Musim haji tahun ini diterbitkan sebuah buku dengan nama “Qira’atun Rasyidah Fi Kitab Nahjil Balaghah” yang ditulis oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Jami’an di Arab Saudi. Buku itu kemudian diterjemahkan menjadi “Nahjul Balaghah Ra Dubareh Bekhanim” (Membaca kembali Nahjul Balaghah). Di situ, sebagai penerjemah dicantumkan nama Ayatullah Ja’far Subhani.
Sebagaimana biasa dalam musim haji, oleh pihak Arab Saudi, dibagikan buku-buku kepada jamaah haji. Edisi Parsi buku ini dibagikan kepada jamaah haji Iran. Setelah dibaca, ternyata ditemukan berbagai pemahaman yang tidak benar terhadap Nahjul Balagah, terutama dalam masalah Imamah dan Khilafah. Akhirnya, dilakukan pengecekan ulang kepada Ayatullah Subhani. Setelah membaca buku tersebut, Ayatullah Subhani berkata: “Alhamdulillah, Allah Zat yang telah menjadikan musuh-musuh kami dungu”. Beliau melanjutkan: “Siapa saja yang pernah membaca tulisan-tulisan kami, pasti tahu bahwa ini bukan hasil karya saya. Dan ini adalah kebohongan atas nama seorang ulama Syi’ah. Cara yang dipakai sama sekali jauh dari akhlak Islam. Jelas, selain cara yang seperti ini tidak memiliki dampak apa-apa, keimanan orang akan semakin kokoh dengan tuntunan Imam Ali as”.
Berikut ini adalah pernyataan tertulis Ayatullah Ja’far Subhani.
Bismillahirrahmanirrahim
Kewajiban setiap muslim setelah belajar dan memahami dengan benar agama Islam adalah mengajarkan dan mentabligkannya. Tablig agama adalah bagian dari amar makruf dan nahi mungkar, sebuah kewajiban kifa’i bagi kaum muslimin.
Tablig merupakan hal yang penting dan sebuah kewajiban dalam agama Islam. Namunpun demikian, tablig memiliki syarat-syarat dan etika. Ulama Islam telah menjelaskan masalah ini, dalam buku-buku mereka di bawah judul “Adab ad-Da’wah” (etika dakwah). Salah satu syarat paling penting dalam melakukan tablig untuk sampai pada tujuan adalah cara yang benar, baik dan suci. Tablig agama tidak boleh dikotori dengan bohong. Harus jelas bahwa tablig dalam Islam tidak menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
Sangat disayangkan sekali di dunia Islam, ada saja orang-orang yang memiliki posisi sebagai ulama tapi menghalalkan segala cara. Beberapa contoh kasus dapat dilihat sebagai berikut:
1. Membuat hadis palsu atas nama Rasulullah saw
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw, membuat hadis palsu termasuk profesi yang banyak dilakukan demi melanggengkan kekuasaan pemerintah yang korup. Membuat hadis palsu atas nama Rasulullah saw. Nabi Muhammad saw sendiri telah memberikan wejangan “Barang siapa yang berbohong atas namaku, niscaya tempatnya adalah di neraka” (Sahih Bukhari, jilid 1, bab “Itsmu Man Kadziba ‘Ala an-Nabi”, hadis nomor 107, 108 dan 109).
Ancaman ini tidak mempan bagi mereka yang hatinya telah keras dan para pecinta dunia. Setelah wafatnya Rasulullah saw pembuatan hadis palsu sedemikian merajalelanya sehingga untuk membedakan mana hadis asli dan mana yang palsu sangat sulit. Cukup kita melihat bahwa sejarah mencatat ada sekitar tujuh ratus ribu lebih para pembuat hadis palsu lengkap dengan data-data pribadi (Al-Ghadir, jilid 5, hal 301-446).
2. Mengubah (tahrif) sebab turunnya ayat al-Quran
Al-Quran adalah mukjizat ilahi dan sumber pengetahuan. Al-Quran belum pernah dirubah semenjak turunnya hingga sekarang dan akan datang. Kata-kata yang ada di dalamnya, tanpa kekurangan sedikitpun terjaga oleh mereka yang menghapalkannya. Akan tetapi, para pedagang hadis, penyembah dunia dalam baju ulama dan kelompok yang termarjinalkan selalu berusaha dengan segala cara untuk menafsirkan ayat al-Quran sesuai dengan kepentingan mereka.
