Bahkan ulama panutan mereka, Ibnu
Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat
mengandalkan potongan perkataan tersebut.
Ibnu Taimiyah berkata:
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي
صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل
الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ
بأبي هو وأمي.
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya
membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam’
sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah
adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya
penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wsallam yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi
kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para
ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .”
Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya tampaknya
salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut.
Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan
di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada
Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dengan kaki hewan (kendaraan-pent)” (lihat Syarh
Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr,
Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar
biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang
yang ingin menziarahi makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ?
Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang
keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab
Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku
menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” adalah karena
semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal
tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah
kubur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah termasuk amalan yang
paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para
ulama.
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah
mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah
seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku
menziarahi atau mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”
dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam.” berhubung banyak hadits mengisyaratkan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam dan kaum muslim yang telah meraih maqom di sisiNya
di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja
yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Tampak
Imam Malik tidak suka Rasulullah Shallallahu Wasallam yang telah wafat itu
diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh
dalil-dalil yang sah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم
, تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku
lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal
perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku
memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada
Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli
pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس
ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan
saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia
dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu
Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في
الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan
saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang
lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab
salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di
dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من
الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم
كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian
diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal
dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun
jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau
matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau
memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Imam Nawawi didalam Al-Majmu jilid VIII
halalam 272.
“Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut,
bahwa As-Sabkiy mengata- kan sebagai berikut: “Sahabat-sahabat kami
menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara
Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meng-hadapkan wajah kepadanya
(Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam) dan membelakangi Kiblat,
kemudian mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu Alaihi Wasallam beserta
keluarganya (ahlu-bait beliau Shallallahu Alaihi Wasallam) dan para Sahabatnya,
lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau Shallallahu Alaihi Wasallam
(Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali
ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman
398).
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan
cara berziarah yang tersebut diatas adalah haram, bid’ah, sesat dan lain
sebagainya.
Hadits tersebut berkaitan dengan masalah
sholat dan masjid jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits
tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin
bersholat di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’
, karena sholat di selain ketiga masjid tersebut sama pahalanya.
Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal yaitu Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Orang
tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin
menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram(di Makkah),
Al-Masjidul- Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah)” Imam
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan
baik.
Hadits yang semakna diatas tapi sedikit
perbedaan kalimatnya yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai
hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak
perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin
menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di
Palestina) dan masjidku ini (di Madinah)” . (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3).
Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.
Dengan demikian hadits-hadits diatas ini
semuanya berkaitan dengan sholat dan masjid bukan sebagai larangan untuk
(perjalanan) berziarah kubur kepada Rasulallah Shallallahu Alaihi
wasallam dan kaum muslimin lainnya!
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan
perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid
Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena
dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua
atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan
lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan
hanya kepada ke tiga masjid tersebut.
Di sinilah para ulama meluruskan
pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang
membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata
“masjid”. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan
dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain
dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid
itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab
berjudul “Hasyiyah Al-’allaamah Ibn Hajar Al-Haitami ‘Alaa Syarh Al-Idlah Fii
Manasik Al-Hajj”, (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi)
menuliskan (yang artinya)
“… Jangan tertipu dengan pengingkaran
Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena
sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana
kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga sebagaimana
telah panjang lebar dijelaskan tentang kesesatannya oleh Imam Taqiyyuddin
as-Subki dalam karya tersendiri untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi
Ziyarah Khayr al-Anam). Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap
Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia
telah melakukan penghinaan, –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan
oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah
ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari
keburukan-keburukan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh
banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya
dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala
apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
Selain mereka mengingkari sunnah Rasulullah
mengenai ziarah kubur, merekapun melarang berdoa di kuburan dengan dalil
sebagai berikut,
“ dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia
melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka
Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari
ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan
jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena
sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’(diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam
mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Mereka memahami riwayat dari Ali bin Husain
bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Tholib) sebagai larangan berdoa atau
bertawassul di makam Nabi.
Riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib tersebut sekedar mengingatkan orang yang masuk dan berdoa pada celah
dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menyembah kuburan
Nabi (“larangan menjadikan kuburan sebagai ‘ied” atau “larangan menjadikan
menjadikan kuburan sebagai masjid” dengan mengembalikan kata masjid kepada kata
asalnya sajada, tempat sujud. Berikut anjuran untuk tidak perlu mempersulit
diri dengan memasuki celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
karena bersholawat, bertawassul dapat dilakukan dimanaoun.
Dalam ziarah kubur kita sebaiknya menghindari
timbulnya fitnah orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya
penyembahan kuburan.
Begitupula perkataan Imam As Syafi’i
rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya
dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat”
cara memahaminya kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni
sajada yang artinya tempat sujud sehingga maknanya janganlah bersujud pada
kuburan Beliau untuk menghindari timbulnya fitnah orang lain yang melihat
sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan walaupun di hati yang bersujud
tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada
Beliau.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah
radiallahu anha “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau
dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan
beliau sebagai masjid.”(HR Muslim 853) maknanya Kuburan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak
bersujud kepada kuburan Beliau untuk menghindari timbulnya fitnah orang lain
yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan walaupun di hati
yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam.
