“Menunda amal perbuatan yang baik karena
menanti-nanti kesempatan yang lebih baik merupakan tanda kebodohan yang
mempengaruhi jiwa” (Ibnu Athaillah)
Sering kali dalam
keseharian kita dihadapkan sebuah batasan batasan pada saat akan melakukan
sebuah “perbuatan” baik yang statusnya adalah ibadah maupun yang statusnya “bernilai
ibadah”. Batasan tersebut
muncul karena “kekritasan” kalau tidak boleh dikatakan sebagai “
kekeliruan” berfikir sebagian umat yang menjuluki dirinya sebagai kelompok yang
kembali kepada Alquran dan Al Hadits dengan
pemahaman Salafus Soleh.Mereka akan selalu mempertanyakan “MANA
DALILNYA???” setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Benar demikian kah jalan
pemikiran tersebut? Benar demikiankah pertanyaan tersebut dilontarkan?
Berikutnya bahwa tidak semua ummat islam memiliki kapasitas yang
sama dalam keber-agama-an mereka, ada yang diberi Alloh kesempatan dan
kemampuan lebih memahami agama ini, namun tidak sedikit pula yang sangat
terbatas dalam memahaminya, dan harus diakui justru inilah kelompok mayoritas
ummat islam disekitar kita.
Adalah tidak atau kurang bijak
jika terhadap mereka yang tiada berkesempatan memahami agama ini dengan baik,
kita menuntut pengamalan mereka atas agamanya harus didasarkan pada dalil Nash
baik al qur’an maupun Hadits. Mengingat untuk menyandarkan sebuah amaliah pada
sebuah dalil Nash bukanlah hal yang mudah melainkan diperlukan sarana penunjang
yang tidaklah sedikit dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Terhadap mereka
kiranya cukup mendasarkan amal mereka pada pendapat para Mujtahid, mengingat
Taklif telah jatuh atas mereka ( seperti kewajiban sholat, puasa, zakat,
larangan untuk berzina, mencuri dan yang lain ).
Disisi lain kesempatan belum diberikan oleh Alloh untuk memahami perintah-perintah tsb langsung dari sumbernya yakni Al qur’an maupun Hadits serta sumber hukum yang lain seperti ijma’ dan qiyas.
Kita ambil contoh ttg cara kita membaca al qur’an yang notabene mengikuti bacaan Imam Hafsh, berdosakah kita yang membaca al qur’an hanya mengikuti car a baca seorang Imam Qiro’ah tanpa tahu bagaimana sebenarnya Rosululloh membacanya? Atau harus kita tinggalkan dulu ibadah yang berupa membaca Al qur’an sampai kita dapati dalil yang menunjukkan ttg bagaimana Rosululloh SAW, membacanya?…..
Mencermati pendapat yang tidak akan mengerjakan suatu amal sebelum mendapati dalilnya baik dari al qur’an mauun Hadits shohih, kiranya orang tersebut sebenarnya sudah dalam kategori Mujtahid, setidaknya Mujtahid Muqoyyad atau sederajat dengan mereka… Bahkan mungkin orang tersebut adalah seorang Muhaddits yang sudah memiliki kapasitas memilah dan memilih mana hadits yang Shohih, Hasan, Dhoif, berikut pembagiannya…namun sadarilah bahwa kapasitas yang miliki tidaklah dapat dipaksakan terhadap ummat islam yang lain, dengan selalu menanyakan dalil atas amal-amal mereka…
Disisi lain kesempatan belum diberikan oleh Alloh untuk memahami perintah-perintah tsb langsung dari sumbernya yakni Al qur’an maupun Hadits serta sumber hukum yang lain seperti ijma’ dan qiyas.
Kita ambil contoh ttg cara kita membaca al qur’an yang notabene mengikuti bacaan Imam Hafsh, berdosakah kita yang membaca al qur’an hanya mengikuti car a baca seorang Imam Qiro’ah tanpa tahu bagaimana sebenarnya Rosululloh membacanya? Atau harus kita tinggalkan dulu ibadah yang berupa membaca Al qur’an sampai kita dapati dalil yang menunjukkan ttg bagaimana Rosululloh SAW, membacanya?…..
