Bagi pengikut aliran
Salafi Wahabi mungkin mereka merasa aliran tersebut sangat baik karena
memurnikan Tauhid, membersihkan bid’ah, dan menganut Islam sesuai ajaran Al
Qur’an dan Hadits.
Namun kenapa banyak
tentangan dari ummat Islam lainnya? Menghadapi hal itu, para Syekh Wahabi
menuding itu adalah ulah Syi’ah, Ahlul Bid’ah, Sufi, dan para pelaku TBC
(Tawassul, Bid’ah, dan Churafat). Para pengikutnya biasanya langsung taqlid
buta dan percaya. Benarkah?
Memakai Dalil Orang Kafir dalam Memvonis Bid’ah
Wahabi memakai dalil
orang kafir dalam memvonis bid’ah. Satu dalil terkenal yang sering mereka pakai
adalah:
لَوْ
كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Jika kita teliti, Nabi
tidak pernah mengatakan itu. Di Al Qur’an pun setelah diperiksa, ternyata itu
adalah ucapan orang-orang kafir yang dilontarkan terhadap orang yang beriman:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau
sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada
mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk
dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama.” [Al Ahqaaf
11]
Jadi bagaimana mungkin
kaum Wahabi bertasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir dengan mengutip ucapan
orang-orang kafir sebagai dalil utama untuk memvonis ummat Islam sebagai Ahlul
Bid’ah atau sesat? Bukankah itu keliru?
Wahabi pun keliru
menafsirkan ayat Al Qur’an di bawah:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al Hasyr 7] Kaum
Wahabi memahami apa yang “Tidak
diperintahkan” Nabisebagai“Larangan.” Padahal
di ayat di atas yang “Dilarang” yang harus kita tinggalkan. Ada pun yang tidak
diperintahkan atau tidak dilarang, itu sebetulnya bukan larangan. Dari
kesalah-pahaman pengambilan dalil inilah akhirnya kaum Wahabi jadi ekstrim dan
sering memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah, Sesat, bahkan kafir yang
akhirnya merusak ukhuwah Islamiyyah. Memecah-belah dan melemahkan ummat Islam.
Secara tak sadar mereka justru melanggar larangan Allah dan terjebak dalam
dosa.
Contoh hal yang tidak
diperintahkan atau pun dilarang Nabi misalnya penyusunan kitab Al Qur’an dan
juga Kitab-kitab Fiqih oleh para Imam Madzhab. Meski tak ada perintah dan tidak
ada larangan, itu bukan berarti haram/bid’ah. Justru bermanfaat memudahkan
ummat Islam dalam belajar Islam.
Mudah Mengkafirkan
Sesama Muslim (Takfir) dan Buruk Sangka
Paham kaum Wahabi ini
adalah paham Takfir. Yaitu menganggap ummat Islam itu Ahlul Bid’ah, sesat,
syirik, kafir, dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat Islam dengan sebutan
yang mereka sendiri tidak suka:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
[Al Hujuraat 11]
Sebetulnya firman
Allah di atas jelas agar kita tidak mengejek sesama Muslim dengan sebutan yang
tidak disukai seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi kafir. Namun kenapa kaum
Wahabi yang katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya?
Tak jarang juga kaum
Wahabi berburuk sangka/curiga sehingga orang yang berziarah kubur kemudian
berdoa kepada Allah mendoakan mayat tersebut, mereka duga sebagai berdoa kepada
kuburan dan menyebutnya sebagai penyembah kuburan. Begitu pula ada yang menulis
saat dia tengah berteduh di bawah pohon karena kepanasan di padang pasir kemudian
berdoa kepada Allah, tiba-tiba seorang Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau
menyembah pohon?”. Main tuduh orang sebagai penyembah pohon padahal tidak
mendengar apa isi doa orang tersebut. Padahal buruk sangka itu dosa:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]
Jadi bagaimana mungkin
orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah Kuburan padahal mereka itu
sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”? Mereka sekedar
mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering melakukan Ziarah
Kubur:
Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah
pernah -dahulu- melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang
berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan:
“Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab
ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat.”
Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. itu setiap malam gilirannya
di tempat Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar pada akhir malam ke makam Baqi’,
kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai perkampungan
kaum mu’minin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan
besok yakni masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya
Allah menyusul engkau semua pula. Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’
Algharqad ini.”[54] (Riwayat Muslim)
Dari Buraidah r.a., katanya: “Nabi s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para
sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka
mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para penghuni
perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu’minin dan Muslimin.
Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan
kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan keselamatan.” (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. berjalan melalui
kubur-kubur Madinah lalu beliau menghadap kepada mereka -penghuni-penghuni
kubur-kubur- itu dengan wajahnya, kemudian mengucapkan -yang artinya-:
“Keselamatan atasmu semua hai para ahli kubur, semoga Allah memberikan
pengampunan kepada kita dan kepadamu semua. Engkau semua mendahului kita dan
kita akan mengikuti jejakmu.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah hadits hasan.