Hadits Pertama :
Nabi Saw bersabda :
لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya “
Hadits Kedua :
لاتجلسوا على القبور
ولا تصلوا إليها
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan
janganlah sholat menghadapnya “.
PENJELASAN HADITS
PERTAMA :
Segi Ilmu Nahwu :
لعن : فعل ماض مبني على
الفحة
الله : فاعل مرفوع
بالضمة
اليهود : مفعول لعن
منصوب بالفتحة
و : حرف عطف
النصارى : معطوف
باليهود منصوب بالفتحة
اثخذوا : فعل ماض
والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل
والاتخاذ من افعال
التحويل تنصب مفعولين.
قبور : مفعول اول وهو
مضاف
انبياء : مضاف اليه
مجرور بالكسرة
هم : ضمير متصل مبني
على السكون
مساجد : مفعول ثان
منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة
وجملة الفعل والفعل وما
بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى
Keterangan :
• Lafadz ittakhadza termasuk fi’il tahwil
yaitu predikat yang menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf’ul karena ia
juga termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua
maf’ulnya.
• Maf’ul pertamanya adalah kalimat QUBURA
ANBIYAIHIM (Kuburan para nabi mereka). Dan maf’ul keduanya adalah MASAJID
(masjid-masjid).
• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan
setelahnya menjadi NA’AT (Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.
Maka arti dari sisi nahwunya “ Allah
melaknat kepada Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai masjid-masjid “.
Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :
لعن الله • : Adalah jumlah du’aiyyah (susunan doa) yang
mengandung makna tholabiyyah (permohonan).
اتخذوا • : Adalah jumlah musta’nifah ‘ala sabilil bayan limuujibil
la’an (Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)
قبور انبيائهم مساجد • : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.
- Majaz : Penggunaan
suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari
majaz ialah haqiqah.
- Tasybih : Uslub
yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.
Secara umum tasybih ini tujuannya untuk
menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera.
Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan
ini adalah :
“ Semoga Allah melaknat orang-orang
Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat
sujud “.
Syarah alfadz atau mufradat :
Sekarang kita akan kupas satu persatu dari
kalimat hadits tersebut dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih
lainnya, merujuk pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga kita akan
dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan hadits-hadits lainnya yang
saling berkaitan.
Setelah itu kita akan timbang dengan
komentar-komentar atau pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat
berkompeten dan menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.
PEMBAHASAN :
Mufradat :
• Lafadz qubur jama’ dari mufrad qobrun yang
berarti madfanul insane al-mayyit (tempat pendaman mayat).
• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan
lilqobri yaitu maudhi’u dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati
atau istilah lainnya pekuburan / pemakaman). Yang berarti juga tempat dimana
terdapat tiga atau lebih dari orang yang dipendam.
• Dan lafadz Masajid adalah jama’ dari kata
Masjid berasal dari kata sajada yasjudu (bersujud). Masjid adalah isim makan
‘ala wazni maf’ilun. Maka masjidun artinya makanun lis sujud (tempat untuk
sujud).
Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah
:
لعن الله
اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah : “ Semoga Allah melaknat
orang-orang yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman
para nabi mereka sebagai tempat untuk sujud “.
Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan
nabi mereka sebagai tempat sujud dan ibadah mereka. Mereka buat patung seorang
nabi atau orang sholeh di atas kuburan nabi atau orang sholeh tersebut.
Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.
Inilah makna yang shahih dan sebenarnya,
kenapa bias demikian ? simak..
Pertama : Fi’il
ittakhodza (اتخذ) adalah dari fi’il
khumasi muta’addi dan salah satu fi’il tahwil atau shoirurah yang memiliki
makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf’ul (objek)-nya.
Maf’ul yang pertama menjadi dzat maf’ul yang kedua seluruhnya.
Contoh : اتخذت
الحقل مرعى “ Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.
Artinya ; “ Aku merubah semua ladang itu
menjadi tempat penggembalaan .
Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :
اتخذت من الحقل مرعى
“ Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat
penggembalaan “.
Kalau untuk di artikan membangun, maka tidak boleh kita katakan :
اتخذت الارض بيتا
“ Aku bangun tanah itu sebagai rumah “,
kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak
sesuai dengan fungsi fi’il ittakhodza sebagai fi’iI tahwil bukan bina’.
Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya
adalah sebagai berikut :
بنيت على الارض بيتا
“ Aku membangun rumah di atas tanah itu “.
Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan
membangun tempat sujud di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan
sebagai tempat sujud. Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi’il tersebut.
Dan hadits membangun masjid / tempat sujud
dikuburan, ada matan dan riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan
hadits di atas. Nanti saya akan jelaskan.
Kedua :
Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di
atas dapat diketahui makna hadits di atas yang sebenarnya :
فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله
عليه وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم
وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود
والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد.
Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah
Saw ketika dulu ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah
melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi
mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah
Rasulullah Saw “ Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan
kuburan para nabi mereka sebagai masjid “.
Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh
Allah Saw dalam al-Quran berikut :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً
وَاحِداً لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Mereka menjadikan orang-orang alim
(Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan
orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia
dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)
Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw
melaknat orang yahudi dan nashoro adalah karena mereka menyembah patung para
nabi dan patung orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara
mereka. Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid
yang ada kuburannya.
