Kamis, 09 Agustus 2012

SEPUTAR PENETAPAN 1 RAMADHAN





Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).

Dalil mereka adalah sebagai berikut :

1. Sabda Rasulullah saw :

 لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية  فاقدروا له ثلاثين

 " Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)

2. Sabda Rasulullah saw :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته 

"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Sabda Rasulullah saw:

إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

" Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh "faqduru lahu" dalam hadits di atas setelah menjama' beberapa riwayat yang ada.

Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1 ) , hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh " faqduru lahu " dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.            

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.

Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah saw : 

إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين

"Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari."(HR Bukhari dan Muslim)

Artinya hadits di atas adalah  untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat.   Ini  bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini.  Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.

Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari  setelah terjadi ijtima’.  Sebagian yang lain menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan  model “ wujudul hilal.”  

Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan  imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan model  “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.

Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta'an.

Realita Penentuan Ramadhan 1433 H
Kesaksian terlihatnya hilal atau bulan sabit terbaru dari Cakung, Jakarta Timur sering menjadi kontroversi. Kemarin, dalam sidang itsbat kementerian agama RI untuk menentukan awal ramadhan 1433 H, hal ini terjadi lagi. Ketika semua perukyat dari berbagai ormas islam lainnya di seluruh indonesia tidak berhasil melihat anak bulan sabit (hilal), tim rukyat di Cakung mengklaim melihat bulan pada ketinggian 3,5 derajat pada pukul 17:53 WIB selama 5 menit.

Bagaimana menyikapi hal seperti ini? Benarkah kesaksian dari Cakung ini? Pantaskah ia ditolak oleh sidang itsbat?

Dari munculnya kontroversi berkenaan dengan hasil rukyat cakung  dimana hal tersebut menimpulkan polemik dikalangan masyarakat < bahkan dengan kengototannya pihak yang pro hasil rukyat Cakung mengatakan telah terjadi ketidak amanahan ilmu dalam menentukan 1 ramadhan . 
Beberapa tulisan yang muncul mendukung Rukyat Cakung bahwa hasil pengamatan hilal di Cakung kemudian dibawa ke sidang Isbat yang diselenggarakan oleh Kemenag. Tapi apa yang terjadi di ruang sidang? Kesaksian empat warga Cakung tersebut ditolak dengan alasan, secara teori tidak mungkin Hilal sudah dapat dilihat. Menurut Kemenag, Imkanul Rukyah (keboleh nampakan) bulan itu, hanya terjadi ketika bulan sudah berada 2 derajat di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Sedangkan menurut hisab Kemenag, saat itu ketinggian hilal masih di bawah satu derajat. Maka  (menurut mereka), TIDAK MUNGKIN Hilal dapat dilihat, sehingga kesaksian empat warga Cakung dinyatakan tidak syah. Kalau Kemenag sudah memiliki Imkanul Rukyah seperti ini, kenapa mengajak masyarakat untuk melakukan Rukyah. Bodoh atau hanya sedang membuat lelucon? Toh kalau ada yang melihat akan dikatakan “TIDAK MUNGKIN”.
Pada titik itulah yang saya sayangkan. Penggunaan metode yang tidak konsisten seperti ini yang membuat kita patut menduga, ada aroma ketidak tulusan Kemenag dalam menyelenggarakan sidang Isbat. Ada bau “busuk” kepentingan kelompok yang ingin ditonjolkan. Karena jika kita mau konsisten, kesaksian satu orang saja sudah cukup untuk menentukan awal Ramadan. Sebagaimana dijelaskan Oleh Syekh Bin Bazz :
Penetapan hilal cukup dengan satu orang saksi saat masuknya bulan Ramadhan, seorang saksi yang adil menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar t, ia berkata:
((تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ باِلصِّيَامِ))
“Orang-orang mengamati hilal, lalu aku mengabarkan kepada Nabi r bahwa aku telah melihatnya, maka beliau r puasa dan menyuruh semua orang berpuasa.”[i]
Dan berdasarkan hadits dari Rasulullah Saw bahwa seorang arab badawi bersaksi di sisi beliau bahwa ia telah melihat hilal, maka Nabi bersabda:
“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah I dan aku adalah utusan Allah I?” Ia menjawab: ‘Ya.? Lalu beliau menyuruh puasa.’[ii]
Bahkan Rosulullah saw pun bisa menerima kesaksian dari satu orang arab badui dalam menentikan awal Ramadan. Rosulullah tidak mengenal terminologi Imkanul Rukyah.
Sampai di sini, setidaknya ada dua inkonsistensi Kemenag dalam menetapkan awal Ramadan, Pertama : tidak menerima kesaksian empat orang dari Cakung bahwa mereka telah melihat hilal (Padahal Rosul saja mau menerima kesaksian seorang arab badui). Kedua : adanya kriteria Imkanul Rukyah yang di jaman Rosul tidak dikenal.
Semestinya, penggunaan metode Rukyatul Hilal dalam penentuan awal bulan baru membawa konsekuensi logis bagi diterimanya hasil Rukyah dari orang yang mengaku melihat hilal (di bawah sumpah). Jika itu tidak dilaksanakan, buat apa diselenggarakan Rukyah? Pemerintah mempersilahkan masyarakat untuk melihat hilal sebagai penentu awal bulan, tapi ketika ada yang mengaku melihat hilal, pemerintah mengatakan “ITU TIDAK MUNGKIN”. Apa yang bisa kita bilang dari fenomena seperti ini kalau bukan DAGELAN ISBAT yang tidak LUCU?