Saat kita ziarah ke
makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga kalau orang-orang yang
menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai menyembah Nabi sehingga sering
mengusirnya. Padahal itu tidak benar.
Terlalu Ekstrim dalam Memvonis Bid’ah
Dalam hal memvonis
Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para Imam Mazhab itu boleh
dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru dari Imam Hanafi dan
Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Toh meski
Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga Qunut Subuh, tidak
pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam Syafi’i sebagai Ahlul
Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam Hambali malah berguru kepada
Imam Syafi’i.
Banyak hal yang
menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur Ulama justru tidak
bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat 20, Qunut Subuh,
dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah, lalu mereka
musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan terlalu gampang
memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan
hadits dulu sebelum begitu.
1.
Zaman Nabi shalat
Tarawih sendiri2.
Zaman Umar jadi Khalifah,
Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah
bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas
KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada
sekarang.
2.
Zaman Nabi Al Qur’an
tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang.
Namun
pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan
sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak
Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu
bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya
Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka?
Tidak bukan? Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak
bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan
orang itu dosa.
3.
Kitab Hadits zaman
Nabi tidak ada.
Bahkan Nabi melarang sahabat untuk
menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para
ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al
Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah
yang masuk neraka.
4.
Bilal juga pernah
menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan Subuh. Nabi tidak
menganggap itu bid’ah.
5.
Nabi Muhammad tidak
pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit melakukannya. Nabi
membolehkannya.
6.
Nabi Muhammad tidak
pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi melakukannya. Saat
Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya. Justru Nabi
menontonnya.
7.
Usman mengadakan
tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari
Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa
Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu
riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat
memerintahkan 1/220) azan yang ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu
dilakukanlah azan itu di Zaura’. (Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220).
Nabi tidak mempunyai muadzin kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan
ketika imam duduk di atas mimbar.” [HR Bukhari]
Dsb.
Tidak Bisa Menerima Perbedaan Pendapat
Salafi Wahabi tidak
bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut mereka kebenaran hanya
satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan salafi ini
diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan
kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi
terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW
bersabda: ˜Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis
kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang
begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan
yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan (katakanlah):
‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban
dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal.
47-48).
Padahal jika kita
membaca ayat Al Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa Jalan
yang Lurus (Shirothol Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan kaum
Yahudi (yang Dimurkai Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat). Jadi
insya Allah jika dia Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia akan
selamat.
Salafi meyakini bahwa
merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat
dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan
akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :
“Umatku akan
terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR
Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan mengutip dua
hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu
jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua
hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk
syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan
salafi :
“Dan orang-orang
yang tetap di atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih.
Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka
dinamakan salafi.”(Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis
Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).
”Kami di atas
manhaj yang selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala
kebaikan “alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan
Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).
Padahal jika kita
benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits Nabi yang bercerita
tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa menerima adanya
perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan Islam.
Sesungguhnya perbedaan
pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama
Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja
biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi
Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda
pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi
rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan
mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan
peperangan.
Bagaimana cara Nabi
menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut
masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat
menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah
kepada kita semua.
Dalam Shahih
al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab
pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan
berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam
menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua
menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua
sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT
dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,”
sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah
daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi
tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ
بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى
نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ.
فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ
وَاحِدًا مِنْهُمْ
“
“
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan,
maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang
lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau
inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun
beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak
mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah,
sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya.
Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan
ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana
diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani
Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka
mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar
menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid
yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian
ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah
engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu
menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360]
an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin
Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan
RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau
mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan
sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau
bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah
melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di
Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak
melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah,
sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau
berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam
berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada
pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami
ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak
menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak
menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan
selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan
adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung
disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka
mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah
laknat”.
Meski tidak bersumber
ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa.
Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi
menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah
perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti
sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah,
lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia
biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan
satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi
Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh
mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat
Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka
yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud
memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya
tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s.
memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya
tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan
mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru
telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil
kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka
mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara
keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi
ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam
karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi itulah beberapa
kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti Habib Rizieq Syihab dari
FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita mewaspadai hal ini:
FPI membagi WAHABI
dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI
yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka,
juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar
Sendiri
Jika kita teliti
Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang lahir pada abad 1-3
Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan tidak memaksa orang
untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini berbeda sekali
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan yang lahir di tahun 12
Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya Muwahhidun atau Manhaj
Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan memaksa agar ummat Islam
lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.
Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah
Islam sebenarnya tidak
menganjurkan perdebatan karena bisa merusak persaudaraan. Namun kaum Salafi
Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya kata-kata Ahlul Bid’ah, Sesat,
Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang sayangnya ditujukan kepada
sesama Muslim.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu
dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan
di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul
Iman: 1897]
Imam Malik
rahimahullah berkata: “Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus
Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama),
padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya
sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam Malik
rahimahullah berkata: ”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya
sama sekali).”
Imam Malik
rahimahullah berkata: “Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan
cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik
rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal
itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
Imam as-Syafi’I
rahimahullah berkata: “Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan
menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar,
10/28]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.