Rabu, 19 September 2012

PERNIK WAHABI-SALAFY


Bagi pengikut aliran Salafi Wahabi mungkin mereka merasa aliran tersebut sangat baik karena memurnikan Tauhid, membersihkan bid’ah, dan menganut Islam sesuai ajaran Al Qur’an dan Hadits.

Namun kenapa banyak tentangan dari ummat Islam lainnya? Menghadapi hal itu, para Syekh Wahabi menuding itu adalah ulah Syi’ah, Ahlul Bid’ah, Sufi, dan para pelaku TBC (Tawassul, Bid’ah, dan Churafat). Para pengikutnya biasanya langsung taqlid buta dan percaya. Benarkah?

Memakai Dalil Orang Kafir dalam Memvonis Bid’ah

Wahabi memakai dalil orang kafir dalam memvonis bid’ah. Satu dalil terkenal yang sering mereka pakai adalah:
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Jika kita teliti, Nabi tidak pernah mengatakan itu. Di Al Qur’an pun setelah diperiksa, ternyata itu adalah ucapan orang-orang kafir yang dilontarkan terhadap orang yang beriman:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama.” [Al Ahqaaf 11]

Jadi bagaimana mungkin kaum Wahabi bertasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir dengan mengutip ucapan orang-orang kafir sebagai dalil utama untuk memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah atau sesat? Bukankah itu keliru?

Wahabi pun keliru menafsirkan ayat Al Qur’an di bawah:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al Hasyr 7]  Kaum Wahabi memahami apa yang “Tidak diperintahkan” Nabisebagai“Larangan.” Padahal di ayat di atas yang “Dilarang” yang harus kita tinggalkan. Ada pun yang tidak diperintahkan atau tidak dilarang, itu sebetulnya bukan larangan. Dari kesalah-pahaman pengambilan dalil inilah akhirnya kaum Wahabi jadi ekstrim dan sering memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah, Sesat, bahkan kafir yang akhirnya merusak ukhuwah Islamiyyah. Memecah-belah dan melemahkan ummat Islam. Secara tak sadar mereka justru melanggar larangan Allah dan terjebak dalam dosa.

Contoh hal yang tidak diperintahkan atau pun dilarang Nabi misalnya penyusunan kitab Al Qur’an dan juga Kitab-kitab Fiqih oleh para Imam Madzhab. Meski tak ada perintah dan tidak ada larangan, itu bukan berarti haram/bid’ah. Justru bermanfaat memudahkan ummat Islam dalam belajar Islam.

Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim (Takfir) dan Buruk Sangka

Paham kaum Wahabi ini adalah paham Takfir. Yaitu menganggap ummat Islam itu Ahlul Bid’ah, sesat, syirik, kafir, dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat Islam dengan sebutan yang mereka sendiri tidak suka:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]

Sebetulnya firman Allah di atas jelas agar kita tidak mengejek sesama Muslim dengan sebutan yang tidak disukai seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi kafir. Namun kenapa kaum Wahabi yang katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya?

Tak jarang juga kaum Wahabi berburuk sangka/curiga sehingga orang yang berziarah kubur kemudian berdoa kepada Allah mendoakan mayat tersebut, mereka duga sebagai berdoa kepada kuburan dan menyebutnya sebagai penyembah kuburan. Begitu pula ada yang menulis saat dia tengah berteduh di bawah pohon karena kepanasan di padang pasir kemudian berdoa kepada Allah, tiba-tiba seorang Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau menyembah pohon?”. Main tuduh orang sebagai penyembah pohon padahal tidak mendengar apa isi doa orang tersebut. Padahal buruk sangka itu dosa:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]

Jadi bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah Kuburan padahal mereka itu sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”? Mereka sekedar mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering melakukan Ziarah Kubur:

Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah pernah -dahulu- melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat.”

Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. itu setiap malam gilirannya di tempat Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar pada akhir malam ke makam Baqi’, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum mu’minin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan besok yakni masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allah menyusul engkau semua pula. Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’ Algharqad ini.”[54] (Riwayat Muslim)

Dari Buraidah r.a., katanya: “Nabi s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu’minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan keselamatan.” (Riwayat Muslim)

Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. berjalan melalui kubur-kubur Madinah lalu beliau menghadap kepada mereka -penghuni-penghuni kubur-kubur- itu dengan wajahnya, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para ahli kubur, semoga Allah memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu semua. Engkau semua mendahului kita dan kita akan mengikuti jejakmu.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Saat kita ziarah ke makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga kalau orang-orang yang menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai menyembah Nabi sehingga sering mengusirnya. Padahal itu tidak benar.

Terlalu Ekstrim dalam Memvonis Bid’ah

Dalam hal memvonis Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para Imam Mazhab itu boleh dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru dari Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Toh meski Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga Qunut Subuh, tidak pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam Syafi’i sebagai Ahlul Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam Hambali malah berguru kepada Imam Syafi’i.

Banyak hal yang menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur Ulama justru tidak bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat 20, Qunut Subuh, dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah, lalu mereka musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan terlalu gampang memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan hadits dulu sebelum begitu.

1.    Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2.
Zaman Umar jadi Khalifah, Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada sekarang.

2.    Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang.
 Namun pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka? Tidak bukan? Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.

3.    Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada.
Bahkan Nabi melarang sahabat untuk menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah yang masuk neraka.

4.    Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.

5.    Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit melakukannya. Nabi membolehkannya.

6.    Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya. Justru Nabi menontonnya.

7.    Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura’. (Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar.” [HR Bukhari]
Dsb.

Tidak Bisa Menerima Perbedaan Pendapat

Salafi Wahabi tidak bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut mereka kebenaran hanya satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: ˜Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).

Padahal jika kita membaca ayat Al Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa Jalan yang Lurus (Shirothol Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan kaum Yahudi (yang Dimurkai Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat). Jadi insya Allah jika dia Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia akan selamat.
Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :
Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi :

Dan orang-orang yang tetap di atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi.”(Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).

 ”Kami di atas manhaj yang selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan “alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).

Padahal jika kita benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits Nabi yang bercerita tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa menerima adanya perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari  Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi itulah beberapa kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita mewaspadai hal ini:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar Sendiri
Jika kita teliti Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang lahir pada abad 1-3 Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan tidak memaksa orang untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini berbeda sekali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan yang lahir di tahun 12 Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya Muwahhidun atau Manhaj Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan memaksa agar ummat Islam lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.

Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah

Islam sebenarnya tidak menganjurkan perdebatan karena bisa merusak persaudaraan. Namun kaum Salafi Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya kata-kata Ahlul Bid’ah, Sesat, Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang sayangnya ditujukan kepada sesama Muslim.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Imam Malik rahimahullah berkata: “Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam Malik rahimahullah berkata: ”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata: “Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
Imam as-Syafi’I rahimahullah berkata: “Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.