Rabu, 19 September 2012

PERNIK WAHABI-SALAFY


Bagi pengikut aliran Salafi Wahabi mungkin mereka merasa aliran tersebut sangat baik karena memurnikan Tauhid, membersihkan bid’ah, dan menganut Islam sesuai ajaran Al Qur’an dan Hadits.

Namun kenapa banyak tentangan dari ummat Islam lainnya? Menghadapi hal itu, para Syekh Wahabi menuding itu adalah ulah Syi’ah, Ahlul Bid’ah, Sufi, dan para pelaku TBC (Tawassul, Bid’ah, dan Churafat). Para pengikutnya biasanya langsung taqlid buta dan percaya. Benarkah?

Memakai Dalil Orang Kafir dalam Memvonis Bid’ah

Wahabi memakai dalil orang kafir dalam memvonis bid’ah. Satu dalil terkenal yang sering mereka pakai adalah:
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Jika kita teliti, Nabi tidak pernah mengatakan itu. Di Al Qur’an pun setelah diperiksa, ternyata itu adalah ucapan orang-orang kafir yang dilontarkan terhadap orang yang beriman:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama.” [Al Ahqaaf 11]

Jadi bagaimana mungkin kaum Wahabi bertasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir dengan mengutip ucapan orang-orang kafir sebagai dalil utama untuk memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah atau sesat? Bukankah itu keliru?

Wahabi pun keliru menafsirkan ayat Al Qur’an di bawah:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al Hasyr 7]  Kaum Wahabi memahami apa yang “Tidak diperintahkan” Nabisebagai“Larangan.” Padahal di ayat di atas yang “Dilarang” yang harus kita tinggalkan. Ada pun yang tidak diperintahkan atau tidak dilarang, itu sebetulnya bukan larangan. Dari kesalah-pahaman pengambilan dalil inilah akhirnya kaum Wahabi jadi ekstrim dan sering memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah, Sesat, bahkan kafir yang akhirnya merusak ukhuwah Islamiyyah. Memecah-belah dan melemahkan ummat Islam. Secara tak sadar mereka justru melanggar larangan Allah dan terjebak dalam dosa.

Contoh hal yang tidak diperintahkan atau pun dilarang Nabi misalnya penyusunan kitab Al Qur’an dan juga Kitab-kitab Fiqih oleh para Imam Madzhab. Meski tak ada perintah dan tidak ada larangan, itu bukan berarti haram/bid’ah. Justru bermanfaat memudahkan ummat Islam dalam belajar Islam.

Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim (Takfir) dan Buruk Sangka

Paham kaum Wahabi ini adalah paham Takfir. Yaitu menganggap ummat Islam itu Ahlul Bid’ah, sesat, syirik, kafir, dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat Islam dengan sebutan yang mereka sendiri tidak suka:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]

Sebetulnya firman Allah di atas jelas agar kita tidak mengejek sesama Muslim dengan sebutan yang tidak disukai seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi kafir. Namun kenapa kaum Wahabi yang katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya?

Tak jarang juga kaum Wahabi berburuk sangka/curiga sehingga orang yang berziarah kubur kemudian berdoa kepada Allah mendoakan mayat tersebut, mereka duga sebagai berdoa kepada kuburan dan menyebutnya sebagai penyembah kuburan. Begitu pula ada yang menulis saat dia tengah berteduh di bawah pohon karena kepanasan di padang pasir kemudian berdoa kepada Allah, tiba-tiba seorang Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau menyembah pohon?”. Main tuduh orang sebagai penyembah pohon padahal tidak mendengar apa isi doa orang tersebut. Padahal buruk sangka itu dosa:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]

Jadi bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah Kuburan padahal mereka itu sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”? Mereka sekedar mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering melakukan Ziarah Kubur:

Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah pernah -dahulu- melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat.”

Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. itu setiap malam gilirannya di tempat Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar pada akhir malam ke makam Baqi’, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum mu’minin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan besok yakni masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allah menyusul engkau semua pula. Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’ Algharqad ini.”[54] (Riwayat Muslim)

Dari Buraidah r.a., katanya: “Nabi s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu’minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan keselamatan.” (Riwayat Muslim)

Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. berjalan melalui kubur-kubur Madinah lalu beliau menghadap kepada mereka -penghuni-penghuni kubur-kubur- itu dengan wajahnya, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para ahli kubur, semoga Allah memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu semua. Engkau semua mendahului kita dan kita akan mengikuti jejakmu.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Saat kita ziarah ke makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga kalau orang-orang yang menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai menyembah Nabi sehingga sering mengusirnya. Padahal itu tidak benar.