Ketiga :
Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw
lainnya berikut diriwayatkan dari Atho'’bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري
وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku
sesembahan yang disembah, Allah sangat
murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud
“.
Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang
menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang
menyembah kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota tubuh
dan juga hati mereka. Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata “ watsanan
yu’bad “ (sesembahan yang disembah). Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah
Nampak jelas mereka menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.
Keempat :
Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya
adalah tempat sujud bukan berupa bangunan masjid. Karena orang-orang yahudi
beribadah bukan di dalam masjid, demikian juga orang-orang Nashoro beribadah
bukan di dalam masjid, melainkan mereka beribadah di ma’bad dan kanisah (kuil
dan gereja).
Maka hadits di atas sangat tidak tepat
diarahkan pada bangunan masjid kaum muslimin. Maka makna hadits tersebut yang
shahih adalah “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro
tersebut, sebab menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud “.
Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan
hadits Nabi Saw sebagai berikut :
"الأرض كلها مسجد
إلا المقبرة والحمام
“ Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk
dijadikan tempat sujud (tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat
pemandian “.
Jika kita artikan masjid dalam hadits ini
adalah bangunan masjid, maka logikanya kita boleh melakukan I’tikaf dan sholat
tahiyyatul masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar. Sungguh hal ini
bertentangan dengan hokum fiqihnya.
Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna
masjid di situ adalah bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk
sujud, dengan penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan
mutstsana minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah
(pekuburan) dan al-Hammam (tempat pemandian).
Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi
disebut juga bangunan masjid. Maka arti hadits tersebut bermakna :
“ Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat
sujud, kecuali tempat pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid disitu dengan
bangunan masjid “ Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali pekuburan
dan tempat pemandian “, maka pengertian seperti ini jelas salah dan
batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat pemandian itu
dengan masjid yang boleh I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid lalu
diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.
Kelima :
Melihat sejarah pemakaman Nabi Saw. Rasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya,
yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra.,
isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat
terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar
bin Khatthab.
Di masa Nabi
Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m,
dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Karena umat muslim yang berkunjung semakin
pesat dan tempatnya semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan
diperluas lagi walaupun yang pertama merovasinya adalah Umar bin Khoththob.
Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga
bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Selanjutnya diperluas lagi oleh
raja Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan
masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai
luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas
135.000 m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd tersebut.
Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar Ash-Shdiddiq
dan Umar bin Khoththob.
Di zaman Utsman bin Affan
saat perluasan masjid yang disaksikan lebih dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada
satu pun dari mereka yang mengingkarinya atau mengatakannya haram. Bahkan
sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di dalamnya,
memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.
Nabi Saw bersabda :
صلاة في مسجدي هذا أفضل
من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام
“ Sholat di masjidku ini
lebih utama dari sholat seribu kali diselainnya kecuali di masjdil haram “
Beliau juga bersabda :
من زار قبري وجبت له شفاعتي
“ Barangsiapa yang ziarah ke
makamku, maka ia berhak mendapat syafa’atku “.
Bahkan siti Aisyah pun sering
sholat di kamar tersebut sebagaimana telah dikisahkan dalam shahih Bukhari.
Seandainya hal itu suatu
kemungkaran dan keharaman karena beralasan dengan alasan yang tidak nyambung
yaitu dengan hadits menjadikan kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas,
seperti yang telah difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh
Muqbil yang merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para
sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.
Umat muslim sejak zaman
sahabat hingga sekarang ini terus berziarah ke masjid Nabawi tersebut,
melakukan sholat di dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun
ulama di seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama
madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang terdapat
makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar
bin Khoththob.
Ke enam : Allah Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا
عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ
فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً
رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ
عَلَيْهِم مَسْجداً
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia)
dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat
tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka,
maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang
yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di
atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)
Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang
sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar
menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua
berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.
Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati
sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama Ahli
Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan kaum
yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt.
Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :
يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين
غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين،
فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى كلامه أن
الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.
Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan
masjid dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah
orang-orang muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa
dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih
utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah
kaum muslimin “.
وقال الإمام الرازى فى
تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك
المسجد». تفسير الرازى
Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami
akan menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah
kepada Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para
pemuda ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.
Ketujuh :
عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات
فيه: لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك
لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Dari siti Aisyah bahwasanya
Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang wafatnya “ Semoga Allah melaknat
orang yahudi dan nashoro, sebab mereka menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai masjid “. Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka aku akan
tampakkan makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud “.
Siti Aisyah ingin menampakkan
makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan pagar, namun beliau khawatir makam Nabi
Saw dibuat sujud oleh kaum muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits
larangan menjadikan kuburan para Nabi sebgai tempat sujud.
Maka ucapan siti Aisyah
tersebut menjelaskan makna hadits :
لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah masjid dalam hadits
tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid. Dan inilah rahasia doa Nabi
Saw :
اللهم لا تجعل قبري
وثناً يعبد
“ Ya Allah, jangan jadikan
makamku sesembahan yang disembah “ Nabi tidak mengatakan :
اللهم
لا تجعل قبري مسجدا
“ Ya Allah, jangan jadikan
makamku sebagai masjid “.
