Nampak Bulan masih berada di bawah batas garis tinggi 2 derajat. Garis tebal penghubung Bulan dan Matahari adalah elongasi. Bawah kiri : hasil perhitungan intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi untuk lokasi Cakung dan intensitas cahaya senja, dinyatakan dalam kurva semi-logaritmik. Nampak sejak Matahari terbenam hingga saat Bulan terbenam, intensitas cahaya Bulan sudah lebih besar dibanding cahaya senja. Bawah kanan : nilai kontras Bulan (rasio intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi terhadap cahaya senja) dibandingkan dengan ambang batas kontras mata (Cth) sebagai fungsi batas resolusi mata manusia. Nampak sejak Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, kontras Bulan tidak pernah melebihi nilai ambang batas kontras mata.
disarikan dari tulisan
- Dewan Pakar Lajnah Falakiyah NU Gresik
disarikan dari tulisan
- Dewan Pakar Lajnah Falakiyah NU Gresik
- Koordinator RHI (Rukyah Hilal Indonesia) wilayah Gresik
- Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Timur
- Litbang Forum Kajian Falak Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.