Terlalu Ekstrim dalam Memvonis Bid’ah

Dalam hal memvonis Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para Imam Mazhab itu boleh dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru dari Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Toh meski Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga Qunut Subuh, tidak pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam Syafi’i sebagai Ahlul Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam Hambali malah berguru kepada Imam Syafi’i.

Banyak hal yang menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur Ulama justru tidak bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat 20, Qunut Subuh, dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah, lalu mereka musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan terlalu gampang memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan hadits dulu sebelum begitu.

1.    Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2.
Zaman Umar jadi Khalifah, Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada sekarang.

2.    Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang.
 Namun pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka? Tidak bukan? Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.

3.    Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada.
Bahkan Nabi melarang sahabat untuk menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah yang masuk neraka.

4.    Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.

5.    Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit melakukannya. Nabi membolehkannya.

6.    Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya. Justru Nabi menontonnya.

7.    Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura’. (Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar.” [HR Bukhari]
Dsb.

Tidak Bisa Menerima Perbedaan Pendapat

Salafi Wahabi tidak bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut mereka kebenaran hanya satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: ˜Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).

Padahal jika kita membaca ayat Al Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa Jalan yang Lurus (Shirothol Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan kaum Yahudi (yang Dimurkai Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat). Jadi insya Allah jika dia Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia akan selamat.
Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :
Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi :

Dan orang-orang yang tetap di atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi.”(Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).

 ”Kami di atas manhaj yang selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan “alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).

Padahal jika kita benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits Nabi yang bercerita tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa menerima adanya perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari  Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi itulah beberapa kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita mewaspadai hal ini:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar Sendiri
Jika kita teliti Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang lahir pada abad 1-3 Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan tidak memaksa orang untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini berbeda sekali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan yang lahir di tahun 12 Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya Muwahhidun atau Manhaj Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan memaksa agar ummat Islam lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.

Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah

Islam sebenarnya tidak menganjurkan perdebatan karena bisa merusak persaudaraan. Namun kaum Salafi Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya kata-kata Ahlul Bid’ah, Sesat, Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang sayangnya ditujukan kepada sesama Muslim.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Imam Malik rahimahullah berkata: “Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam Malik rahimahullah berkata: ”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata: “Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
Imam as-Syafi’I rahimahullah berkata: “Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]

JAWABAN ATAS PERNYATAAN YANG MENYUDUTKAN


Telah disampaikan kepada saya mengenai lembaran pernyataan yang menyudutkan ahlussunnah waljamaah, pertama kali yang muncul dalam hati saya adalah :
1. Lembaran ini bermaksud memecah belah muslimin, membawa fitnah untuk merisaukan masyarakat awam.
2. Saya tak percaya bahwa lembaran ini ditulis oleh para ulama, karena terlalu dangkal sekali dan menunjukkan kebodohan dan awam terhadap ilmu syariah, barangkali lembaran ini hanya ditulis oleh para pemuda yang iseng belaka, namun saya akan coba jelaskan satu persatu Insya Allah. 


DALAM HAL SHOLAT

1. Agar meninggalkan kebiasaan membaca Usholi dengan suara keras. Karena niat itu pekerjaan hati, cukup dalam hati saja.

JAWAB
Hal ini merupakan ijtihad Imam Syafii Rahimahullah, barangkali anda belum mengenal siapa imam syafii, Imam Syafii adalah Imam besar yang lahir pada th 150 H, beliau adalah murid Al hafidh Al Muhaddits Imam Malik rahimahullah, beliau sudah hafidh alqur an sebelum usia baligh, dan ia sudah melewati derajat Al Hafidh dimasa mudanya, yaitu telah hafal 100 ribu hadits dengan sanad dan matan, dan beliau telah pula melewati derajat Alhujjah dimasa dewasanya, yaitu hafal 300 ribu hadits dengan sanad dan matan, 