Doa Nabi Saw terkabuli dan
terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi sesembahan kaum muslimin
yang berziarah di sana.
Dalam riwayat lainnya Nabi
Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري
وثناً يصلى له
“ Ya Allah, jangan jadikan
makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat “.
Maka dengan penejelasan
ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa
yang dimaksud masjid dalam hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan
masjid.
Maka makna hadits Nabi Saw :
لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro,
sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Inilah makna yang shahih dan
yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan hawa nafsu atau kedangkalan cara
berpikir.
Selanjutnya saya akan
memaparkan makna hadits ini dan juga hadits yang kedua dari segi ilmu Ushul
Fiqihnya. Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai
hadits tersebut seperti penjelasan di atas. Sehingga kemusykilan menjadi musnah
dan kebenaran semakin jelas dan nyata.
Dari segi ilmu fiqihnya yaitu berkaitan pada
illat / sebab pelaknatannya yang ada pada hadits berikut :
لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Sebelumnya saya telah mengupas makna hadits
tersebut dari sisi ilmu alatnya yang kesimpulannnya sebagai berikut :
1. Kata al-Ittikhaz dalam hadits tersebut
sudah maklum adalah min af’aalit tahwil atau shairurah (mengandung makna
merubah) yang memiliki hokum menashobkan dua maf’ulnya karena ia juga termasuk
saudaranya Dzhann.
Memang ada juga fi’il ittikhadz yang yata’addi
ila maf’ulin wahidin (membutuhkan hanya satu maf’ul) contoh :
اتخذت سيارة : Aku telah membuat mobil.
Dan terkadang oleh ulama fi’il iitikhazd ini
juga digabungkan dengan kata al-Binaa (membangun), sebagaimana penjelasannya
nanti.
2. Kata masjid dalam hadits tersebut memiliki
makna majazan (tempat sujud) dan tidak bisa secara haqiqatan (bangunan masjid),
sebab memang realitanya saat itu mereka membangun tempat ibadah versi agama
mereka yang bukan Islam dan juga tempat ibadah mereka (Yahudi dan Nashoro)
bukanlah masjid.
Maka hadits di atas ditinjau dari sisi ilmu
alatnya adalah :
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nashoro itu, sebab mereka telah merubah kuburan para nabi sebagai tempat sujud
mereka “
Makna Hadits di atas senada dengan Hadits :
الأرض كلها مسجد إلا
المقبرة والحمام
“ Bumi itu seluruhnya layak dijadikan tempat
sujud kecuali pekuburan dan tempat pemandian “
●●●
Sekarang mari kita masuk pada Ushul Fiqihnya
untuk mengetahui illat yang menyebabkan datangnya laknat tersebut. Dan juga
saya akan membahas hadits-hadits lainnya yang menyinggung masalah kuburan.
Serta pendapat para ulama berkaitan tentang persoalan ini.
Dalam Ushul Fiqih ada kaidah yang mengatakan :
الحكم يدور على علته
وجودا وعدما
“ hukum itu berputar bersama illatnya dalam
mewujudkan dan meniadakan hokum”
Illat adalah :
الوصف المعرف للحكم
بوضع الشارع
“ Sifat yang dijadikan sebuah hokum dengan ketentuan
syare’at “
Contoh Khomr, dalam khomr ada sifat yang
memabukkan, wujudnya sifat memabukkan ini tidak lah diharamkan hingga
syare’atlah yang menentukan keharamannya.
Dan hokum berputar pada iilatnya bukan pada
hikmahnya. Jika ada illat maka timbullah hokum dan jika tidak ada illat maka
hilanglah hokum.
Contoh ; bepergian saat bulan Ramadhan
dibolehkan tidak berpuasa (mokel) dan mengqoshor sholat. Illatnya (sebabnya) adalah
karena bepergian (safar).
Hikmahnya adalah menghindari kesulitan atau
kepayahan (masyaqqah).
Masyaqqah ini atau kepayahan adalah hal yang
relatif pada keadaan masing-masing orangnya. Jika tidak ada masyaqqah alias
hilang masyaqqahnya, maka ia tetap boleh mengqoshor sholat dan boleh tidak
berpuasa.
Karena bepergian itu merupakan illat yang
menimbulkan hokum tsb dan hokum itu mengikuti illatnya yaitu safar bukan pada
hikmahnya yaitu menghindari masyaqqah.
●
Nah sekarang kita bahas apakah illat yang ada
dalam hadits tersebut sehingga menimbulkan pelaknatan. Sekali lagi saya masih
membahas hadits di atas dan belom melebar pada hadits-hadits lainnya yang
semisalnya dan nanti akan kita kaitkan dengannnya.