Ahli-ahli tafsir menyebutkan:
“Pada malam hari di mana para pemimpin penyembah berhala Quraisy memutuskan untuk menyerang rumah Nabi Muhammad saw pada tengah malam dan membunuhnya, Nabi memerintahkan kepada Ali as untuk tidur di tempat pembaringannya. Karena Nabi hendak pergi melakukan hijrah.
Pengorbanan yang dilakukan oleh Ali as dipuji oleh Allah swt lewat surat Baqarah ayat 207 (tafsir as-Tsa’labi, jilid 2, hal 125-126). “Dan ada sebagian manusia yang rela menjual (baca : mengorbankan) dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.
Samurrah bin Jundub, salah satu penjahat kelas kakap Bani Umayyah, menerima uang sebesar 400 ribu dirham untuk mengingkari turunnya ayat tersebut kepada Ali as. Ia menyampaikan di tempat umum bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan Abdurrahman bin Muljam. Ia tidak hanya mengingkari turunnya ayat tersebut terkait dengan pribadi Ali as, bahkan ia juga menambahkan bahwa ayat lain yang turun mengenai Ali as, ayat tentang orang-orang munafik (Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid, jilid 4, hal 73). Ayat tersebut berbunyi: “Dan ada sebagian orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan menjadikan Allah sebagai saksi (atas kebenaran) isi hatinya, sedangkan ia adalah musuh yang paling keras” (Baqarah: 204).
Penafsiran semacam ini dari seorang Samurrah adalah sangat mudah. Pada zaman Ubaidillah bin Ziyad menjadi gubernur Irak, ia sebagai bupati Basrah. Kebenciannya terhadap Ahlul Bait Nabi dan pecinta mereka membuat ia membunuh sekitar 8 ribu orang. Kejahatan mereka hanya satu, mencintai keluarga Nabi Muhammad saw. Ia seakan tidak punya pikiran bahwa dari 8 ribu orang itu, ada yang sama sekali tidak berdosa di matanya. Ketika ditanya mengapa ia tega membunuh pecinta keluarga Nabi seperti itu? Ia menjawab “Dua kali lipat dari jumlah mereka pun aku berani membantai mereka” (Tarikh Thabari, jilid 4, hal 176, kejadian dekade lima puluhan Hijriah, Muassasah Mathbu’at A’lami).
3. Rekayasa keutamaan
Sebagian dari penguasa yang tidak memiliki kelayakan, berusaha untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang layak dan memiliki keutamaan. Untuk itu ia memberi uang kepada orang-orang yang siap merekayasa keutamaan untuk diri dan keluarganya. Berusaha sedemikian rupa agar dia dan keluarganya dekat bahkan memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad saw. Muawiyah yang berasala dari dinasti umayyah. Karena hubungannya dengan Utsman, ia memaksa sekelompok orang untuk merekayasa keutamaan Utsman. Akhirnya, muncul hadis-hadis yang dinukil langsung dari lisan Nabi Muhammad saw.
Para pembuat hadis palsu terkait dengan keutamaan Utsman sedemikian semangatnya sehingga lepas kontrol. Akhirnya, untuk mengontrol mereka, Muawiyah berkata: ”Semestinya kalian juga melakukan hal yang kurang lebih sama terhadap Syaikhain, Abu Bakar dan Umar bin Khatthab (Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid, jilid 11, hal 46).
