Rabu, 25 Desember 2024

MEREKA ADALAH SEJELEK JELEK CIPTAAN

 BERKACA DARI MASA LALU UNTUK MASA KINI


Muqoddimah

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Salah seorang ulama di kalangan madzhab Hanafiyyah, al-Imam ibn Abidin al-Hanafi rahimahullah memberikan penjelasan khusus mengenai sekte Wahhabiyyah (pengikut ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi) yang tertuang di dalam kitab karya beliau  yang berjudul Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar (p. 413). Disitu dijelaskan secara gamblang .

Adapun perkataan [“Mereka (khawaarij) mengafirkan para shohabat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”]; Aku memahami bahwasanya hal ini bukanlah syarat di dalam penamaan kelompok Khowarij, akan tetapi hal ini (penyebutan “khawarij”) menjelaskan bagi siapa saja bagi mereka yang  keluar dari barisan Sayyidinaa ‘Ali radhiyallaah ‘anhu, jika memang tidak demikian maka cukuplah dengan mengkafirkan siapa saja yang menyelisihi pendapat mereka, seperti halnya yang dapat ditemui di zaman kita saat ini, yaitu sekelompok pengikut Abdul Wahhab dari Nejd (Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi) yang menguasai secara paksa dua tanah suci (al-haramain) dan mereka mengaku-ngaku bermadzhabkan Hanbaliyyah, bahwasanya mereka menganggap kelompok mereka adalah muslimin yang sebenarnya, dan yang menentang kelompoknya adalah musyrikin. Oleh sebab itu mereka membolehkan membunuh (memerangi) kaum ahlussunnah wal jama’ah dan membunuh (memerangi) pula para ulama’ ahlussunnah wal jama’ah. Hingga kemudian Allah menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga hijriyah (tahun 1233 H).


KHAWARIJ

DEFINISI KHOWARIJ

Ditinjau secara bahasa, khawarij adalah bentuk jama` dari kata kharij, yaitu isim fa`il dari kata kharaja yang berarti keluar, hal itu disebabkan karena keluarnya mereka dari dien atau keluarnya mereka dari imam, bahkan keluarnya mereka dari manusia.

Ditinjau secara istilah, para ulama` berbeda dalam hal ini :

1. Ada yang memaksudkan khawarij secara umum yaitu sebagai satu sikap politik. Siapa saja yang` keluar` dari ketaatan kepada imam yang kepemimpinannya itu dibenarkan menurut syar’i, kapan pun itu terjadi.

Imam Asy-Syahrastaniy memberikan komentar, : ” Tiap-tiap orang yang keluar dari imam yang haq, yang telah di sepakati oleh jama`ah, maka ia dinamakan khawarij, baik itu terjadi pada masa shahabat yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat ataupun pada masa tabi`in serta imam-imam pada setiap masa”.

2. Ada juga yang mengkhususkan khawarij untuk kelompok yang keluar dari Imam Ali ra saja.

Imam Al-Asy`ariy berkata :”Faktor yang menyebabkan mereka disebut khawarij adalah keluarnya mereka dari Ali bin Abi Thalib”.

Imam Ibnu Hazm menambahkan bahwa istilah khawarij itu dinisbatkan juga kepada semua kelompok atau pecahan yang dahulu keluar dari Ali bin Abu Thalib atau yang mengikuti paham mereka, kapan pun itu terjadi.

3. Sebagian ulama` Ibadhiyah berpendapat :”Mereka adalah sebagian kelompok manusia pada zaman Tabi`in dan Tabiuttabi`in. Yang pertama kalinya adalah Nafi` bin Azrad “. Akan tetapi pendapat ini lemah karena ulama` firoq tidak ada yang berpendapat seperti itu, kecuali dari golongan Ibadhiyah.

Ghalib bin Ali A`waj berkata :” Yang paling rajih ( kuat ) adalah pendapat yang kedua karena banyaknya ulama` firoq yang berpendapat seperti itu.

Firqah khawarij sering pula disebut dengan beberapa nama lain, seperti :

Al-Haruriyah ( dinisbahkan kepada nama wilayah dekat kufah, tempat mereka berada ), Asy-Syarah (orang-orang yang rakus, versi mereka ini dinisbat kepad asyira` ( membeli ) yang termuat dalam Qs. At-Taubah :11), Al-Mariqah ( yang lepas dari islam, ini adalah nama yang diberikan oleh Nabi ), Al-Muhakkimah ( karena mereka menolak tahkim antara Ali dan Mu`awiyah ), dan An-Nawashib ( karena kebencian mereka terhadap Ali bin Abi thalib ).

II. WAKTU KEMUNCULAN KHOWARIJ

Para ahli tarikh berbeda pendapat tentng awal kemunculan firqah khawarij, secara ringkas pendapat mereka adalah sebagai berikut :

1. mereka muncul pada masa Nabi, yaitu ketika berdirinya Dzul Khuwaishirah untuk menentang dan mengomentari pembagian ghanimah yang dilakukan oleh Nabi, bahwa beliau tidak adil. Perbuatan Dzul Khawaishirah tidak bisa disebut firqah khawarij karena dilakukan sendirian, akan tetapi bisa dikatakan bahwa benih-benih khawarij telah ada pada masa Rasulullah saw, ini pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Jauzi, serta yang lainnya.

2. mereka muncul pada masa kekhilafahan `Utsman bin `Affan, ini adalah pendapat : Ibnu Katsir dan Ibnu Abi iz. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah : bahwa mereka para `bughat` yang bertujuan untuk membunuh `Utsman bin Affan` dan mengambil harta bendanya. Jadi mereka tidak bisa disebut sebagai firqah khawarij, karena mereka hanya keluar dari ketaatan kepada imam bukan sebagaimana khawarij yang memiliki keyakinan tersendiri.

3. Mereka muncul pada masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib yaitu ketika Thalhah dan Zubeir keluar dari kepemerintahan`Ali, akan tetapi pendapat ini tertolak karena keduanya termasuk sepuluh orang yang di jamin masuk jannah, maka tidak mungkin keduanya mempunyai sifat-sifat khawarij.

4. Firqah khawarij muncul ketika mereka keluar dari peristiwa tahkim antara Ali dan Mu`awiyah. Pendapat ini adalah pendapat yang rajih.( Firaq ma`ashirah : 70-71, Talbis Iblis hal :104-105, Al-milal Wan-Nihal : 1/ 114 )

III. SEBAB-SEBAB KELUARNYA KHAWARIJ

Para ahli tarikh berbeda pendapat mengenai sebab-sebab yang mendasari keluarnya firqhah khawarij. Dibawah ini adalah sebab-sebab yang paling penting, yang mencakup pendapat-pendapat para ulama` :

1 . Perbedaan pendapat tentang masalah khilafah. Dan inilah kemungkinan sebab yang paling kuat, dikarnakan seseorang tidak berhak menjadi khalifah sebelum memenuhi kreteria yang mereka tentukan.

2 . Permasalahan tahkim.

3 . para penguasa yang dzalim.

4 . Ashabiyah qabilah ( taasub terhadap kelompoknya ).

5 .Urusan iqthishadiyah ( perekonomian ) seperti kisahnya Dzul Khuwaisirah yang menuduh Rasulullah saw tidak berbuat adil dalam membagi harta ghanimah .

6 . Semangat keagamaan. ( Firaqul Ma`ashirah : 1/74-75 ) .


IV. FIRQOH-FIRQOH PECAHAN KHOWARIJ

Firqah-firqah yang merupakan pecahan dari khawarij sangat banyak sekali. Ada yang berpendapat firqah-firqah tersebut berjumlah empat, lima, tujuh, delapan, bahkan dua puluh lima, dan ada juga yang berpendapat lebih dari tiga puluh. Pada kenyataannya terjadi kesulitan untuk menghitung secara pasti jumlah mereka. Yang demikian itu dikarenakan :

1. Khawarij adalah firqah harbiyah ( militeris ) sehingga para ulama` tidak sempat menghitungnya dengan detail.

2. Khawarij terus berkembang, sehingga melahirkan firqah-firqah pecahan, bersamaan dengan munculnya perbedaan di antara mereka, yang disebabkan oleh masalah yang sangat kecil .

3. Mereka menyambunyikan literatur ( jati diri ) mereka.

Diantara Pecahan-pecahan firqah khawarij tersebut adalah :

1. Al-Muhakkimah.

Mereka adalah orang-orang yang keluar dari kekhilafahan `Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika terjadi tahkim antara `Ali dan Mu`awiyah, mereka berkumpul disebuah tempat yang bernama `Haruuraa` dari arah kufah. Oleh karena itu mereka juga disebut `Haruriyah. Adapun tokoh mereka adalah : `Abdullah bin Kawwa`, `Ataab bin A`war, Abdullah bin Wahab Ar-Raasibiy, Urwah bin jarir, Yazid bin Abi `Ashim Al-Makharibiy, dan Khurqush bin Zuhair Al-Bajaly yang dikenal mempunyai dua payudara yang besar. Mereka semua berjumlah 12000-, pada perang Nahrawan dan dikenal sebagai ahli shalat dan shiyam.

Mengenai mereka Rosulullah telah mensinyalir dengan sabdanya : “ Akan keluar pada kalian, suatu kaum yang shalat mereka mengalahkan shalat kalian, shiyam mereka mengalahkan shiyam kalian dan amal-amal mereka mengalahkan amal-amal kalian. Mereka membaca Al-Qur`an tapi tidak sampai melewati tengorokannya, mereka keluar dari Ad-Dien seperti keluarnya anak panah dari busurnya”. [HR . Bukhari dan Muslim].

Keluarnya mereka pada kurun pertama mencakup dua hal :

1. kebid’ahan mereka dalam hal imamah. Mereka memperbolehkan imamah untuk selain quraisy. Adapun setiap yang sesuai dengan pemikiran mereka, serta setiap manusia yang mereka sifati dengan keadilan dan meninggalkan segala kejelekan bisa menjadi imam. Dan juga siapa saja yang keluar darinya wajib untuk di perangi, kalau imam itu tidak berjalan diatas kebenaran dan keadilan wajib untuk di turunkan atau di perangi, mereka itu manusia yang paling keras perkataanya tentang qiyas.