Untuk mengetahui illat dalam hadits di atas,
maka perlu adanya nash lain yang lebih menjelaskannya. Maka di sini lebih
tepatnya hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah berikut ini :
عن
عائشة رصي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه و على آله و سلم في مرضه
الذي لم يقم منه {
لعن الله اليهود والنصارى اتخذو قبور أنبيائهم مساجد } قالت : فلولا ذلك ،
أبرزوا قبره ، غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً أي يسجد له
“ Dari Aisyah
Radhiallahu ‘anha beliau berkata “ Nabi Saw bersabda di saat sakit yang beliau
tidak bias bangun darinya “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang
telah menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “, Siti Aisyah
berkata “ Jika bukan karena itu, maka niscaya para sahabat akan
menampakkan makam Nabi akan tetapi (tidak dilakukan) karena dikhawatirkan makam
Nabi Saw dijadikan tempat sujud “. (Bukhari dan Muslim)
Dari komentar siti
Aisyah dapat kita ketahui bahwa sebab Nabi Saw melaknat orang Yahudi dan
Nashoro adalah karena wujudnya penyembahan atau pensujudan terhadap kuburan
tersebut. Oleh karenanya siti Aisyah berkata “ Jika bukan hal itu, maka
kuburan Nabi Saw akan ditampakkan akan tetapi dikhawatirkan (jika ditampakkan)
akan dijadikan tempat sujud atau penyembahan “.
Artinya; Jika
bukan karena khawatir makam Nabi disembah-sembah dan disujud-sujudi oleh
orang-orang, maka makam Nabi Saw akan ditampakkan, tidak lagi di pagari atau
didindingi.
Hal ini ditegaskan lagi oleh imam Al-Qadhi
‘Iyadh Rahimallahu berikut :
قال القاضي عياض: شدد
في النهي عن ذلك ، خوف أن يتناهى في تعظيمه ، ويخرج عن حد المبرة إلى حد النكير
فيعبد من دون الله عز وجل ، ولذا قال صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا
تجعل قبري وثناً يعبد } لأن هذا الفعل كان أصل عبادة الأوثان ولذا لما كثر
المسلمون في عهد عثمان واحتيج إلى الزيادة في المسجد وامتدت الزيادة حتى أدخلت فيه
بيوت أزواجه صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، أدير على القبر المشرف حائط مرتفع ، كي
لا يظهر القبر في المسجد ، فيصلى إليه العوام ، فيقعوا في اتخاذ قبره مسجداً ثم
بنوا جدارين من ركني القبر الشماليين وحرفوهما حتى التقيا على زاوية مثلثة من جهة
الشمال
،
حتى لا يمكن استقبال القبر في الصلاة ، ولذا قالت : لولا ذلك لبرز قبره اهـ
Al-Qadhi Iyadh berkata “ Beliau
benar-benar melarang perbuatan itu (menampakkan makam Nabi Saw), karena
ditakutkan berlebihan dalam mengagungi Nabi Saw dan akan keluar dari batas
motif kebaikan pada batas motif kemungkaran sehingga ia akan menyembah pada
selain Allah Swt. Oleh sebab itu lah Rasul Saw bersabda “ Ya Allah jangan
jadikan kuburanku sebagai sesembahan yang disembah-sembah “, karena perbuatan
ini adalah pokok dari perbuatan menyembah berhala-berhala. Oleh sebab ini pula,
di masa Utsman bin ‘Affan saat masjid Nabawi butuh pelebaran dan perluasan
hingga masuk pada rumah-rumah istri Nabi Saw, maka makam Nabi Saw dipagari
dengan dinding yang agak tinggi, supaya kuburan beliau tidak tampak dalam
masjid, sehingga (jika ditampakkan) orang awam akan sholat mengarah kuburan nabi
Saw dan jatuh pada istilah menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai tempat sujud.
Kemudian para sahabat membangun dua dinding dari dua sudut makam Nabi Saw
sebelah utara dan selatan dan para sahabat merubahnya hingga menjadi sudut segi
tiga dari arah selatannya, sehingga tidak memungkinkan menghadap kuburan beliau
di dalam sholat. Oleh sebab inilah siti Aisyah berkata “ Kalau bukan sebab itu,
maka makam Nabi akan ditampakkan “.
Dari ucapan siti Aisyah dan penjelasan
al-Qadhi, semakin jelas dan terang bahwa illat / sebab Nabi Saw melaknat kaum
Yahudi dan Nashara adalah karena mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai
tempat pensujudan yang mereka sembah-sembah. Sehingga mereka menyembah kuburan
tersebut dan telah menysirikkan Allah Swt.
Dalam riwayat yang lainnya yaitu riwayat Abu
Hurairah, disebutkan bahwasanya nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل
قبري وثناً لعن الله قوماً اتخذوا من قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku
sesembahan, semoga Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan para nabi
sebagai tempat sujud mereka “.
Setelah Nabi Saw menyebutkan kata watsanan
(sesembahan), maka Nabi Saw mengucapkan laknat pada kaum yang menjadikan
kuburan para nabi sebagai tempat sujud, maka kalimat La’anallahu
qouman dan seterusnya merupakan sebagai penjelas makna watsanan yaitu
menyembah kuburan dan sujud pada kuburan yang merupakan perbuatan syirik pada
Allah Swt.
Dan juga merupakan isyarat agar umatnya nanti
setelah beliau wafat, tidak menjadikan makam beliau Saw seperti yang dilakukan
oleh orang Yahudi dan Nashoro pada makam-makam Nabi mereka yaitu menjadikan
kuburan para nabi sebagai sesembahan.
Dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan berikut ini :
{ لعن الله اليهود ،
اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد } يحذر مثل ما صنعوا
“ Semoga Allah melaknat orang Yahudi yang
menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud “. Si perawi hadits ini berkomentar “ Nabi Saw
memberi peringatan agar tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh orang
Yahudi tersebut “ yaitu menjadikan kuburan sebagai sesembahan.
(Bukhari dan Muslim)
Doa Nabi Saw tersebut agar makamnya tidak
dijadikan berhala yang disembah (watsanan yu’bad), merupakan titik
penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Dan juga merupakan sebuah
isyarat Nabi Saw pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan
oleh orang Yahudi dan Nashoro yaitu menyembah kuburan nabi mereka sebagai
watsanan yu’bad.
Dan telah terkabullah doa Nabi Saw tersebut,
terbukti kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang
menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai watsanan yu’bad (berhala yang disembah). Fa
lillahil hamdu wal minnah..
Karena kita tahu bahwa do’a nabi Saw selalu
dikabulkan oleh Allah Swt.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, bahwasanya
Nabi Saw bersabda :
لكل نبي دعوة مستجابة يدعو بها وأريد أن أختبئ دعوتي شفاعة لأمتي
في الآخرة
“ Setiap Nabi memiliki
do’a yang (pasti) dikabulkan jika ia berdoa, dan aku ingin menyimpan doaku
(yang pasti mustajab ini) sebagai syafa’at bagi umatku kelak di akherat “
Imam Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Barinya berkata
mengenai hadits do’a ini berikut :
وقد استشكل ظاهر الحديث
بما وقع لكثير من الأنبياء من الدعوات المجابة ولا سيما نبينا - صلى الله عليه
وسلم - وظاهره أن لكل نبي دعوة مستجابة فقط والجواب أن المراد بالإجابة في الدعوة
المذكورة القطع بها وما عدا ذلك من دعواتهم فهو على رجاء الإجابة وقيل معنى قوله
" لكل نبي دعوة " أي أفضل دعواته ولهم دعوات أخرى
“ Dzahirnya hadits
terdapat kemusykilan dengan beberapa doa para Nabi Saw yang msutajabah terutama
Nabi kita Muhammad Saw. Dhahir hadits mengatakan bahwa setiap Nabi hanya
memiliki satu doa saja. Maka jawabannya adalah yang dimaksud dengan doa yang
dikabulkan dalam hadits tersebut adalah “ doa yang pasti dikabulkan “ adapun
selain itu dari doa-doa para nabi, maka selalu ada harapan dikabulkan. Ada yang
mengartikan hadits tsb bahwa yg dimaskud setiap nabi memiliki satu doa
maksudnya adalah satu doa yang paling utama, dan para nabi memiliki doa-doa yg
lainnya “.
●
Komentar para ulama tentang Hadits di atas :
1.
Imam Baidhowi dalam kitab Syarh Az-Zarqani atas Muwaththo’ imam Malik
berkata :
قال البيضاوي : لما
كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في
الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه ،
أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر
من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن
إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي
بصلاته .
والنهي عن الصلاة في
المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى
Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada
kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya
arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah
menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat
muslim mencontohnya.
Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi
orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan
mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat,
maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail
berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram
tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat
di dalamnya.
Pelarangan sholat di perkuburan adalah
tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “
(Kitab syarh Az-Zarqani bab Fadhailul Madinah)
Qoul ini banyak dinukil oleh para ulama
pensyarah Hadits seperti imam Ibnu Hajar Al-Astqalani dalam Fathu al-Barinya
dan imam Al-Qadhi dalam Faidhul Qadirnya, imam az-Zarqani dalam syarh
muwaththo’nya dan selainnya.
Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di
samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan
meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan
tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan
terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.
Dan beliau menghukumi makruh sholat di
pemakaman yang ada bongkaran kuburnya karena dikhawatirkan ada najis, jika
tidak ada bongkarannya maka hukumnya boleh tidak makruh.
Catatan :
Menurut imam Baidhawi larangan yang bersifat
makruh tanzih tersebut, bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya
dengan masalah kenajisan tempatnya. Beliau memperjelasnya dengan kalimat :
لما فيها من النجاسة
Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit
ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang
tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak
tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.
Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak
dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan
di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap
pekuburan. Beliau berkata :
وقد زعـم قـوم أنّ فى
هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك
حُجة
“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut
menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke
maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Karena hadits di atas bukan menyinggung
masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai
tempat peribadatan.
2. Imam Az-Zarqani dalam
kitab Syarh Muwaththo’nya berkata ketika mengomentari makna MASAJID dalam
hadits Qootallahu berikut :
( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) أي اتخذوها جهة قبلتهم مع اعتقادهم
الباطل ، وأن اتخاذها مساجد لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وقدم اليهود
لابتدائهم بالاتخاذ وتبعهم النصارى فاليهود أظلم
“ (Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai
masjid / tempat sujud) yang dimaksud adalah mereka menjadikan kuburan para nabi
sebagai arah qiblat mereka dengan aqidah mereka yang bathil. Dan menjadikan
kuburan para nabi sebagai masjid melazimkan untuk menjadikan masjid (tempat
sujud) di atas kuburan seperti sebaliknya. Dalam hadits di dahulukan orang
Yahudi karena mereka lah yang memulai menjadikan kuburan sbgai masjid kemudian
diikuti oleh orang nashoro, maka orang yahudi lebih sesat “.