4. Pengingkaran terhadap keutamaan Ahlul Bait Nabi
Rekayasa keutamaan untuk kepentingan mereka adalah ciri khas kelompok ini. Hal yang mengejutkan adalah usaha untuk mengingkari sebuah keutamaan, khususnya keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Keutamaan yang telah diriwayatkan lewat hadis mutawatir dan sahih sekalipun. Ahmad bin Taimiyah adalah jagoannya dalam mengingkari keutamaan. Kegemarannya ini membuat Ibnu Hajar al-‘Asqallani berkata:
“Ibn Taimiyah dalam dialognya dengan Ibnu Muthahhar (Allamah Hilli) sampai pada tahap mengingkari hadis sahih. Dalam Minhaj as-Sunnah berdasarkan sifatnya itu, ia mengingkari keutamaan Imam Ali as. Tidak cukup sampai di situ, ia menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut sebagai hadis bohong. Padahal, pada saat yang sama, ulama besar Ahli Sunah menukil hadis-hadis tersebut seperti:
a. Persaudaraan antara Nabi Muhammad saw dan Ali as dalam hadis “Muakhah”
Setelah sampai di Madinah, Nabi mempersaudarakan setiap sahabat dengan lainnya. Sampai pada Ali as, Nabi mengangkatnya sebagai saudaranya. Ibnu Hajar (Fath al-Bari, jilid 7, hal 271), dengan tegas menolak pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap keutamaan Ali as. Ia mempertanyakan mengapa Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, padahal para tokoh ahli hadis besar menukilnya. Ibnu Hajar sendiri setelah itu membeberkan filsafat persaudaraan yang dilakukan oleh Nabi.
b. Ali as tolok ukur kebenaran
Hadis “Ali Ma’a al-Haq Wa al-Haq Ma’a Ali” (Ali senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya), untuk menjelaskan bahwa dalam masalah-masalah akidah, sosial dan politik, maka kebenaran senantiasa ada di pihak Ali. Hadis ini diingkari oleh Ibnu Taimiyah karena jauhnya ia dari Ahlul Bait as. Padahal, para tokoh ahli hadis menukil hadis ini. Bahkan Fakh ar-Razi dalam bukunya menyebutkan bahwa hadis ini mutawatir (Mafatih al-Ghaib, jilid 1, hal 205).
Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana dalam melakukan tablig, terjadi pendustaan terhadap keutamaan yang telah diterima oleh para ulama.
5. Mengusahakan adanya friksi dalam kelompok pengikut kebenaran
Untuk mengokohkan posisi mereka, salah satu kekhususan lain yang perlu disebutkan adalah menyebarkan perselisihan di kalangan pecinta Ali as. Dalam peperangan antara Imam Ali as dan Muawiyah, tipuan yang dilakukan untuk merusak barisan Imam Ali as adalah dengan mengangkat mushaf. Tipuan berhasil membuat perselisihan di kelompok Ali as. Dari sini muncul kelompok dengan nama Khawarij. Mereka memaksa Imam Ali as untuk menerima gencatan senjata. Di akhir, mereka sendirilah yang kemudian menyesal menerima gencatan senjata tersebut. Mereka kemudian meminta kepada Imam Ali as untuk secara sepihak keluar dari perjanjian. Akhirnya, Imam Ali as menjadi korban dari perselisihan ini.
Kami mencukupkan ciri khas mereka dan pada kesempatan lain akan dijelaskan lebih luas.
6. Penerbitan buku atas nama para tokoh Syi’ah
Telah kami ingatkan bahwa dalam tablig agama harus benar dan dengan jalan yang suci. Salah satu cara tablig yang paling menjijikkan adalah seorang menulis buku sesuai dengan keyakinannya kemudian menerbitkannya dengan nama orang lain. Dengan cara ini, diharapkan citra yang dimiliki oleh tokoh tersebut dapat mendongkrak popularitas keyakinannya.
Sebagai contoh buku “as-Syi’ah Wa at-Tashih”. Buku ini ditulis oleh Wahabi dan nama penulisnya disebutkan Sayyid Musa Musawi. Ia adalah cucu dari marja besar Syi’ah Ayatullah Isfahani. Mereka bertujuan dengan mencatut nama Sayyid Musa Musawi sebagai penulis buku itu, rencana mereka dalam tablig keyakinan mereka akan lebih mulus. Siapa saja yang memiliki hubungan baik dengan Sayyid Musa Musawi semasa hidupnya, pasti menolak penisbatan buku ini terhadapnya. Dan mengatakan bahwa penisbatan itu adalah sebuah kedustaan.
Model tablig semacam ini menunjukkan bahwa Wahabi dalam melakukan tablig menghalalkan segala cara. Mereka tidak sadar bahwa cara seperti ini menunjukkan kebobrokan mereka sendiri dan pada akhirnya tidak akan berhasil.