2. Mereka berkata telah bersalah orang yang berhukum dengan hukum manusia, tidak ada hukum kecuali hukum Allah.

Mereka semua mengingkari Ali bin Abi Tholib dari dua segi :

Pertama : Didalam perundang-undangan.

Kedua : Boleh berhukum pada seseorang, padahal mereka semua dalam masalah itu mendudukkan sebagai hakim, Ali bin Abi Thalib berkata mengenai mereka : kalimat yang haq diperuntukkan untuk yang bathil.

Orang khawarij yang pertama kali di bai’at menjadi imam adalah : Abdullah bin Wahab Ar-Rosibiy di rumah Zaid ibnu Hissin, yang membai’atnya adalah Abdullah ibnul Kawaa’ dan ‘Urwa bin Jarir serta Yazid bin ‘Ashim Al-Haribi dan sebagian dari pengikut mereka.

Pedang yang pertama kali terhunus dari pedang-pedang mereka adalah pedangnya ‘Urwah bin Hadir atau bin Adiyah.

2.Al-Azariqoh.

Mereka adalah sahabat Abi Rosyid Nafi’ bin Azroq yang keluar secara bersamaan dari bashroh ke Ahwaz.

Adapun pemimpin-pemimpin yang bersama Nafi’ adalah ‘Athiyah bin Aswad Al-Hanafi, Abdullah bin Mahuz dan kedua saudaranya ( Usman dan Zubair ), Zubair bin ‘Umair Al-‘Ambari, Qothoriy ibnul Faja’ah Al-Mazini, Ubaidah bin Hilal Al-Yaskari, Muharriz bin Hilal, Shohor bin Habib At-Tamimi, dan Shaleh bin Mukhrok Al-‘Abdi.

Bid’ah-bid’ah Az-Zariqoh :

1. Mereka telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, orang-orang yang tidak mau berperang bersama mereka dan orang-orang yang tidak berhijrah kepada mereka.

2. Mereka membolehkan membunuh anak-anak orang yang menyelisihnya.

3. Tidak merajam orang yang berbuat zina dan tidak menjadikan hukuman qodzaf ( menuduh berbuat zina ) terhadap laki-laki yang mukhshon.

4. Mereka menghukumi anak-anak orang musyrik masuk neraka bersama bapak-bapak mereka.

5. Mereka tidak membolehkan taqiyah didalam perkataan dan perbuatan.

6. Bisa jadi Allah mengutus seorang Nabi, kemudian Nabi tersebut kafir setelah diutus ataupun kafir sebelum di utus Allah.

7. Mereka mengkafirkan pelaku dosa-dosa besar dan meghukuminya keluar dari Islam secara keseluuhan.

3. An-Najdat Al-‘Adziriyah.

Mereka adalah sahabat-sahabat Najdat bin ‘Amir Al-Hanafi, yang keluar dari yamamah untuk bergabung dengan Al-Azariqah, akan tetapi ditengah perjalanan mereka bertemu dengan Abu Fadaik dan `Athiyah bin Al-Aswad ( termasuk bagian dari kelompok yang menyelisihi Nafi` ) kemudian keduanya mengkabarkan apa-apa yang dilakukan Nafi`. Yaitu mengkafirkan orang yang tidak berperang bersamanya, dan bid`ah-bid`ah lainnya serta segala sesuatu yang dilakukan Nafi`. Akhirnya mereka membaiat Najdat dan menyebutnya sebagai amirul mikminin .

Adapula yang berpendapat bahwa Najdat dan Nafi` berkumpul di makkah bersama orang-orang khawarij menghadap Ibnu Zubair, kemudian keduanya memisahkan diri darinya, setelah itu terjadi perselisihan antara Najdat dan Nafi`, maka Nafi` pergi ke basrah sedangkan Najdat pergi ke yamamah. Adapun sebab perselisihan keduanya adalah : karena Nafi` berpendapat bahwa taqiyah itu tidak diperbolehkan, serta orang yang tidak ikut berperang adalah kafir, berdalil dengan firman Allah ( surat An-Nisa`: 77 dan Al-Maidah : 54 ). Sedangkan Najdat berpendapat bahwa taqiyah diperbolehkan. Dengan dalil firman Allah ( Ali-Imran : 28 dan Al-Mu’min : 28), serta orang yang tidak ikut berperang itu diperbolehkan, adapun orang yang pergi berjihad itu lebih afdhal. berdalil dengan firman Allah ( An-Nisa`:95 )

Nafi` berkata : kondisi tersebut terjadi dikalangan para sahabat ketika mereka merasa terpaksa. Adapun dalam kondisi selain itu maka orang yang tidak ikut berperang adalah kafir, berdalil dengan firman Allah ( At-Taubah : 90 ).

4 . Al-Baihasiyah

Mereka adalah sahabat Abi Baihas Al-Hashimi bin Jabir. Pada masa kepemerintahan Walid, Hajjaj meminta untuk menangkapnya, tetapi dia telah pergi ke madinah kemudian Utsman bin Hayan Al-Mazny di perintahkan untuk menangkapnya, dan dia bisa menangkapnya serta memenjarakannya, kemudian ditetapkan oleh Walid agar dipotong kedua tangan dan kakinya setelah itu dibunuh. Maka Utsmanpun mengerjakannya.

Abi Baihas Al-Hashimi berpendapat : iman adalah orang yang mengetahui setiap haq dan bathil. Dan sesungguhnya iman adalah : ilmu dengan hati tanpa perkataan dan perbuatan.

5 . Al-`Ajaaridah

Mereka adalah sahabat Abdul karim bin Ajrad, dan mereka sama dengan Najdat dalam kebid`ahannya.

Diantara pecahan-pecahan mereka :

A. As-Shalthiyah, mereka adalah para pengikut Utsman bin Abi As-Shalt. Kemaudian mereka berkata : ” Apabila seseorang telah masuk islam, maka kita berwala` kepadanya dan bara` kepada anaknya sampai anaknya baligh dan mau menerima Islam.

B. Al-Maimuniyah, mereka adalah para pengikut Maimun bin khalid. Husain Al-Karaabisy didalam kitabnya mengatakan : para pengikut Maimun memperbolehkan menikahi cucu dari anak perempuan, serta anak perempuan dari anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan .

C. Al-Khamziyah, mereka adalah para pengikut Hamzah bin Adraak. Sedangkan Hamzah memperbolehkan ada dua imam dalam satu masa mana kala tidak bisa berkumpul dalam satu kalimat .

D. Al-Khalafiyah, mereka adalah para pengikut Khalaf Al-Kharijiy, dan mereka menetapkan bahwa anak-anak orang musyrik itu berada dalam neraka.

E. Al-Athrafiyah, pemimpin mereka adalah Ghalib bin Syadaak dari sajsatan.

F. As-Syu`aibiyah, mereka adalah para pengikut Syu`aib bin Muhammad. Syu`aib berkata : Allah Ta`ala menciptakan perbuata-perbuatan hamba dan hamba mempunyai qudrah dan iradah, yang bertanggung jawab atas kebaikan dan kejelekan darinya, serta tidak akan terjadi sesuatu terhadap apa yang ada kecuali atas kehendak Allah.

G. Al-Hazimiyah, mereka adalah para pengikut Hazm bin Ali.

6 . As -Tsa`labah

Mereka adalah para pengikut Tsa`labah bin Amir. Dia berkata : Sesungguhnya kita berwala` kepada anak-anak kecil dan orang-orang besar sampai kita mengetahui mereka mengingkari al-haq dan ridha kepada kebathilan.

Diantara pecahan-pecahannya :

A. Al-Akhnasiyah, mereka adalah para pengikut Akhnas bin Qais, yang memperbolehkan bagi muslimah untuk menikah dengan orang musyrik dari kaum mereka dan para pelaku dosa besar, dan pokok-pokok ajaran khawarij ada pada mereka dalam segala bidang.

B. Al-Ma`abdiyah, mereka adalah para pengikut Ma`bad bin Abdurrahman, dan mereka menyelisi Akhnaf didalam memperbolehkan seurang muslimah menikah dengan orang musyrik, serta menyelisihi Tsa`labah dalam menghukumi orang yang mengambil zakat dari hambanya.

C. Ar-Rusyaidiyah, mereka adalah para sahabat Rhasyid At-Thusiy.

D. As-Syaibaniyah, mereka adalah para sahabat Syaiban bin Maslamah, dan mereka sama dengan Jahm bin Shafwan dalam masalah ” jibr ” ( manusia seperti wayang ), serta mereka menafikan qudrah.

E. Al-Mukramiyah, mereka adalah para pengikut Mukram bin Abdullah Al-Ajliy. Dan mereka berpendapat bahwa ” orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, selama niatnya bukan untuk mengingkarinya akan tetapi karena kebodohannya kepada Allah “.

F. Al-Ma`lumiyah dan Al-Majhuliyah.

Al-Ma`lumiyah berpendapat : ” barang siapa yang tidak mengetahui Allah dengan segala nama dan sifat-sifat-Nya, maka dia adalah orang bodah terhadap Allah, sampai dia tahu itu semua maka dia bisa dikatakan sebagai seorang mu`min, dan mereka berkata : tha`at itu bersamaan dengan perbuatan, dan perbuatan makhluk itu milik hamba “. Sedangkan Al-Majhuliyah berpendapat “barang siapa yang mengetahui sebagian nama dan sifat-sifat Allah serta bodoh sebagian yang lainnya, maka dia telah mengetahui Allah. Dan mereka berpendapat pula bahwa perbuatan hamba adalah makhluk Allah.

G. Al-Bid`iyah.

mereka adalah pengikut Yahya bin Asdam, mereka berpendapat bahwa barang siapa yang berkeyakinan seperti keyakinanya maka dia adalah ahlul jannah, dan kita tidak mengatakan ” Insya allah ” karena itu adalah keraguan didalam aqidah, dan barang siapa yang berkata : saya seorang mukmin Insya Allah, maka dia adalah orang yang ragu, sedangkan kita mutlak ahlul jannah.