Mencermati pendapat yang tidak akan mengerjakan suatu amal sebelum mendapati dalilnya baik dari al qur’an mauun Hadits shohih, kiranya orang tersebut sebenarnya sudah dalam kategori Mujtahid, setidaknya Mujtahid Muqoyyad atau sederajat dengan mereka… Bahkan mungkin orang tersebut adalah seorang Muhaddits yang sudah memiliki kapasitas memilah dan memilih mana hadits yang Shohih, Hasan, Dhoif, berikut pembagiannya…namun sadarilah bahwa kapasitas yang miliki tidaklah dapat dipaksakan terhadap ummat islam yang lain, dengan selalu menanyakan dalil atas amal-amal mereka…
Selanjutnya ebelum menjawabnya,
di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam
ushul fiqh yang sering digembar-gemborkan oleh sebagian orang bahwa: “Asal semua ibadah adalah
haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.
Bermula dari kaidah
ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?” Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari
ibadah yang tauqif. Permasalahannya
adalah sudah tahukah anda, untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah
tersebut seharusnya diterapkan?
Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab
ushul Fiqh:
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في
العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، ” أن الأصل في العبادات التوقيف
” كما “أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة”، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً
ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم
يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم
يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو
تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى
عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو
تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر
أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا
بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو
طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا
غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد
دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في
البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه
منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة،
فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛
Bahwa yang dinamakan
ibadah sifatnya tauqif yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah
atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…., contohnya ibadah wajib shalat lima waktu,
ibadah haji, dll. Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh
sampai adanya dalil yang melarangnya…Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif
itu….
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
Tauqifi dalam sifat
ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Allah ).
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Allah ).
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً
Tauqifi dalam waktu
pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!
Tauqifi dalam macamnya
ibadah
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at…. Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at…. Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.
Begitu juga tauqifi
dalam tempat ibadah.
Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.
Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.
Berdasarkan dari penjelasan kitab di
atas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ
didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif itu adalah ibadah
mahdhoh… faham? Jadi yang
dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang
menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya
mahdoh saja, bukan semua ibadah.
Nah untuk bisa
membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya
(tujuan). Untuk ibadah yang sifatny
mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada
wasail. Baiklah, langsung
contoh saja…. biar gampang dan cepat mudeng, perhatikan baik-baik ya mas-mas
Wahabi …?
Ibadah Sholat, ini
sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma
maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Misalnya Anda seorang
penulis di blog, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah
dengan jalan menulis di blog maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk
ibadah. Setuju kan? Padahal
ini nggak ada lho contoh dari Rasulullah, ya kan? Wasailnya anda menulis di
blog, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah.
Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini
tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat
Nabi.
Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.
Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.
Kita kasih contoh lagi
biar semakin jelas ya? Di Indonesia ada
macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya
bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi
hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa
tholabul ilmi dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan
tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah. (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar,
maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah). Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan
pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti
ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.
Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah
wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal
Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabnny adalah mubah,
boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan. Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah
dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul
adalah Sunah). Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil
Wasail hukmul Maqoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh.
Contoh gampangnya
untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maqoshid: anda membeli air hukumnya mubah,
mau beli atau nggak, gak ada dosanya. Tapi suatu saat tiba waktu sholat
wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda
punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Kembali lagi ke
Maulid. Apakah maulid bisa
menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid
adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh.Perlu digaris bawahi
pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya
namanya wasail ada dalil qoth’inya.
Contoh lagi biar lebih
gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail.Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena
tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib
dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika
ditanya: “Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?” JELAS TIDAK
ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Begitu pula dengan
Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan
mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong? Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu
memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Sedikit
tambahan; ini juga dalil kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita,
karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan
untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin
bertanya langsug ke Rasul. Sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang
agama Islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (ini hukumnya ini
wajib). Maka bermadzab menjadi wajib. Kalau anda tanya mana
dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab? Yaa gak ada, lha
wong bermadzab itu cuma wasail kok, Mas?Bagaimana teman-teman Wahabi…. apakah anda semua sudah paham?
Demikianlah, kita
semua berharap setelah penjelasan ini anda-anda bisa belajar dan lebih mengerti
sehingga tidak serampangan dalam bertanya. Ingatlah, sebaiknya anda tidak lagi sering-sering membuat
pertanyaan-pertanyaan yang salah. Kalau pertanyaannya saja salah, bagaimana menjawabnya?
Dengan demikian jangan sedikit-sedikit
bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak. Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa
dijawab kalau pertanyaannya saja salah? Sejak sekarang mulailah belajar
membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab tidak semua hal itu
harus ada dalilnya.
Ataukah kita akan menunda amal perbuatan yang baik sampai kita dapati dalil yang menunjukkan ?
Wallahu a’lam…..
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.