Kemudian setelah itu beliau menukil ucapan
imam Baidhawi tersebut. Dan setelahnya beliau berkomentar :
لكن خبر الشيخين كراهة
بناء المساجد على القبور مطلقا ، أي : قبور المسلمين خشية أن يعبد المقبور فيها
بقرينة خبر : " اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد " فيحمل كلام البيضاوي على
ما إذا لم يخف ذلك
.“ Akan tetapi Hadits riwayat imam
Bukhari dan Muslim tersebut menunjukkan KEMAKRUHAN membangun masjid di atas
kuburan secara muthlaq, yaitu kuburan kaum muslimin karena ditakutkan
penyembahan pada orang yang dikubur, dengan bukti hadits “ Ya Allah, jangan
jadikan kuburanku sesembahan yang disembah. Maka ucapan imam Baidhawi tersebut
diarahkan jika tidak khawatir terjadinya penyembahan pada orang yang disembah
“.
3.
Al-Imam Al-Hafidz Ibnu
Abdil Barr dalam kitabnya at-Tamhid lima fi
al-Muwaththo min al-Ma’ani wa al-asaanid :
فى هذا الحديث إباحة الدّعاء على أهل الكُفر، وتحريم السّجود على
قبور الأنبياء، وفى معنى هذا أنّه لا يحل السّجود لغير الله جل وعلا، ويحتمل
الحديث أنْ لا تُجعل قبور الأنبياء قِبلة يُصلّى إليها. ثم قال ابن عبد البر: وقد
زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة،
وليـس فى ذلك حُجة
“ Di dalam hadits itu mengandung ;
dibolehkannya mendoakan buruk pada orang kafir, diharamkannya sujud di atas
kuburan para nabi, semakna juga keharaman sujud pada selain Allah Swt. Hadits
itu juga mengandung makna untuk tidak menjadikan kuburan para nabi sebagai arah
qiblat yang ia sholat menghadapnya. Kemudian dalam ucapan beliau selanjutanya,
beliau berkata “Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas
kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka
hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Coba renungkan pendapat imam Ibnu Abdil Barr,
bahwa beliau tidak menjadikan hadits di atas sebagai hujjah pelarangan sholat
di maqbarah atau sholat menghadap ke maqbarah. Bahkan beliau menyalahkan
orang yang menggunakan hadits di atas sebagai pelarangan sholat di maqbarah
atau menghadap maqbarah, meminjam bahasa gaulnya “ Gak nyambung “.
Untuk pembahasan sholat dipekuburan ini, saya
akan kupas pada pembahasan berikutnya setelah ini.
4.
Imam Ath-Thibiy dalam kitab Mirqah al-Mafatih syarh Misykah al-Mashobih
berkata :
: قال الطيبي : كأنه -
عليه السلام - عرف أنه مرتحل ، وخاف من الناس أن يعظموا قبره كما فعل اليهود
والنصارى ، فعرض بلعنهم كيلا يعملوا معه ذلك ، فقال : ( لعن الله اليهود والنصارى
) : وقوله : ( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) : سبب لعنهم إما لأنهم كانوا يسجدون
لقبور أنبيائهم تعظيما لهم ، وذلك هو الشرك الجلي ، وإما لأنهم كانوا يتخذون
الصلاة لله تعالى في [ ص: 601 ] مدافن الأنبياء ، والسجود على مقابرهم ، والتوجه
إلى قبورهم حالة الصلاة ; نظرا منهم بذلك إلى عبادة الله والمبالغة في تعظيم
الأنبياء ، وذلك هو الشرك الخفي لتضمنه ما يرجع إلى تعظيم مخلوق فيما لم يؤذن له ،
فنهى النبي - صلى الله عليه وسلم - أمته عن ذلك لمشابهة ذلك الفعل سنة اليهود ، أو
لتضمنه الشرك الخفي ، كذا قاله بعض الشراح من أئمتنا ، ويؤيده ما جاء في رواية : (
يحذر ما صنعوا )
Ath-Thibiy berkata “ Seakan-akan Nabi
Saw mengetahui bahwa beliau akan meninggal dan khawatir ada beberapa umaatnya
yang mengagungi kuburan beliau seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan
Nashara. Maka Nabi mngucapkan kata laknat, agar umatnya tidak melakukan itu
pada kuburan Nabi Saw, sehingga Nabi Saw bersabda ; “ Semoga Allah melaknat
orang Yahudi dan Nashoro “ dan sabda Nabi Saw “ Mereka telah menjadikan kuburan
para Nabi sebagai tempat sujud mereka.
Sebab adanya pelaknatan, adakalanya mereka
konon sujud pada kuburan para nabi sebagai bentuk pengagungan pada nabi
mereka, dan inilah bentuk kesyirikan yang nyata. Dan adakalanya mereka
menjadikan sholat pada kuburan para Nabi, sujud pada kuburan mereka dan
menghadap kuburan mereka saat sholat, karena mengingat ibadah pada Allah dengan
hal semacam itu dan berlebihan di dalam mengagungi para nabi, dan hal ini
merupakan bentuk kesyirikan yang samar, karena mengandung pada apa yang kembali
akan pengangungan makhluk yang tidak ditoleran ileh syare’at.