7. Ibadhiyah

Meraka adalah salah satu kelompok khawarij moderat yang tidak mau disebut khawarij karena mereka menganggap sebagai sebuah ” madzhab fiqh ijtihadi yang sunni ” yang berdampingan dengan madzhabnya Imam empat.

Adapun Pendirinya adalah Abdullah bin Ibadh Al-Maqa`isi. Kata ibadhiyah dinisbatkan kepada ‘Ibadh’, yaitu sebuah desa yang terletak didekat Yamamah.

Salah seorang tokohnya yang paling terkenal adalah ” Jabir bin Zaid ” ( 21-96H ), dia dipandang sebagai pengumpul dan penulis hadits, Ia menimba ilmu dari Abdullah bin Abbas, A`isyah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, dan para sahabat besar lainnya.

Abu `Ubaidah Maslamah bin Abu Karimah adalah salah seorang muridnya yang merupakan marja` kedua dari firqoh Ibadhiyah, yang terkenal dengan sebutan ” Al-Qaffa “.

Sedangkan imam-imamnya yang berada diafrika utara pada masa daulah abbasiyyah, diantaranaya adalah : ” Harits bin Talid, Abdullah bin Khattab bin Abdul A`la bin Samih Al-Ma`afiriyyi, Abu Hatim Ya`qub bin Habib dan Hatim Al-Malzuzi.

Adapun yang termasuk ulama`-ulama` mereka adalah :

1. Salman bin Sa`ad. Yaitu aorang yang menyebarkan paham ibadhiyah di Afrika pada awal abad kedua hijriyah.

2. Ibnu Muqthir Al-Janawini. Yaitu orang yang menuntut ilmu di Basrah dan kembali kekampungnya ” Jabal Nufus Libiya ” kemudian menyebarkan pemikirannya disana.

3. Abdul Jabbar bin Qais Al-Madhi. Yaitu seorang hakim ketika Harits bin Talid jadi imam.

4. Samih Abu Thalib. Yaitu salah seorang ulama` mereka yang hidup pada pertengahan abad akedua hijriyah, dan tinggal di Jabal Nufus dan sekitarnya.

5. Abu Dzar Aban bin Nasim. Seorang yang hidup pada pertengahan abad ketiga, dan bertempat tinggal di daerah Tripoli.

Mereka menyerukan agar manusia mensucikan Allah, dan sesuatu yang di pandang tasybih harus dita`wilkan sehingga tidak memberi kesan tasybih, mereka juga tidak menyakini akan bisa melihat Allah di Akhirat nanti berdasarkan ayat ( laatudrikuhul abshaar ), beberapa masalah yang berkaitan dengan akhirat mereka ta`wilkan secara majazi, seperti mizan dan shirat. Sifat Allah bagi mereka bukanlah tambahan atas Dzat-Nya, akan tetapi sifat tersebut merupakan Dzat itu sendiri. Dan manusia menurut mereka terbagi atas tiga golongan yaitu :

1. Orang yang beriman dan konsisten dengan keimanannya.

2. Orang musyrik yang menampakkan secara terang-terangan kesyirikannya

3. Orang yang mengikrarkan tauhid dan menyatakan islam akan tapi tidak konsisten dengan keimanan dan keIslamannya. Mereka ini tidak disebut seorang musyrik maupun muslim, adapun orang yang berbuat dosa besar menurut mereka adalah kafir, dan kekafirannya dipandang kufur ni`mat bukan kufur ad-Din.

Mereka berpendapat bahwa Khalifah tidak harus dari quraisy, dan pendapat yang menyatakan bahawa imamah harus dengan wasiat adalah bathil, pemilihan imam harus melalui ba`iat, dan imam boleh lebih dari satu diberbagai tempat jika di perlukan.

Mereka memiliki satu sistem yang disebut halakah “`Uzabah” yang berfungsi sebagai majlis syura dan bisa menjalankan tugas seorang imam dalam kondisi darurat. Mereka juga mempunyai organisasi yang disebut “ Irwan ” dan sebagai penasehat pembantu `Uzabah.

Pecahan Aliran ini diantaranya :

1 . Hafshiyah. Yaitu pengikut Hafs bin Abu Miqdam.

2 . Haritsiyah. Yaitu pengikut Harits Al-Ibadhi.

3 . Yazidiyyah. Yaitu pengikut Yazid bin Unaisah.

Orang-orang ibadhiyah berpegang teguh kepada Al-Qur`an, As-Sunnah, ra`yu, ijma`, qiyas, dan istidlal.

Pada umumnya mereka terpengaruh oleh madzhab Zhahiri, dan juga pemikiran Mu`tazilah. Seperti pendapat mereka yang mengatakan bahwa bahwa Al-Qur`an adalah makhluk.

Di afrika utara mereka pernah memiliki negara yang disebut negara Rustam dengan ibukota Tahart. Dan kekuasaannya berakhir setelah dihancurkan oleh penguasa Fathimiyah. kemudian paham ini tersebar di Amman, Hadhramaut, Yaman, Al-jazair, dan daerah-daerah basis sahara barat. [ lihat Gerakan Keagamaan dan Pemikiran : 1-5 ]

V. SIFAT-SIFAT KHAWARIJ

Khawarij mempunyai sifat-sifat yang telah Rasulullah saw ramalkan dalam hadits-hadits beliau dikemudian hari. Diantara sifat-sifatnya adalah :

1. Suka mencela dan menganggab sesat.

Sifat yang paling nampak dari khawarij adalah suka mencela terhadap para imam, menganggap mereka sesat, dan menghukumi mereka asebagai orang-orang yang telah keluar dari kebenaran dan keadilan. Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah saw dengan perkaaannya “Wahai Rasulullah, berlaku adillah ” [ Fathul bari : 12/359, hadits 6933 ].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : ” Inti kesesatan mereka berkenaan Aimmatul huda ( para imam yang diberi petunjuk ) dan jama`atul muslimin, bahwa mereka semua keluar dari keadilan dan mereka semua sesat, pendapat ini kemudian diikuti orang-orang yang keluar dari As-Sunnah seperti Rawafidh dan yang lainnya, mereka mengkategorikan apa yang mereka pandang kedzaliman kedalam kekufuran. [ Al-Fatawa : 18/497 ]

2. Berperasangka buruk ( su`udzan ).

Sifat ini tercermin dalam perkataan dzul khuwaishirah kepada Rasulullah saw . ” Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak di kehendaki didalamnya wajah Allah ”

Mengenai permasalahan tersebut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menerangkan : ” Pada masa peperangan hunain, beliau saw membagi ghonimah hunain pada orang-orang yang hatinya lemah dari penduduk Najd dan bekas tawanan quraisy, seperti Uyainah bin Hafs, dan beliau tidak memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar sedikitpun. Maksud beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterikaitan hati mereka merupakan maslahah umum bagi kaum muslimin. Sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik di mata beliau dan mereka adalah sebaik-baik hamba Allah. Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi saw tidak akan memberikana kepada para aghniya`, para pemimpin yang ditaati dikalangan mereka, dan akan memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama. Oleh sebab inilah orang-orang khawarij mencela Nabi saw untuk berlaku adil. Memang mereka terkenal dengan shaum, shalat, wara`, serta zuhudnya akan tetapi itu semua tanpa disertai ilmu, mereka keluar dari sunnah dan jama`ah, sehingga mereka mencela pembagian tersebut, padahal pemberian itu menurut maslahat Ad-Dien, jika pemberian itu akan semakin mengundang keta`atan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi Din-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang yang membutuhkannya untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih utama dari pada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua lebih membutuhkan. [ Lihat Majmu’ Fatawa 18 : 579-581 ].

3. Berlebih-lebihan di dalam ibadah.

Sifat ini ditunjukkan oleh Nabi saw dalam sabdanya : ” Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, bacaan kalian tidaklah sebanding dengan bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula shaum kalian sebanding dengan shaum mereka sedikitpun [ HR. Muslim ].

Hasan bin Ali berkata mengenai mereka : kaum yang tidak kembali kepada kebenaran dan tidak mencegah ( menjauhi ) dari yang bathil. [ Tahqiq mawaqifus shahabat 2 : 200 ].

Ashim mensifati sahabat najdat dengan perkataannya : ” Mereka adalah orang-orang yang shaum pada siang harinya, mengisi waktu malamnya, dan mengambil shadaqah atas dasar sunnah “. [ Fathul bari : 358 ]

Imam Nawawi berkata : ” Yang dimaksud mereka tidak mendapatkan bagian kecuali hanya dalam lisannya saja dan tidak sampai tenggorokan apalagi sampai kehatinya karena yang dituntut adalah memikirkan, dan mentadaburinya sampai meresap kedalam hati. Dan ada yang berpendapat : ” mereka tidak mengamalkan Al-Qur`an maka tidak ada pahala didalam bacaannya dan tidak sampai kedalam hati kecuali hanya sampai lisannya saja. [ fathul bari 12 : 363 ].

Mereka bukanlah para qura`, sebagaimana pemahaman salaf, sesuai apa yang diterangkan oleh Ibnu khaldun : ” Yang dimaksud Qura` pertama kali adalah orang yang membaca Al-qur`an, menghafal, memahami ma`na, mentadabburi ayat-ayat, dan beradab dengan ahlaknya. Sedangkan mereka hanya sampai kekerongkongannya saja. [ Al-Muqaddimah 2 : 1048 ].

Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampuan batas mereka ini ketika pergi untuk membantah pendapat mereka, Beliau berkata : ” Aku belum pernah menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut onta, mereka mempunyai baju yang murah, tersingsing dan berminyak, dan wajah mereka menunjukkan kurang tidur karena banyak berjaga dimalam hari “. [ Talbisul Iblis : 106 ].