Jawaban dari tulisan diatas 


Dalam menyikapi kesaksian rukyat di pantai Cakung Jakarta Timur sebagian kalangan berargumen "Walaupun secara hisab tidak ada kemungkinan hilal bisa dirukyat akan tetapi jika Alloh menghendaki kenapa harus ditolak?". Dalam kaedah ilmu hakekat argumen tersebut tidaklah salah, akan tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan hukum syar'i, karena hukum berdasarkan kenyataan bukan hakekat.


Syarat pertama kesaksian rukyat hilal adalah adilnya seorang saksi (Al-Adalah/Kredibel) dan yang kedua adalah adanya obyek hilal yang bisa dilihat secara indera, akal, adat dan syara'. Jadi apabila ahli hisab sepakat secara ilmiah tidak mungkinnya hilal untuk dilihat, maka kesaksian seseorang atau beberapa orang adil sekalipun yang menyaksikan hilal harus ditolak, karena hisab adalah qothi sedangkan rukyat adalah dhonni, I'anatut Tholibin juz 2 hal 216 (Maktabah Syamilah 3.8)

Kesaksian melihat hilal tidaklah serta merta harus diterima hanya karena saksi bersedia untuk disumpah. Hilal bukanlah benda gaib, hilal adalah obyek nyata yang bisa diamati, dianalisa dan diprediksi posisi keberadaannya secara ilmiah. Kesaksian yang tidak rasional memang seharusnya ditolak. Misalnya, ketika hari sedang mendung, kemudian pada pukul 5 sore seseorang menyerukan bahwa sudah tiba saatnya berbuka puasa karena telah melihat matahari terbenam di ufuk barat, yang demikian itu tidak bisa diterima walaupun kesaksian tersebut diperkuat dengan sumpah sekalipun.

Pun juga kesaksian melihat hilal di Cakung Jakarta Timur memang seharusnya dipertanyakan karena tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan yakni hisab hakiki (qoth'i). Seperti halnya yang terjadi pada saat penentuan1 Syawal tahun yang lalu memang sebagian hisab taqribi (hisab yang perhitungannya belum menggunakan segitiga bola) mengklaim bahwa ketinggian hilal pada tanggal 29 Agustus 2011 tersebut sudah mencapai 3-4 derajat. Akan tetapi berdasarkan penelitian kami sepuluh tahun terakhir ini hasil perhitungan dengan hisab taqribi jauh dari realitas di lapangan dengan pengukuran yang seksama menggunakan perangkat theodolite. Dan ketidak sesuaian hisab taqribi ini juga bisa dibuktikan ketika terjadinya gerhana bulan maupun gerhana matahari yang mana kesalahannya mencapai 1 jam.

Untuk itu menurut hemat penulis agar tidak menambah perselisihan dalam penentuan awal Romadlon, Syawal dan Dzulhijjah diantara para ahli hisab sendiri, sebaiknya tidak menggunakan hisab taqribi dalam penyusunan kalender hijriyah, bersikaplah obyektif dalam menilai keakurasian sebuah metode hisab karena kitab hisab bukanlah kitab suci yang tidak boleh dikritisi. Kitab hisab/falak seharusnya dikoreksi terus-menerus dengan melakukan pengukuran seksama terhadap matahari dan bulan agar sesuai dengan perkembangan zaman dan realitas yang ada.
Seperti diberitakan beberapa media televisi, seperti di TvOne bahwa hilal awal Syawal 1432 hijriyah terlihat di Cakung Jakarta Timur dengan ketinggian 3,5 derajat. Andaikata klaim itu dianggap benar tentu satu hari berikutnya 30 Agusuts 2011 ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5 derajat karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12 derajat. Akan tetapi realitasnya satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib hanya 14° 10' 50"

Setelah tidak berhasil melihat hilal pada hari Senin, 29 Agustus 2011, kami Lajnah Falakiyah NU Kabupaten Gresik bersama Lajnah Falakiyah NU Surabaya dan Lajnah Falakiyah Lanbulan Madura melakukan observasi hilal pada hari berikutnya (Selasa, 30 Agustus 2011) di bukit Condrodipo Kebomas Gresik koordinat 112° 37' 2,5" BT, 7° 10' 11,1'' LS.