Maka Nabi Saw melarang umatnya dari melakukan
hal itu karena menyerupainya pada kebiasaan orang Yahudi. Atau mengandung
syrirk yang samar sebagaimana dikatakan oleh sebagian pensyarah hadits dari
para imam kita. Yang menguatkan hal ini adalah kalimat riawayat berikut “ Nabi
Saw memberi peringatan agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang
Yahudi dan Nashoro “.
5.
As-Syaikh As-Sanadi dalam kitabnya Hasyiah As- Sanadi berkomentar tentang
maksud hadits di atas sebagai berikut :
ومراده بذلك أن يحذر
أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك
القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيمًا أو بجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها،
قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركًا غير ممنوع
“ Yang dimaksud hadits tersebut adalah
bahwasanya Nabi Saw memperingatkan umatnya agar tidak berbuat dengan makam
beliau sebagaimana orang Yahudi dan Nashoro berbuat terhadap makam para nabi
mereka berupa menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Baik sujud pada kuburan
dengan rasa ta’dzhim atau menjadikannya sebagai qiblat yang ia menghadap
padanya diwaktu sembahyang atau semisalnya. Ada yang berpendapat bahwa
seamata-mata menjadikan masjid di samping makam orang sholeh dengan tujuan
mendapat keberkahan, maka tidaklah dilarang “ (Hasyiah As-Sanadi juz 2 hal/ 41)
Maka dengan membaca penjelasan siti Aisyah dan
komentar para ulama di atas dapat kita tangkap bahwa illat, manath, motif atau
sebab pelaknatan Nabi Saw kepada orang yahudi dan nashoro adalah wujudnya
penyembahan pada kuburan, mereka menjadikan kuburan sebagai tempat sujud,
mereka menjadikan kuburan sebagai sesembahan sehingga ini merupakan bentuk
kesyirikan kepada Allah Swt.
FIQHUL HADITS :
1.
Larangan menjadikan
kuburan sebagai tempat peribadatan sebagaimana kaum Yahudi dan Nashoro
menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat peribadatan yang mereka sujud
pada kuburan itu.
2.
Nabi Saw melarang
umatnya mengikuti perbuatanYahudi dan Nashoro tersebut.
3.
Dalam hadits tersebut
tidak menyinggung masalah sholat dipekuburan / pemakaman
4.
Illat atau sebab Nabi
Saw mengecam orang yahudi dan nashoro dengan laknat adalah karena mereka
menyembah kuburan dan telah menysirikkan Allah Swt.
Pembahasan berikutnya, saya akan membahas :
- Makna
Hadits kedua (لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها)
- Tentang
sholat di pekuburan / pemakaman
- Tentang
sholat di dalam masjid yang terdapat makamnya
- Tentang
membangun sebuah bangunan di atas kuburan
Tentunya pembahasan akan kita kaji dengan
beberapa disiplin ilmu (ilmiyyah), agar lebih mengetahui makna yang sahih dan maksud yang
sebenarnya.
Berikut kutipan perkataan Habib Munzir Al
Musawa tentang tidak ada pembedaan antara tawassul pada yang hidup
dan mati
***** awal kutipan *****
Tawassul merupakan salah satu amalan yang
sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para Tabi’in
dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah
memerintahkannya, Rasul Shallallahu alaihi wasallam mengajarkannya, Sahabat
radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada
yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau
bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tak ada pula yg membedakan antara tawassul
pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan
seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan Allah,
bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang
dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yg membedakan bolehnya tawassul
pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah
dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup
bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yg hidup dan yang mati
tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena
ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu
sebanding dg Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??,
tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup
dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila
memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada
kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi
dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketakwaan mereka
dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka
telah wafat
***** akhir kutipan *******
Oleh karenanya cukuplah bersholawat atau
bertawasul pada makam Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam contohnya dengan membaca
doa
Artinya : Selamat sejahtera atasmu
wahai Rasulullah, rahmat Allah dan berkat-Nya untukmu. Selamat sejahtera atasmu
wahai Nabiyallah. Selamat sentosa atasmu wahai makhluk pilihan Allah. Selamat
sejahtera aasmu wahai kekasih Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan ( yang
disembah) selain Allah, Yang Esa/ Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya dan engkau
adalah hamba-Nya serta rasul-Nya. Dan saya bersaksi, bahwa Engkau telah
menyampaikan risalah engkau telah menunaikan amanat egkau telah memberi nasihat
pada ummat, engkau telah berjihad di jalan Allah maka selamat-Nya, untukmu
selawat yang berkekalan sampai hari kiamat, Wahai tuhan kami, berilah kami ini
kebaikan di dunia dan kebaikan pula di akhirat serta peliharalah kami dari
siksa neraka. Ya Allah, berilah pada beliau kemuliaan dan martabat yang tinggi
serta bangkitkan dia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya,
sesungguhnya Engkau tidak akan memungkiri janji.
Semoga hal ini bermanfaat untuk menangkal
aqidah buruk mereka yang melarang ziarah kubur.
Wassalam