Al-Khithabi berkata : arti dari sabda Rasulullah saw “íãÑÞæä ãä ÇáÏíä ” bahwasanya mereka keluar dari ketaatan kepada imam yang wajib ditaati dan melepaskan diri darinya. [ Tahqiq mawaqifus shahabat 2 : 248 dinukil dari Jaamiul ushul 10 : 97 ].

4. Keras terhadap kaum muslimin dan menghalalkan darah meraka.

Sejarah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya mengenai perbuatan mereka, diantaranya kisahnya Abdullah bin Khabab yang mereka bunuh dengan kejam. [ lihat Talbisul Iblis : 108-109 ]. Najdat menambah keyakinan khawarij dengan perkataannya : “ Barang siapa yang tidak keluar bersama mereka dan memerangi kaum muslimin maka mereka kafir walaupun dia berkeyakinan seperti keyakinan mereka “. [ Fathul bari 12 : 352 ].

Ahmad salam berkata : “ Mareka adalah orang-orang yang menghalalkan darah orang-orang muslim. [ Ma ana alaihi wa ashabi : 36 ].

Artinya : ” Dari Masruuq dari Aisyah, dia berkata : Rasulullah telah menyebutkan tentang khawarij, beliau bersabda : mereka adalah sejelek-jelek umatku yang memerangi sebaik-baik umatku. [ Fathul bari 12 : 286, sanadnya hasan ].

Ibnu Umar menganggap mereka adalah sejelek-jelek makhluk, dikarenakan mereka menjadikan ayat-ayat yang diturunkan kepada orang-orang kafir, mereka timpakan kepada orang-orang muslim. [ Tahqiq mawaqifus shahabah 2 : 195 ].

5. Sedikit pengetahuan mereka tentang fiqih.

Dalam fathul bari 12 : 351 disebutkan : ” mereka dikenal sebagai qura` karena kesungguhan mereka didalam tilawah dan ibada, akan tetapi mereka suka menta`wil ayat Al-Qur`an dengan ta`wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya, mereka lebih mengutamakan pendapatnya, berlebih-lebihan didalam zuhud , khusyu`, dan yang lainnya.

Imam Bukhari berkata : ” Adalah Ibnu Umar menganggap mereka sebagai sejelek-jelek makhluk Allah “. Dia berkata : ” mereka mendapati ayat-ayat yang di turunkan untuk orang-orang kafir lalu mereka jadikan untuk orang-orang yang beriman [Fathul bari 12 : 351 ]. Ketika Said bin Jubair mendengar pendapat Ibnu Umar itu, Ia sangat gembira dengannya dan berkata :” Sebagian pendapat haruriah yang diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk ( musabbihah ) adalah firman Allah ta’ala : Artinya : “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir “. ( Al-Maidah : 44 ).

Bersama ayat diatas, mereka membaca : Artinya: ” Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan ( sesuatu ) dengan Robb mereka “. ( Al-Anam : 1 )

Jika mereka melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka akan berkata ia telah kafir, dan barang siapa yang kafir berarti menentang Robbnya dan telah mempersekutukan-Nya. Dengan demikian dia telah musyrik. Oleh karena itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal ini terjadi melainkan karena mereka menta’wilkan ( menafsirkan ) ayat ini dengan ta’wilan yang salah.

Nafi’ berkata : Sesungguhnya Ibnu Umar jika ditanya tentang haruriah, beliau menjawab bahwa mereka mangkafirkan kaum Muslimin, menghalalkan darah dan hartanya, menikahi wanita-wanita dalam idahnya, dan jika didatangkan wanita kepada mereka, maka salah seorang diantara meraka akan menikahinya, sekalipun wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih berhak diperangi melainkan mereka. ( Al-I’tisham 2 : 183-184 ).

Ahmad Salam berkata : mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabih, sifat ini nampak ketika mereka mengambil dhahir lafadz-lafadz Nash yang menerangkan tentang kekafiran, tanpa mereka kembalikan ( ayat tersebut ) kepada ayat-ayat muhkam yang menafsirkan dan menerangkannya. [ Ma ana alaihi wa as-habi : 36 ].

6. Muda umurnya dan berakal buruk .

Artinya : ” Akan keluar suatu kaum pada akhir zaman, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari perkataan sebaik-baik manusia, iman mereka tidak melebihi kerongkongannya ( tidak masuk hati ) terlepas dari Ad-din seperti terlepasnya anak panah dari busurnya “. ( HR. Bukhari : 6930 ).

Ibnu hajar berkata : ” Ahdatsul Asnan “ artinya : yang muda umurnya, dan yang dimaksud dengan sufahaul ahlam adalah akal mereka rusak. Imam Nawawi berkata : sesungguhnya tatsabut ( kemapanan ) dan basiroh ( wawasan ) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya ( Fathul bari 12 : 356 ).

Imam Ali berkeinginan untuk menerangkan kedangkalan fikir dan rusaknya akal mereka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Maka beliau kumpulkan manusia dan menyeru kepada mushaf kemudian memukulnya dengan tangannya dan berkata : wahai mushaf, terangkan kepada para manusia, maka mereka berkata : ini bukan manusia ? dia hanyalah tinta dan kertas, dan kita berbicara sebagaimana apa yang kita riwayatkan darinya, maka dia ( Imam Ali ) berkata : ini adalah kitab Allah yang memutuskan antara aku dan mereka. Allah berfirman kepada wanita dan laki-laki : Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam, dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu . ( QS An-Nisa` : 35 ). Sedangkan umat Muhammad lebih besar dari pada seorang perempuan dan laki-laki, mereka membenci aku dikarenakan aku mengadakan perdamaian dengan Mu`awiyyah, padahal Rasulullah pernah mengadakan perdamaian dengan Suhail bin Amru. Allah Ta’ala berfirman :Artinya : “ Sungguh bagi kalian, pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik ( QS al-Ahzab : 21 ). [ lihat tahqiq mawaqifus shahabah fil fitnati 2 : 241 ].

VI. PEMAHAMAN-PEMAHAMAN KHAWARIJ

1. Mereka berkata dengan menggunakan ta`wil dan hanya melihat dhohir nashnya saja.

Ahmad Amin dan Abu Zahroh berkata : orang-orang khowarij adalah orang-orang yang hanya melihat dhohir nashnya saja tanpa membahas ma`na yang terkandung di dalamnya.

Ibnu Abbas, Ibu Taimiyah, dan Ibnu Qoyyim berpendapat : mereka adalah orang-orang yang suka menta`wilkan ayat sesuai hawa nafsu mereka, mereka telah sesat ketika menganggap bahwa ta`wilan mereka yang dimaksud oleh nash.

Al-`Asyari di dalam maqolahnya berkata : mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai pendirian yang tetap dalam urusan ini, ada yang melihat nash secara dhohir dan ada juga yang menta`wilkan nash menurut hawa nafsunya.

2. Pelaku dosa besar menurut mereka adalah kufrun millah ” keluar dari islam ” .

Hujjah-hujjah mereka adalah : firman Allah ta`ala dalam surat At-Taghobun : 2 , Al-Ma`idah : 44, Saba` : 17. Dan dalam hadits Rasululah, beliau bersabda : Artinya : “Tidaklah orang yang berzina ketika berzina dia mukmin, dan tidaklah orang yang meminum khomer ketika meminumnya dia mukmin, dan tidaklah orang yang mencuri ketika mencuri dia seorang mukmin….…( HR. Bukhori 8 : 13, Muslim 1 : 54 ).

3. Imamah menurut khowarij ada dua pendapat yaitu :

a. Kelompok mayoritas khowarij, mereka mewajibkan kepada imam untuk bergabung di bawah bendera mereka dan berperang bersama mereka selama masih di atas jalan yang lurus “menurut mereka”.

b. Al-Muhakkimah, An-Najdad, dan Al-Ibadhiyah mereka berpendapat bahwasanya bisa jadi mereka tidak membutuhkan akan adanya imam, jika seluruh manusia bisa berbuat adil. dan apabila mereka membut uhkan akan adannya imam maka siapa saja yang mampu menjadi imam maka ia boleh menjadi imam dari bangsa manapun.

Syarat-syarat imam menurut khowarij:

1. Seorang imam harus kuat aqidahnya, ikhlas dalam ibadah, dan kuat ketaqwaannya, menurut apa yang mereka pahami.

2. Seorang imam harus kuat dirinya, mempunyai kemauan yang kuat, pemikiran yang cemerlang, keberanian, dan kuat pendiriannya.

3. Seorang imam harus terlepas dari hal-hal yang mengancam “merusak” imannya, baik itu cinta kepada kemaksiatan dan laghwun, serta bukan pelaku dosa besar walaupun dia telah bertaubat.

Adapun imam menurut mayoritas mereka tidak berhak diberikan kepada wanita, akan tetapi ada sebagian kelompok mereka yang memperbolehkannya yaitu “syabibiyah”.

4. Adapun sikap mereka kepada orang yang menyelisihinya terbagi menjadi dua pendapat : ada yang berpendapat kafir, dan ada yang bersikap “adil” yaitu tidak boleh membunuh mereka sebelum disampaikan dakwah kepadanya.

Imam Al-Asy`ari berkata dalam maqolatnya : orang-orang khawarij bersepakat bahwa orang yang menyelisihi mereka, dihalalkan darahnya, kecuali firqoh ibadhiyah. Mereka tidak berpendapat seperti itu kecuali kepada sultan.

Adapun mengenai anak orang ( yang menyelisihi mereka ) mereka berbeda pendapat, diantaranya :

a. mereka sama dengan orang tua mereka, maka di perbolehkan membunuh mereka karena halal darahnya. Ini adalah pendapat Al-Azariqah, Al-Ajaridah, Al-Hamziyah, Al-Kholfiyah, mereka berhujjah dengan surat Nuh : 27.

b. Mereka adalah penghuni jannah jadi tidak boleh di bunuh, ini adalah pendapat Najdat, As-Syufriyah, dan Al-Maimunah.

c. Mereka adalah pelayan penghuni jannah.

d. Sebagian mereka dalam masalah ini ada yang tawaquf ( tidak berpendapat ) menunggu sampai baligh sehingga jelas kedudukannya.

e. Orang-orang Ibhadhiyah berwali dan ( tidak mengganggu ) anak-anak muslim serta berlepas diri terhadap anak-anak musyrik.