Beberapa waktu lalu, di Arab Saudi diterbitkan sebuah buku dengan judul “Ta’ammulat Fi Nahjul al-Balaghah”. Qadhi Qathif, Syaikh Saleh Darwisyi, memberikan komentar atas buku tersebut. Saya menuliskan kritik terhadap buku itu dan yang saya kritik adalah Syaikh Saleh Darwisyi. Judul buku saya “Hiwar Ma’a as-Syaikh Saleh Darwisyi” dan sudah diterjemahkan ke bahasa Parsi juga.
Buku saya juga dicetak dan diterbitkan di Arab Saudi. Hal itu membuat usaha Wahabi menjadi terganjal. Mereka ingin menutupi kelemahan yang ada dengan menerbitkan buku “Qira’atun Rasyidah Li Kitab Nahjul Balaghah”, karangan Abdurrahman bin Abdillah al-Jamian. Untuk membohongi jamaah haji Iran, mereka menerjemahkan buku itu dengan judul “Nahjul Balaghah Ra Dubareh Bekhanim” (Membaca kembali Nahjul Blaghah) dan menerbitkannya. Nama penerjemah ditulis Ja’far Subhani.
Bila melihat isi buku, di sana tidak tertulis nama percetakan dan penerbitan bahkan tidak dicantumkan tahun dicetak. Kelihatannya mereka begitu tergesa-gesa dalam mencetak buku ini sehingga tidak mencantumkan semua itu. Yang lebih lucu lagi, cover buku tertulis “Nahjul Balaghah Ra Dubareh Bekhanim” sementara pada halaman ke tiga judul buku ditulis “Hamgam Ba Nahjul Balaghah” (Bersama Nahjul Balaghah). Melihat bentuk pemilihan huruf dan lay out dapat di dipastikan bahwa semuanya dilakukan di Arab Saudi.
Kerja seperti ini merupakan bukti dari kalimat ““Alhamdulillah, Allah Zat yang telah menjadikan musuh-musuh kami dungu” (Alhamdulillah al-Ladzi Ja’ala A’da’ana Humaqa’). Karena bila buku ini dibaca oleh siapa saja, dapat mengetahui bahwa perbuatan ini hanyalah penipuan belaka. Apa lagi bila mengenal saya dengan buku-buku yang saya tulis. Tentunya, buku ini tidak saja tidak memiliki dampak apa-apa, bahkan keimanan orang akan semakin kokoh dengan tuntunan Imam Ali as.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa nama percetakan dan penerbit tidak dituliskan, namun karena diterbitkan di tahun ini, pada musim haji tahun ini, di Arab Saudi lewat para mubalig resmi Wahabi buku ini dibagi-bagikan. Secara syariat Islam dan undang-undang, saya memiliki hak untuk melakukan protes.
Beberapa waktu lalu juga telah diterbitkan buku yang memuat dialog antara Ibnu Taimiyah dan Allamah Hilli. Ketika saya membaca buku itu, saya menjadi terheran-heran. Bagaimana mungkin mereka menisbatkan cara berpikir yang dangkal terhadap Allamah Hilli. Mereka berusaha menjatuhkan citra Allamah Hilli, yang di dunia Islam dikenal akan kejeniusannya, dalam berdialog dengan Ibnu Taimiyah?
Ibnu Hajar dalam bukunya ‘at-Tahdzib” dan “Lisan al-Mizan” (Lisan al-Mizan, jilid 13, hal 85, nomor 79), menyifati Allamah dengan ucapan: “Kana Ayatan Fi az-Dzaka’ (Allamah al-Hilli adalah contoh kejeniusan).
Kembali pada buku dialog Allamah al-Hilli dengan Ibnu Taimiyah. Hanya ada dua kemungkinan; pertama, dialog itu dirubah oleh mereka atau kedua, secara utuh dialog itu direkayasa oleh mereka.
Semua ini menuntun kita pada satu hal, bahwa jangan sampai kita percaya pada data dan sumber-sumber rujukan yang mereka pakai untuk membenarkan akidah mereka. Harus melihat itu dengan kaca mata ragu sehingga melahirkan sikap untuk mengecek kembali kebenarannya.
Allah swt berfirman: “Katakanlah:” Apakah akan Kami memberitahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya”. Yaitu orang- orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik- baiknya” (Kahfi: 103-104).[infosyiah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.