Selasa, 07 Agustus 2012

MENIMBANG DALIL DALAM "BERIBADAH"




“Menunda amal perbuatan yang baik karena menanti-nanti kesempatan yang lebih baik merupakan tanda kebodohan yang mempengaruhi jiwa” (Ibnu Athaillah)


Sering kali dalam keseharian kita dihadapkan sebuah batasan batasan pada saat akan melakukan sebuah “perbuatan” baik yang statusnya adalah ibadah maupun yang statusnya “bernilai ibadah”. Batasan tersebut muncul karena “kekritasan” kalau tidak boleh dikatakan sebagai “ kekeliruan” berfikir sebagian umat yang menjuluki dirinya sebagai kelompok yang kembali kepada Alquran dan Al Hadits dengan  pemahaman Salafus Soleh.Mereka akan selalu mempertanyakan “MANA DALILNYA???” setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Benar demikian kah jalan pemikiran tersebut? Benar demikiankah pertanyaan tersebut dilontarkan?
Berikutnya bahwa tidak semua ummat islam memiliki kapasitas yang sama dalam keber-agama-an mereka, ada yang diberi Alloh kesempatan dan kemampuan lebih memahami agama ini, namun tidak sedikit pula yang sangat terbatas dalam memahaminya, dan harus diakui justru inilah kelompok mayoritas ummat islam disekitar kita.
Adalah tidak atau kurang bijak jika terhadap mereka yang tiada berkesempatan memahami agama ini dengan baik, kita menuntut pengamalan mereka atas agamanya harus didasarkan pada dalil Nash baik al qur’an maupun Hadits. Mengingat untuk menyandarkan sebuah amaliah pada sebuah dalil Nash bukanlah hal yang mudah melainkan diperlukan sarana penunjang yang tidaklah sedikit dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Terhadap mereka kiranya cukup mendasarkan amal mereka pada pendapat para Mujtahid, mengingat Taklif telah jatuh atas mereka ( seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, larangan untuk berzina, mencuri dan yang lain ).
Disisi lain kesempatan belum diberikan oleh Alloh untuk memahami perintah-perintah tsb langsung dari sumbernya yakni Al qur’an maupun Hadits serta sumber hukum yang lain seperti ijma’ dan qiyas.
Kita ambil contoh ttg cara kita membaca al qur’an yang notabene mengikuti bacaan Imam Hafsh, berdosakah kita yang membaca al qur’an hanya mengikuti car a baca seorang Imam Qiro’ah tanpa tahu bagaimana sebenarnya Rosululloh membacanya? Atau harus kita tinggalkan dulu ibadah yang berupa membaca Al qur’an sampai kita dapati dalil yang menunjukkan ttg bagaimana Rosululloh SAW, membacanya?…..
Mencermati pendapat yang tidak akan mengerjakan suatu amal sebelum mendapati dalilnya baik dari al qur’an mauun Hadits shohih, kiranya orang tersebut sebenarnya sudah dalam kategori Mujtahid, setidaknya Mujtahid Muqoyyad atau sederajat dengan mereka… Bahkan mungkin orang tersebut adalah seorang Muhaddits yang sudah memiliki kapasitas memilah dan memilih mana hadits yang Shohih, Hasan, Dhoif, berikut pembagiannya…namun sadarilah bahwa kapasitas yang  miliki tidaklah dapat dipaksakan terhadap ummat islam yang lain, dengan selalu menanyakan dalil atas amal-amal mereka…

Selanjutnya ebelum menjawabnya, di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering digembar-gemborkan oleh sebagian orang bahwa:  “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.
Bermula dari kaidah ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?”  Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari ibadah yang tauqif. Permasalahannya adalah sudah tahukah anda, untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah tersebut seharusnya diterapkan?
Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab ushul Fiqh:
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، ” أن الأصل في العبادات التوقيف ” كما “أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة”، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛
Bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…., contohnya ibadah wajib shalat lima waktu, ibadah haji, dll. Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai adanya dalil yang melarangnya…Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif  itu….
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع

Tauqifi dalam sifat ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya…
 oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Allah ).
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً
Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!
Tauqifi dalam macamnya ibadah
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at…. Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.
Begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.
 Berdasarkan dari penjelasan kitab di atas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif  itu adalah ibadah mahdhoh… faham? Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah.
Nah untuk bisa membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan). Untuk ibadah yang sifatny mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada wasail. Baiklah, langsung contoh saja…. biar gampang dan cepat mudeng, perhatikan baik-baik ya mas-mas Wahabi …?
Ibadah Sholat, ini sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Misalnya Anda seorang penulis di blog, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di blog maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah. Setuju kan? Padahal ini nggak ada lho contoh dari Rasulullah, ya kan? Wasailnya anda menulis di blog, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah. Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat Nabi.
Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.
Kita kasih contoh lagi biar semakin jelas ya? Di Indonesia ada macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa tholabul ilmi dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah. (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah). Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.
Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabnny adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan. Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah). Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maqoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh.

Contoh gampangnya untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maqoshid: anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau nggak, gak ada dosanya. Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Kembali lagi ke Maulid. Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh.Perlu digaris bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qoth’inya.
Contoh lagi biar lebih gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail.Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika ditanya: “Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?” JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Begitu pula dengan Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong? Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Sedikit tambahan;  ini juga dalil kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita, karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin bertanya langsug ke Rasul. Sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama Islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (ini hukumnya ini wajib). Maka bermadzab menjadi wajib. Kalau anda tanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab? Yaa gak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail kok, Mas?Bagaimana teman-teman Wahabi…. apakah anda semua sudah paham?
 Demikianlah, kita semua berharap setelah penjelasan ini anda-anda bisa belajar dan lebih mengerti sehingga tidak serampangan dalam bertanya. Ingatlah, sebaiknya anda tidak lagi sering-sering membuat pertanyaan-pertanyaan yang salah. Kalau pertanyaannya saja salah, bagaimana menjawabnya?
Dengan demikian jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak. Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa dijawab kalau pertanyaannya saja salah? Sejak sekarang mulailah belajar membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab tidak semua hal itu harus ada dalilnya.

Ataukah kita akan menunda amal perbuatan yang baik  sampai kita dapati dalil yang menunjukkan ?
Wallahu a’lam…..

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.