VII. KAFIRKAH KHOWARIJ ?

Para ulama` berbeda pendapat dalam menghukumi orang-orang khowarij, akan tetapi secara garis besar pendapat mereka adalah sebagai berikut :

1. Sebagian mereka menghukuminya kafir.

Qhadi abu bakar ibnul a`raby di dalam syarah tirmidzi berkata: yang shohih adalah mereka kafir sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi: “ mereka adalah sejelek jelek ciptaan “ ( Hum syarrul kholqi ) “ sungguh akan saya bunuh mereka dengan sengaja “ ( laqtulannahun qotla ‘aadin ) “memisahkan dari islam “ ( yamruquuna minal islaam ) , Dan tidak disifati seperti itu kecuali kepada orang kafir, dan sabda Rosulullah yang lain, yang berbunyi : “ innahum abghodhul kholqi ilaallahi ta’aala “ , Mereka menghukumi kafir dan kekal dalam api neraka setiap yang menyelisihinya, padahal merekalah yang pantas mendapatkan predikat tersebut.

Pengarang As-syuffa` berkata : kita menghukumi kafir setiap orang yang mengucapkan perkataan yang menyesatka umat atau mengkafirkan para sahabat. Syekh taqiyuddin as-syubki berkata : orang yang mengkafirkan khawarij dan rawafidh berhujjah dengan sikap mereka yang mengkafirkan para sahabat sehingga menyelisihi kesaksian Rasulullah, mereka adalah ahlul jannah.[ Fatkhul bari 12 : 371 ].

2. Sebagian yang lain menghukuminya fasiq, ahlul bid`ah, dan ahlul bagyi ( pemberontak ).

Syaikh Islam berkata : mereka adalah orang-orang yang memerangi Amirul mukminin dan para sahabatnya. Salaful ummah dan para imam bersepakat dalam memerangi mereka, dan mereka tidak berselisih sebagaimana berselisihnya mereka dalam perang jamal dan siffin, dan beliau menerangkan bahwasanya para sahabat memerangi orang-orang khawaarij atas perintah Nabi untuk menghilangkan kejelekan mereka dari kaum muslimin, akan tetapi para sahabat tidak mengkafirkan mereka bahkan Imam Ali bin Abi Thalib mengharamkan harta-harta dan budak mereka serta tidak menghukumi mereka sebagai orang-orang yang murtad seperti Musailamah beserta pengikutnya. ( Minhajussunnah 5 : 241 hal : 307) Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan perkataan Ali bin Abi thalib yang disebutkan dari thariq bin Syihab dia berkata : saya bersama Ali ketika selesai memerangi penduduk Nahrowan, maka dia ditanya apakah mereka itu orang kafir? Dia menjawab mereka orang-orang yang lari dari kesyirikan, kemudian ditanya lagi apakah mereka orang-orang munafiq? Dia menjawab sesungguhya orang-orang munafiq tidak mengingat Allah kecuali sedikit, kalau begitu siapa mereka? Dia menjawab mereka adalah qoum yang memberontak kepada kita maka kita memeranginya. ( Diriwayatkan oleh Abi Syaibah dalah mushanif : 37942 ).

Maka perkataan Imam Ali mengenai khawarij menuntut bahwa mereka bukan kafir atau orang yang keluar dari Islam sebagaimana yang diterangkan imam Ahmad dan yang lainnya. ( Majmu’ fatawa 28 : 518, 316 )

Dan beliau menerangkan pula sesuatu yang menunjukkan bahwa para sahabat tidak menghukumi mereka sebagai orang kafir, dikarenakan para sahabat shalat dibelakang mereka, seperti Abdulah bin Umar dan lainnya shalat dibelakang Najdah Al-Hururi. Dan para sahabat mensikapinya sebagaimana kaum muslimin yang lain. Seperti Abdullah bin Abbas menjawab persoalan-persoalan yang disampaikan Najdah Al-hururi kepadanya. ( Manhaj Ibnu taimiyah fimas’alatit takfir 2 : 309 ).

Saad bin Abi Waqos dan yang lainnya menggolongkan mereka didalam firman Allah ta’ala surat Al-Baqarah : 26-27, maka dia menghukuminya sebagai orang fasik dan tidak mengkafirkan mereka. Ketika mereka sesat disebaban mereka merubah Al-Qur’an dari posisinya, dan menta’wilkannya dengan selain apa yang dikehendaki Allah, mereka berpegang teguh dengan ayat-ayat mutasabih dan menjahui ayat-ayat muhkam serta sunah-sunah yang sudah tetap yang menerangkan apa yang dikehenmdaki Allah dalam kitab-Nya, maka mereka menselisihi sunah dan ijma’ sahabat, bersamaan dengan menselisihi ayat-ayat muhkam, maka ketika mereka mengerjakan itu semua dia menyebut mereka sebagai orang-orang fasik. ( Majmu’ fatawa 16 : 588 , hal : 310 ).

Adapun mengapa mereka tidak dihukumi sebagai orang-orang murtad dan kafir walaupun mereka mengkafirkan orang-orang muslim dan memeranginya dikarenakan mereka bersandarkan kepada Al-Qur’an kemudian manta’wilkannya menurut pemikiran mereka tanpa mengetahui ma’nanya. Dan ilmu mereka tidak lurus, tidak mengikuti sunah dan tidak pula kembali kepada jama’atul muslimin yang memahami Al-Qur’an. ( Majmu’ fatawa 13 : 356, hal : 311 ) Kebanyakan ahlul ushul dari kalangan ahlus sunah menghukumi mereka sebagai fasiq, dan hukum Islam masih berlaku bagi mereka di karenakan syahadatnya serta mereka masih berpegang teguh diatas rukun-rukun Islam. Mereka fasiq dalam mengkafirkan orang-orang muslim bersandarkan kepada ta`wilan yang salah, sehingga mengakibatkan penghalalan darah dan harta bagi yang menyelisihinya, serta menghukumi mereka dengan kafir dan syirik. Imam Thobari berkata : sudah menjadi suatu hal yang ma`lum bahwa mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin di sebabkan kesalahan mereka dalam menta`wilkan Al-Qur’an yang keluar dari ma`na sebenarnya bukan yang di maksudkan.

Imam al-Khothobi berkata,” Seluruh ulama` telah bersepakat bahwa Khawarij dengan segala kesesatannya adalah salah satu firqoh dari firaq-firaq kaum muslimin, diperbolehkan menikahinya dan makan sembelihan mereka, dan mereka tidak dihukumi sebagai kafir sepanjang mereka masih berpegang teguh dengan pokok ajaran Islam. Sedangkan qhodhi Abu Bakar al-Baqilaany beliau tawaquf ”tidak berkomentar”, hal ini tersirat di dalam perkataannya,” Belum ada kejelasan dari suatu kaum yang menghukumi mereka kafir, akan tetapi yang ada mereka adalah orang–orang yang berkata suatu perkataan yang menghantarkan kepada kekafiran.” Imam Ibnu Batthol berkata,” Jumhur ulama` berpendapat bahwa khawarij tidak keluar dari kaum muslimin .” [ Fathul bari 12 : 371-372 ].

Gholib bin Ali `Awaaji berkata,” Mengkafirkan seseorang bukan persoalan yang remeh, harus betul-betul ada bukti-bukti yang nyata dan setelah ditegakkannya hujjah, oleh karena itu para ulama` menganggap Khawarij fasiq, disebabkan masih menjalankan ajaran ad-Dien, mereka seperti manusia biasa lainnya, mempunyai kesalahan dan juga kebenaran. Para salafpun dulu berinteraksi dengan mereka seperti berinteraksi kepada orang-orang muslim, dan tidak memberlakukannya seperti orang kafir. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak mengkafirkan sebagian sekte Khawarij yang layak untuk dikafirkan seperti :

a). Bada’iyah yang berpendapat sholat itu hanya satu raka’at di pagi hari dan satu raka’at di sore hari.

b). Maimuniyah yang membolehkan menikahi mahram dan mengingkari surat Yusuf termasuk salah satu surat dalam Al Qur’an, karena menurut mereka surat Yusuf mengisahkan tentang cinta dan ’isyq (rindu mabuk kepayang) padahal Al Qur’an itu semuanya serius, tak ada persoalan seperti itu.

c). Yazidiyah yang berkeyakinan Allah akan mengutus rasul dari kalangan Ajam yang akan menghapus syariat Nabi Muhammad. [ Firaq mu’ashirah 1 : 121-122 ].

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa mereka mempunyai dua sifat yang mashur dikalangan mereka yaitu:

1. Keluarnya mereka dari as-Sunnah.

2. Mereka mengkafirkan orang-orang yang berbuat ma`siat yang menghantarkan mereka kepada penghalalan darah orang-orang muslim dan harta mereka dan menjadikan negara yang mereka tempati sebagai daarul kufri “negara yang boleh diperangi”.