Dalam observasi ini kami menggunakan tiga theodolite, Nikon NE-202, Nikon NE-102 dan theodolite China. Sebelum pengamatan hilal berlangsung azimut theodolite kami kalibrasi dengan matahari. Petunjuk waktu menggunakan Casio W96H dikalibrasi dengan Atom Time. Untuk mengarahkan theodolite ke arah hilal kami menggunakan tabel yang kami persiapkan sebelumnya dengan algoritma Irsyadul Murid dan sebagai pembanding kami menggunakan Accurate Times dan Ascript.

Sabit bulan pertama kali terlihat pada pukul 17:14:00 (sebelum maghrib) ketika theodolite kami arahkan ke posisi Alt 18° 15' 05", Azm 269° 49' 10". Pada posisi tersebut hilal tidak pas di tengah-tengah theodolite, lalu posisisinya kami perbaharui mengikuti obyek hilal tersebut dan terbaca di layar theodolite posisinya berada di Alt 17° 49' 25", Azm 269° 49' 10". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik link dibawah ini :    
http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_01.JPG

Setelah obyek hilal terdeteksi, kami mengikuti hilal sampai saat maghrib tiba yakni pukul 17:30:30 dimana posisinya berada di Alt 14° 10' 50", Azm 269° 20' 05". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik link dibawah ini : 
http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_02.JPG

Dengan demikian klaim hilal dari Cakung yang melihat hilal di kisaran 3-4° derajat pada hari Senin 29 Agustus 2011 tidak sesuai dengan adanya bukti otentik yang diambil saat maghrib pada hari Selasa, 30 Agustus 2011 di Condrodipo, Andaikata klaim hilal dari Cakung tersebut dianggap benar tentu satu hari berikutnya ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5 derajat karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12 derajat. Akan tetapi realitas yang ada satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib hanya 14° 10' 50"

Maka bisa jadi obyek yang terlihat di Cakung tersebut bukanlah hilal 1 Syawal 1432 H. melainkan potongan awan yang terkena sinar matahari yang akhirnya terbentuk seperti hilal. Atau bisa jadi hilal imajiner yang timbul karena terobsesi oleh kenginan yang kuat untuk melihat hilal dengan dukungan system hisab yang ketinggian hilalnya berkisar antara 3°- 4°.


Berikut adalah petikan tulisan dari saudara Ma’rufin Sudibyo seorang praktisi ilmu falak dan pemerhati masalah hisab rukyat hilal dari halaman facebooknya. Tulisan ini menurut kami sangat bagus sebagai kritikan terhadap praktek rukyatul hilal di Cakung dan sebagai penguat akan pentingnya dasar hisab atau perhitungan ilmiah dan kajian ilmu falak atau astronomi yang mumpuni dalam melaksanakan rukyatul hilal.

Kesaksian Terlihatnya Hilal di Cakung Meragukan

Menurut Pak Ma’rufin Sudibyo, ada empat alasan mengapa klaim terlihatnya bulan sabit di Cakung, meskipun oleh 4 orang dan telah disumpah, pantas ditolak oleh sidang itsbat.

Perhitungan dari kitab rujukan Sullam al-Nayyirain tidak akurat.

Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan) Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima’ misalnya, jika sistem hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima’ terjadi pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu
Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925 silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima’hisab Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari… Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.

Penerapan istilah dan kriteria yang salah

terminologi “tinggi hilaal” dalam hisab Mansyuriyah berbeda dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. “Tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012 ini), mak “tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah menjadi miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegak lurus terhadap horizon.
Selain itu, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2 derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku untuk sistem hisab mutakhir. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25 derajat.
Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur telah menggarisbawahi kalau “tinggi hilaal” yang bisa diterima sebagai parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Jadi, jika perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada kesilapan mendasar.

Lokasi Cakung bukan tempat ideal untuk merukyat hilal

Cakung bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan sebagainya.

Kesaksian tidak didukung oleh alat optis

Kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Nilai kontras Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata. Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga mata takkan bisa membedakannya.

analisa-hilal-rukyat-ramadhan-1433-cakung-19-juli-2012
Atas : posisi Bulan dan Matahari untuk Cakung pada Kamis 19 Juli 2012 saat terbenam berdasarkan hisab sistem kontemporer yang berakurasi tinggi. Nampak Bulan masih berada di bawah batas garis tinggi 2 derajat. Garis tebal penghubung Bulan dan Matahari adalah elongasi. Bawah kiri : hasil perhitungan intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi untuk lokasi Cakung dan intensitas cahaya senja, dinyatakan dalam kurva semi-logaritmik. Nampak sejak Matahari terbenam hingga saat Bulan terbenam, intensitas cahaya Bulan sudah lebih besar dibanding cahaya senja. Bawah kanan : nilai kontras Bulan (rasio intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi terhadap cahaya senja) dibandingkan dengan ambang batas kontras mata (Cth) sebagai fungsi batas resolusi mata manusia. Nampak sejak Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, kontras Bulan tidak pernah melebihi nilai ambang batas kontras mata.


disarikan dari tulisan
- Dewan Pakar Lajnah Falakiyah NU Gresik
- Koordinator RHI (Rukyah Hilal Indonesia) wilayah Gresik
- Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Timur
- Litbang Forum Kajian Falak Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.