Wallahu A’lam Bish Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah- Mu’asasah Ar Risalah, th. 1418 H/1997 M-

2. Minhajus Sunnah An nabawiyyah, Ibnu Taimiyyah- Cet I Th. 1407 H/1986 M-

3. Fathul bari’, Ahmad bin Ali bin Hajar Al Atsqalani-Daarul Kutub Al ‘Ilmiyyah ,cet I Th. 1410 H/1989 M-

4. Manhaj Ibnu Taimiyyah fi Mas’alati Takfir, Dr. Abdl Majid Al Masy’abi-Adhwaaus Salaf- Riyadh, cet.I Th. 1418 H/1997 M-

5. Al Inhiraafaat Al ‘Aqdiyyah wal ‘Ilmiyyah, Ali Az Zahraani -Daarul Risalah-Makkah, tanpa tahun-

6. Al Mansu’ah Al Muyassarah, Dr. Maani’ bin Khammad Al Jahny- WAMY-Riyadh, cet.III Th. 1418 H-

7. Talbis Iblis, Ibnu JauzyAl Baghdady-Darul Kutub Al ‘Ilm iyyah- Beirut, Cet. IV Th. 1414 H / 1994 M

8. Al I’tishom, Asy Syatiby- Daarul Fikr , tanpa tahun-

9. Tahqiq “Mawaqifush Shahabah fil Fitnah”, Dr. Muh. A. Mahzum- Maktab Al Kautsar- Riyadh, cet I Th. 1415 H/1994 M-

10. Firaaqul Mu’ashiroh, Ghalab bin Ali Al Awaji- cet. I th. 1414 H/1993 M-

11. Al Milal Wa Nihal, Syahrastany- Daarul Fikr, tanpa tahun –

12. Maa Ana ‘alaihi wa Ash habii, Ahmad Salam

Selasa, 25 Juni 2013

ADA APA DENGAN MENJAHRKAN DZIKIR SELEPAS SOLAT

disadur dari 
http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/07/17/dalil-dalil-diperbolehkannya-berdzikir-secara-jahr-dan-secara-berjamaah/

Dalil-dalil Diperbolehkannya Berdzikir secara Jahrdan Secara Berjamaah


Berangkat dari sebuah komentar dari salah seorang pengunjung blog ini, yang menuliskan kalimat: “ORANG YANG BERTAQLID DENGAN PERKATAAN IMAM SYAFI’I YANG MEMBAGI BID’AH MENJADI 2, MENGAPA TIDAK JUGA BERTAQLID KEPADA BELIAU DALAM HAL MEMBENCI SELAMATAN KEMATIAN DAN DZIKIR BERJAMAAH“  bahkan ada pula yang terus terang yang menyatakan :DZIKIR dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau doa doa sesudahnya dengan cara berjamaâ'ah dan terus-menerus dikerjakan merupakan perbuatan bidâ'ah yang munkar..........
http://al-firqotunnajiyyah.blogspot.com/2008/06/berdzikir-dengan-suara-keras.html
http://abunamira.wordpress.com/2010/10/28/hukum-dzikir-dan-doa-setelah-shalat-fardlu-dengan-suara-keras-berjama'ah/


Apakah benar yang disampaikan oleh para ahli tabdi ini, sehingga jamaah dzikir akan mendapat tiket ke neraka dengan kegiatan dzikir berjamaah dan dengan cara jahr yang dilakukannya? dan apakan memeang benar Madzhab Syafi'ie membenci kegiatan ini


Tentang Masalah tersebut mari kembali kita telusuri pendapat para Ulama berkenAan dengan  Dzikir jahr ini. diantaranya adalah pendapat al-Imaam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah secara lengkap, yang termaktub di dalam kitab karyanya Al-Haawi li al-Fatawi, pada sub bab Natiijat al-Fikr Fi al-Jahr Fi adz-Dzikr.
Dan perlu diketahui pula bahwasanya beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullah adalah salah satu imam dan ulama’ terkemuka di dalam madzhab Syafi’iyyah.
Apakah benar ulama’ dari madzhab asy-Syafi’iyyah membenci DZIKIR BERJAMAAH seperti yang diklaim oleh salah satu komentator blog tadi?
Baiklah, berikut ini saya sajikan kajian dari kitab al-Hawi li al-Fatawi dan saya lampirkan scan halaman per halamannya serta saya terjemahkan. Silakan disimak baik-baik.
Hasil Penelaahan Mengenai Permasalahan Berdzikir dengan Jahr
(Dzikir dengan Mengeraskan Suara)
Dengan asma’ Alloh yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, segala puji bagi Alloh yang memberikan kecukupan bagiku, dan keselamatan kesejahteraan bagi hamba-Nya yang terpilih.
Aku bertanya kepadamu (wahai Syaich as-Suyuthi) semoga Allah Ta’aala memuliakanmu, mengenai suatu hal yang umum dilakukan para pemuka shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah dzikr dan men-jahr-kannya di dalam masjid dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini makruh atau tidak?
Jawabannya adalah:
Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara jahr, selain itu terdapat pula hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara sirr (pelan) sehingga perlu dikompromikan kedua cara berdzikir tersebut, yang mana hal tersebut dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi. Sebagaimana al-Imaam an-Nawawi mengkompromikan hadits-hadits tentang disunnahkannya membaca Al-Quran secara jahr, dan (hadits-hadits) yang menyebutkan tentang diperbolehkannya membacanya secara sirr, berikut ini akan saya jelaskan secara fasal demi fasal.
Selanjutnya beliau (al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah) menyebut hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengeraskan suara pada saat dzikir, baik secara shorih (terang) maupun iltizam (tersirat).
1.    Hadits Pertama:
Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam: Alloh Ta’aala berfirman: “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahr.”
2.    Hadits Kedua:
Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda: Majlis-majlis dzikr, sebaiknya kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang.
3.    Hadits Ketiga:
Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila mereka menemukan majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai langit,  maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah mendatangi hamba-Mu yang bertasbih, bertakbir, bertahmid,  bertahlil, memohon kepada Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka menjawab: Kami memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat Surga?. Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?, kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui perihal mereka. Mereka menjawab: (Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah berfirman: Apakah kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman: Bagaimana seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman: Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, dan Aku perkenankan permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka atas apa-apa yang mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya didalamnya (majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya dan dia bukanlah bagian dari mereka (yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum itu adalah kaum yang tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.
4.    Hadits Keempat
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya.
5.    Hadits Kelima
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda: “Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.”
6.    Hadits Keenam
Diriwayatkan oleh al-Hakim sekaligus beliau menshohihkannya dan Baihaqi di dalam Sya’b al-Imaan dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah olehmu di dalam berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga mereka (kaum munafiquun) mengatakan bahwa kalian adalah ‘orang gila’.“
7.    Hadits Ketujuh
Berkata al-Baihaqi di dalam Syu’b al-Imaan dari abu al-Jauza’ radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga kaum munafiquun berkata, ‘Kalian gila’.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: Ini hadits mursal, adapun tujuan pendalilan menggunakan hadits ini dan yang sebelumnya lebih ditujukan untuk dzikir jahr, bukan dzikir sirr.
8.    Hadits Kedelapan
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Sahabat Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Apabila kalian menemukan taman-taman surga, maka ramaikanlah ia.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullaah, apakah yang disebut taman surga itu?” Beliau bersabda: “Halaqah dzikir.”
 9.    Hadits Kesembilan
Diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad, dari ‘Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari majelis menyeru dan mengagungkan Allah Ta’aala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau bersabda: “Kedua-duanya baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang satunya).”
 10.    Hadits Kesepuluh
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullaah ibn Mughaffal berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Tiada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala kecuali mereka akan dipanggil oleh para pemanggil dari langit: ‘Bangunlah kalian, sesungguhnya kalian sudah diampuni, sungguh keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.”
 11.    Hadits Kesebelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Berfirman Allah Ta’aala pada hari Qiyamah: ‘Orang-orang yang dikumpulkan pada hari ini akan mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang mulia’. Para sahabat bertanya: ’Siapakah yang termasuk orang-orang mulia tersebut Wahai Rasulullaah?’. Beliau bersabda: ‘Majelis-majelis dzikir di masjid’. ”
 12.    Hadits Keduabelas
Diriwiyatkan oleh al-Baihaqi dari ibnu Mas’ud radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya gunung memanggil gunung lainnya dengan namanya dan bertanya: ‘Wahai fulan, apakah kamu hari ini sudah dilewati orang yang berzikir kepada Allah?’ Yang apabila dijawab: ‘Ya’ mereka akan merasa sangat gembira. Kemudian Abdullah membaca ayat: ‘(Perkataan gunung) Sungguh-sungguh kalian telah mendatangkan ‘idda (kemunkaran yang sangat besar), sehingga hampir-hampir langit pecah berkeping-keping.’ Beliau berkomentar: ‘Apakah mereka (gunung-gunung) hanya mendengar kemunkaran, dan tidak mendengar kebaikan?’”
 13.    Hadits Ketigabelas
Diriwayatkan oleh ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya, dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu mengenai firman Allah Ta’aala: “Maka tidaklah langit dan bumi menangis atas mereka”. Bersabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Bahwasanya apabila seorang mukmin wafat, menangislah bumi tempat dia sholat dan berdzikir kepada Allah.” Diriwayatkan pula oleh ibn Abi ad-Dunya dari Abu Ubaid berkata: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin wafat, maka berserulah bongkahan bumi: ‘Hamba Allah ‘ta’aala yang mukmin telah wafat!’, maka menangislah atasnya bumi dan langit, kemudian ar-Rahmaan berfirman: ‘Mengapa kalian menangisi hamba-Ku?’. Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, tidaklah dia berjalan di suatu daerah kami melainkan ia berdzikir kepada-Mu ’  ”
Tujuan pendalilan menggunakan hadits ini adalah: “Dengarnya gunung dan bumi akan dzikir tidak lain dikarenakan dzikir tersebut di-jahr-kan”
14.    Hadits Keempatbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi dengan sanad Shohih dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Allah Ta’aala berfirman: “Wahai hamba-Ku apabila engkau berdzikir kepada-Ku di dalam kesunyian, maka Aku akan mengingatmu di dalam kesunyian pula, dan apabila engkau berdzikir kepada-Ku dalam kelompok yang banyak, maka Akupun akan mengingatmu di dalam kelompok yang jauh lebih baik dan lebih besar”
 15.    Hadits Kelimabelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Zaid ibn Aslam berkata: Berkata ibn Adra’: “Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata: ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang Riya’ (memamerkan ibadahnya)?’ Beliau bersabda: ‘Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu’”. Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari ‘Uqbah ibn ‘Amir: Bahwasanya Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepada seorang lelaki bernama Dzul Bajadain: “Sesungguhnya dia banyak berdo’a dan mengadu, itu semua karena dia selalu berdzikir kepada Allah Ta’aala”. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwasanya ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya ketika berdzikir sehingga lelaki yang lainnya berkata, “Seandainya saja orang ini merendahkan suaranya.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia sedang berdoa dan mengadu.”
 16.    Hadits Keenambelas
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Syaddad ibn Aus berkata: “Sesungguhnya kami sedang bersama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pada saat beliau bersabda: ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah  لا اله الا الله ’, maka kami melaksanakan perintah beliau”. Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau utus aku karena kalimah ini, Engkau perintahkan aku juga karenanya, Engkau janjikan aku surga juga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda kepada para sahabat: “Bergembiralah kalian, karena Allah sudah mengampuni kalian semua.”
17.    Hadits Ketujuhbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas radhiyallaah ‘anhu dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya Allah Ta’aala memiliki Malaikat Sayyarah yang mencari halaqah-halaqah dzikir. Dan apabila mereka menemukannya maka mereka mengelilingi tempat-tempat tersebut. Kemudian Allah Ta’aala berfirman: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak mencelakakan pendatang yang ikut duduk bersama mereka.”
 18.    Hadits Kedelapanbelas
Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan ibn Jarir, dari Abdurrahman ibn Sahl ibn Hanif berkata: “Saat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berada di salah satu rumahnya, diturunkanlah ayat: “Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi hari dan petang hari.” (Ayat). Kemudian beliau keluar kepada sahabat dan mendapati mereka sedang berdzikir, diantara mereka ada yang sudah beruban, kusam kulit dan hanya memiliki satu pakaian. Melihat mereka, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam duduk bersama mereka dan bersabda: “Segala puji bagi Allah Ta’aala yang telah menjadikan diantara kalangan ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
 19.    Hadits Kesembilanbelas
Diriwayatkan oleh al-Imaam Ahmad di dalam az-Zuhd dari Tsabit berkata: “Salman berada di dalam sebuah kelompok yang berdzikir kepada Allah Ta’aala, kemudian Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti, kemudian beliau bersabda: “Apa yang kalian ucapkan?”. Jawab kami: “Kami berdzikir kepada Allah Ta’aala.” Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya aku melihat rahmat turun atas kalian, aku menginginkan bersama-sama kalian di dalam rahmat tadi.” Selanjutnya beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
 20.    Hadits Keduapuluh
Diriwayatkan oleh al-Ishbahani di dalam at-Targhiib, dari Abu Razin al-Aqili, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepadanya: “Maukah engkau aku tunjukkan rajanya perkara yang dengannya engkau dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat?”, dia menjawab: “Mau, wahai Rasulullaah.” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau sering-sering mendatangi majelis-majelis dzikir, dan apabila engkau sedang dalam keadaan sendirian, maka gerakkanlah lisanmu untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala.”
 21.    Hadits Keduapuluh satu
Diriwayatkan oleh ibn Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, dan al-Ishbahani dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat shubuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang disinari matahari. Dan sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat ‘ashar hingga terbenamnya matahari, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”
 22.    Hadits Keduapuluh Dua
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah atas persetujuan dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku selalu mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.”
 23.    Hadits Keduapuluh Tiga
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallaah ‘anhu bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke dalam pasar kemudian mengucap:

لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو على كل شيء قدير

Maka Allah Ta’aala akan menetapkan baginya sejuta kebaikan dan menghapus sejuta keburukan, dan menaikkan derajatnya dengan sejuta derajat dan dibuatkan rumah di Surga.”
Di dalam beberapa thuruq (jalur mata rantai periwayatan) di hadits ini tertulis “ فنادى ”
Artinya: “Menyeru.”
24.    Hadits Keduapuluh Empat
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dan beliau menyatakan shohih, dan an-Nasa’i serta ibn Majah, dari Sa’ib bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Jibril ‘alahissalaam mendatangiku dan berkata: ‘Perintahkan para sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka di dalam bertakbir.’”
 25.    Hadits Keduapuluh Lima
Diriwayatkan oleh al-Maruwzi di dalam kitab al-‘Iidain dari Mujahid, bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhuma mendatangi pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) maka keduanya bertakbir. Tidaklah mereka mendatangi pasar kecuali untuk bertakbir. Dan diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid ibn ‘Umair berkata: Sesungguhnya ‘Umar selalu bertakbir di dalam qubbahnya, sehingga seisi masjid juga bertakbir, dan juga seisi pasar juga bertakbir, sehingga seluruh Mina bergemuruh suara takbir. Dan diriwayatkan pula dari Maimun ibn Mahran berkata: Aku dapati manusia mengumandangkan takbir di hari ke sepuluh (dzulhijjah)  sehingga aku memisalkannya seperti gelombang lautan dikarenakan begitu banyaknya.

[Fasal]

Kalau engkau mau memikirkan secara mendalam atas hadits-hadits yang telah kami kemukakan di atas, nyatalah bahwasanya seluruhnya tidak memakruhkan mengeraskan suara di dalam berdzikir, sama sekali tidak, akan tetapi semuanya menunjukkannya sebagai kesunnahan, baik secara langsung maupun secara tersirat seperti halnya yang sudah kami paparkan diatas.
Adapun apabila hadits-hadits di atas secara lahiriyahnya bertentangan dengan hadits: “Sebaik-baik dzikr adalah yang tersembunyi (sirr)”, maka dapat dibandingkan secara mu’aradhah antara hadits-hadits jahr dan sirr di dalam membaca Al-Quran, seperti juga dengan bersedekah secara sirr.  Dalam hal ini al-Imaam an-Nawawi rahimahullaah mengkompromikan hadits-hadits tersebut dengan kesimpulan: “Menyembunyikan (sirr) lebih baik kalau khawatir akan menimbulkan riya’, mengganggu orang yang sedang sholat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan jahr lebih baik dilakukan apabila diluar kondisi-kondisi di atas. Karena pada dzikir secara jahr mengandung banyak amalan, faedahnya dapat mengalir kepada para pendengarnya, disamping agar hati para pedzikir terjaga dan mengkonsentrasikan niatnya kedalam fikirannya serta pendengaran menyimak alunan dzikir sehingga dapat mengusir rasa kantuk dan semakin menambah semangat di dalam berdzikir.”
Beberapa ulama’ berpendapat Sunnah men-jahr-kan sebagian bacaan Al-Quran dan men-sirr-kan sebagiannya. Karena boleh jadi orang yang men-sirr-kan bacaannya merasa bosan dan menyukai kembali apabila membacanya secara jahr. Dan terkadang orang yang men-jahr-kan merasa lelah, sehingga ia dapat beristirahat dengan men-sirr-kan bacaannya. Selesai.
Demikian pula pendapat kami (as-Suyuthi) tentang dzikir, dipilah-pilah seperti ini. Dengan demikian, berhasillah dikompromikan antara hadits-hadits yang mu’aradhah (bertentangan).
Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.”
Aku (as-Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:
Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat Al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengeraskan bacaan Al-Quran dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka musyrikin mencaci-maki ayat-ayat Al-Quran dan yang menurunkannya (Allah Ta’aala). Lalu Allah Ta’aala memerintahkan untuk meninggalkan jahr untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Kedua: “Sebagian mufassir, diantaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan Al-Quran, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati Al-Quran, agar suara dzikir tidak dikeraskan disisinya. Hal ini diperkuat oleh firman sebelumnya: ”Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: ‘Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seolah-olah ada kekhawatiran akan kecenderungan kepada menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’aala. Karena itu, ayat ini diakhiri dengan: ”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’aala).”
Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan buat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran yang jelek, dianjurkanlah mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan Al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal berkata: bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para Malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaan dia, dan sesungguhnya seluruh jin mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.
Kalau engkau bertanya: (bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:
Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan Hakim dalam kitab Mustadraknya, sekaligus men-shohihkannya, dari Abu Nu’amah radhiyallaah ‘anh, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ‘Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka’”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.
Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berzikir. Secara khusus doa memang lebih afdhal di-sirr-kan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’aala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunatkan men-sirr-kan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.
Kalau engkau bertanya: Telah dinukilkan dari ibn Mas’ud, bahwa beliau menyaksikan suatu kelompok orang yang menyaringkan suara tahlil dalam mesjid, lalu berkata: ”Aku tidak melihat kepada kalian kecuali hanya orang-orang pembuat bid’ah semata”. Kemudian beliau mengusir mereka dari masjid.
Aku (as-Suyuthi) menjawab: Atsar Ibnu Mas’ud ini butuh kepada menjelaskan sanad-sanadnya dan siapa saja yang ada mengeluarkannya dalam kitabnya diantara para Imam Hafidh hadits. Dan, katakanlah memang Atsar itu ‘tsabit’, tetapi kemudian bertentangan dengan banyak hadits yang telah ‘tsabit’ pula di atas. Dan hadits lebih diutamakan kalau terjadi ‘ta’arrudh’. Kemudian, aku melihat secara tidak langsung ada keingkaran dari Abdullah bin Mas’ud terhadap atsarnya sendiri. Diantaranya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Az-Zuhd: ‘Husen bin Muhammad menceritakan kepada kami, Mas’udy menceritakan kepada kami dari ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa-il berkata: ”Banyak orang yang menduga bahwa Abdullah bin Mas’ud selalu melararang berzikir (secara jahr), tetapi tidaklah aku duduk bersamanya di suatu tempat kecuali beliau selalu berdzikir”. Imam Ahmad mengeluarkan dalam ‘Az-Zuhd’ dari Tsabit Al-Banany berkata: ”Sesungguhnya ahli dzikir ketika duduk hendak berdzikir dengan beban dosa yang semisal gunung sekalipun, maka sesungguhnya tatkala mereka bangun dari ‘dzikrullah’ ia tidak lagi mempunyai dosa sedikitpun.

Bagaimana pendapat para ulama entang Dzakir yang bacaannya di jahrkan??
Imam An-Nawawi berkata : “Bahwa bacaan dzikir sir (samar) lebih utama apabila takut riya’, atau khawatir mengganggu orang yang sedang sholat atau tidur. Sedangkan yang jahar (dzikir keras) lebih baik apabila tidak ada kekhawatiran tentang hal ini, mengingat amalan di dalamnya lebih banyak manfaatnya, karena ia dapat membangkitkan kalbu orang yang membaca atau yang berdzikir, ia mengumpulkan semangat untuk berfikir, mengalahkan pendengaran kepadanya, mengusir tidur, dan menambah kegiatan” (dalam Kitab Haqiqot Al-Tawwasulu wa Al-Wasilat Al-Adlow’il kitabi wa As-Sunnah).
Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih didalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang kepada Allah yang telah menjadikan hati jadi keras bagaikan batu, penghalangnya yaitu seperti sipat malas, sombong, ria, iri dengki dan sebagainya)
Imam Al-Ghozali r.a. mengatakan: “Sunnat dzikir keras (jahar) diberjemaahkan di mesjid karena dengan banyak suara keras akan memudahkan cepat hancurnya hati yang keras bagaikan batu, seperti satu batu dipukul oleh orang banyak maka akan cepat hancur”.
KENAPA MESTI DZIKIR KERAS?
Ulama ahli ma’rifat mengatakan bahwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah bisa diperoleh dengan kebeningan hati. Sedangkan kebeningan hati itu bisa dicapai dengan suatu thoriqoh (cara), diantaranya banyak berdzikir kepada Allah. Jadi, ma’rifat tidak akan bisa diperoleh jika hati kita busuk penuh dengan kesombongan, ria, takabur, iri dengki, dendam, pemarah, malas beribadah dan lain-lain. Oleh sebab itu dzikir diantara salah satu cara (thiriqoh) untuk membersihkan hati.
Sebab, manusia sering menyalahgunakan fitrah yang diberikan Tuhan, sehingga hati mereka menjadi keras. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut, mendorong manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hal tersebut sebagaimana kalimat yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 74: “tsumma qosat quluubukum minba’di dzaalika fahiya kal hijaaroti aw asyaddu qoswatun”, artinya “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,bahkan lebih keras lagi”. Dari ayat tersebut hati manusia yang membangkang terhadap Allah menjadikan hatinya keras bagaikan batu bahkan lebih keras daripada batu.
Maka, jalan keluarnya untuk melembutkan hati yang telah keras bagaikan batu sehingga kembali tunduk kepada Allah, sebagaimana Ulama ahli ma’rifat mengatakan penafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitab miftahu Ash-Sshudur karya Sulthon Awliya Assayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “fakamaa annal hajaro laa yankasiru illa biquwwatin dlorbil muawwil fakadzaalikal qolbu laayankasiru illa biquwwati ”, artinya “sebagaimana batu tidak pecah kecuali bila dipukul dengan tenaga penuh pukulan palunya, demikian hati yang membatu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan kuatnya suara dzikir. “liannadz dzikro laa yu’tsiru fiijam’i tsanaati qolbi shohibihi illa biquwwatin”,artinya “ Demikian pula dzikir tak akan memberi dampak dalam menghimpun fokus hati pendzikirnya yang terpecah pada Allah kecuali dengan suara keras”.
Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih di dalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang yang akan menghalangi kita dekat kepada Allah, seperti sifat-sifat jelek manusia: iri, dengki, sombong, takabur,dll yang disumberkan oleh hati yang keras).
CARA BERDZIKIR DENGAN KERAS YANG DIAJARKAN ROSUL
Dalam hadits shohihnya, dari Yusuf Al-Kaorani : “Sesungguhnya Sayyidina ‘Ali r.a. telah bertanya pada Nabi Saw. : Wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku macam-macam thoriqot (jalan) yang paling dekat menuju Allah dan yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama di sisi Allah, maka Nabi Saw menjawab: wajiblah atas kamu mendawamkan dzikkrullah: Sayyidina ‘Ali r.a bertanya lagi: Bagaimana cara berdzikirnya ya Rosulallah? Maka Nabi menjawab: pejamkan kedua matamu, dan dengarkan (ucapan) dariku tiga kali, kemudian ucapkan olehmu tiga kali, dan aku akan mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sedangkan Sayyidina ‘Ali r.a mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali, sedangkan Nabi Saw memdengarkannya”. (Hadits dengan sanad sahih, dalam kitab Jami’ul Ushul Auliya)
Dalam kitab Tanwirul Quluub dijelaskan cara gerakan dzikir agar terjaga dari datangnya Syetan, merujuk Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al’Arof ayat 17: “Demi Allah (kami Syetan) akan datang kepada manusia melalui arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri”. Ayat ini menunjukan arah datangnya syetan untuk menggoda manusia agar menjadi ingkar terhadap Allah. Jelas, sasarannya manusia melalui empat arah; 1. Depan 2.Belakang 3.Kanan 4.Kiri.Maka, dzikirnya pun harus menutup empat arah. Dalam kitab Tanwirul Qulub: ucapkan kalimat “LAA” dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai otak hal ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah depan dan belakang. Adapun ditarik kalimat itu ke otak karena syetan mengganggu otak/pikiran kita sehingga banyak pikiran kotor atau selalu suuddzon. Dan “ILAA” dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat “HA” diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah adapun ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah kanan. Dan “ILLALLAH” diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, hal ini untuk menutup pintu syetan yang datangnya dari arah kiri, namun lapadz jalalah yaitu lapadz “ALLAAH”nya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari, karena disanalah letaknya jantung atau hati (keras bagaikan batu) sebagaimana pendapat Imam Al-ghozali.
Syarat berdzikir menurut para Ulama Tasawuf:
1. Dengan berwudlu sempurna
2. Dengan suara kuat/ keras
3. Dengan pukulan yang tepat ke hati sanubari
Dalam kitab ulfatu mutabarikin dan kitab makanatu Adz-dzikri bahwasanya Rosul pernah bersabda: “sebaik-baik dzikir adalah dalam hati”. Dalam kitab tersebut dijelaskan hal itu bagi orang yang telah mencapai kelembutan bersama Allah, hati bersih dari penyakit, hati yang sudah lembut. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama bagi orang yang hatinya keras bagaikan batu, sehingga sulit untuk tunduk pada perintah Allah karena sudah dikuasai oleh nafsunya.
Dalam kitab Miftahu Ash-Shudur karya Sulthon Auliya As-Sayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “ Sulthon Awliya As-Sayyid Syekh Abu A-Mawahib Asy-Syadzili r.a. berkata: “Para ulama toriqoh berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah dzikir sir (hati) atau dzikir jahar (keras), menurut pendapat saya bahwa dzikir jahar lebih utama bagi pendzikir tingkat pemula (bidayah) yang memang hanya dapat meraih dampak dzikir dengan suara keras dan bahwa dzikir sir (pelan) lebih utama bagi pendzikir tingkat akhir (nihayah) yang telah meraih Al-Jam’iyyah (keteguhan hati kepada Allah)” .
Imam Bukhori, dalam kitab Sahihnya bab dzikir setelah salat fardlu, berkata: “ Ishaq ibnu Nasr memberitahu kami, dia berkata’Amru memberitahu saya bahwa Abu Ma’bad, pelayan Ibnu Abbas, semoga Allah meridloi keduanya, memberitahu Ibnu Abbas bahwa “Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama’ah selesai dan shalat fardlu sudah biasa dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Ibnu Abbas berkata: “Aku tahu hal itu, saat mereka selesai shalat karena aku mendengarnya”. Sayyid Ahmad Qusyayi. Q.s., berkata: ”inilah dalil keutamaan dzikir keras (jahar) yang didengar orang lain, dengan demikian ia membuat orang lain berdzikir kepada Allah dengan dzikirnya kepada Allah“.
Dzikir keras tidak akan meresahkan atau mengganggu orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Dengan terdengarnya dzikir menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an QS.Al-Anfal ayat 2 :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” .
Ada anekdot dari seorang Ulama Tasawuf pengamal thoriqoh: suatu hari ada dialog antara mahasiswi dan ulama tasawuf. Mahasiswi bertanya: “Pak Kiai, kenapa dzikir mesti keras (jahar) padahal Allah itu tidak tuli?”. Ulama Tasawuf menjawab dengan membalikan pertanyaan: “yang bisa kena sifat tuli itu yang memiliki telinga atau tidak?”. Mahasiswi menjawab: “iya yang punya telinga”. Ulama Tasawuf kembali bertanya: “Kalau Allah punya telinga tidak?”. Mahasiswi menjawab: “tidak punya”. Ulama tasawuf kembali bertanya lagi: “apakah dengan suara keras makhluk akan merusak pendengaran Allah?”. Mahasiswi menjawab: “tidak Pak Kiai”.
Selanjutnya Ulama Tasawuf mengatakan: “oleh sebab itu istighfarlah dan bersyahadatlah dengan baik, bagaimanapun Allah tidak akan tuli dan tidak akan rusak pendengaran-Nya oleh suara kerasnya makhluk. Bagi-Nya suara keras maupun pelan terdengar oleh Allah sama. Hanya saja, hati manusia yang tuli akan perintah Allah. Jadi, dzikir keras bukan untuk Allah dan bukan ingin didengar oleh Allah karena Allah sudah tahu. Tapi tujuan dzikir keras itu diarahkan untuk hati yang tuli kepada Allah yang keras bagaikan batu sedangkan kita tahu batu itu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan yang kuat, begitupun hati yang keras bagaikan batu tidak akan hancur kecuali dengan suara pukulan dzikir yang kuat. Jadi, Allah tidak butuh akan dzikir kita, sebaliknya kitalah yang butuh akan dzikir kepada Allah supaya hati menjadi lembut, bersih dan ma’rifat kepada Allah.
Semoga Allah kuatkan kita untuk selalu istiqomah di jalan-Nya…amiin…
“manizdaada ‘ilman walam yazdad huudan lam yazdad minallohi illa bu’dan..”
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya (amalnya, takutnya, taqorubnya, dll), tidaklah bertambah dari Allah melainkan jauhnya..”
Afwan bila ada silap kata. Semoga dapat menjadi pembuka silaturahim.
Syukron.