Beliau kemudian terus memperdalam Syariah dan hadits hingga diakui oleh para Muhadditsin sebagai  Imam, dan salah satu murid beliau sendiri yaitu Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal) hafal 1 Juta hadits dengan sanad dan matan, dan murid Imam syafii banyak yang sudah menjadi Muhaddits dan Imam pula, ratusan para Muhaddits dan Imam yang juga bermadzhabkan syafii jauh setelah beliau wafat, diantaranya Alhafidh Al Muhaddits Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi, Imam Al Hafidh AL Muhaddits Syarafuddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy dan imam imam lainnya, 

Maka sangkalan anda batil karena anda hanya menyangkal tanpa ilmu, bukan seorang mujtahid, apalagi Muhaddits, mengenai penggunaan lafadh itu sudah muncul dalam kalangan Imam Madzhab, maka yang bermadzhabkan syafii boleh menggunakannya, dan tak satupun dalil atau ucapan para Imam dan muhadditsin yang mengharamkannya, lalu bagaimana anda mengharamkannya

2. Ba da shalat, imam tidak perlu baca wirid, dzikir dengan suara keras, cukup dalam hati, dan imam ba da shalat tidak perlu memimpin do a bersama dengan jama ah. Imam dan jama ah berdo a sendiri- sendiri dalam hati.
JAWAB
Rasulullah saw bila selesai dari shalatnya berucap Astaghfirullah 3X lalu berdoa Allahumma antassalam, wa minkassalaam...dst" (Shahih muslim hadits no.591,592) 
Kudengar Rasulullah saw bila selesai shalat membaca : Laa ilaaha illallahu wahdahu Laa syariikalah, lahulmulku wa lahulhamdu..dst dan membaca Allahumma Laa Maani a limaa a thaiyt, wala mu thiy..dst" (shahih Muslim hadits no.593)

Hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.808, dan masih banyak puluhan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw berdzikir selepas shalat dengan suara keras, sahabat mendengarnya dan mengikutinya, hal ini sudah dijalankan oleh para sahabat radhiyallahu  anhum, lalu tabi in dan para Imam dan Muhadditsin tak ada yang menentangnya.

Mengenai doa bersama sama Demi Allah tak ada yang mengharamkannya, tidak pada Alqur an, tidak pada hadits shahih, tidak Qaul sahabat, tidak pula pendapat Imam Madzhab.

3. Jama ah ba da shalat, tidak perlu mencium tangan imam, cukup bersalaman saja.
JAWAB
Kebiasaan mencium tangan merupakan kebiasaan baik sebagai tanda penghormatan, hal ini telah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibn Abbas ra setelah wafatnya Rasul saw beliau berguru pada Zeyd bin Tsabit ra, maka Ibn Abbas ra disuatu hari menuntun tunggangan Zeyd bin tsabit ra, maka berkata Zeyd ra : "jangan kau berbuat itu", maka berkata Ibn Abbas ra : "beginilah kita diperintah utk menghormati ulama ulama kita", maka turunlah Zeyd bin tsabit ra dari tunggangannya seraya mencium tangan Ibn Abbas ra dan berkata : "Beginilah kita diperintah memuliakan keluarga Rasulullah saw". 
(Faidhul Qadir oleh Al hafidh Al Imam Abdurra uf Almanaawiy Juz 2 hal 22), (Is aful Mubtha  oleh Al Hafidh Al Muhaddits Imam Assuyuthi ). 
Anda lihat kalimat : "beginilah kita diperintah..", kiranya siapa yang memerintah mereka, siapa yang mengajari mereka, mereka tak punya guru selain Muhammad Rasulullah saw. 

Riwayat lain adalah ketika Ka b bin malik ra gembira karena taubatnya diterima Allah swt, ia datang kepada Rasul saw dan mencium tangan dan juga kedua paha beliau saw (Fathul Baari Al masyhur oleh Imam Al Hafidh Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy juz 8 hal 122)
Riwayat lain : "Kami mendekat pada Nabi saw dan mencium tangan nabi saw" (Sunan Imam Al Baihaqi Alkubra hadits no.13.362)
Riwayat lain : "Berkata Tamiim ra bahwa Mencium tangan adalah sunnah". (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13.363)
Demikian Rasul saw tak melarang cium tangan, demikian para sahabat radhiyallahu anhum melakukannya.

4. Dalam shalat subuh, imam tidak perlu membaca do a qunut, kecuali bila ada suatu bahaya terhadap kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Do a qunut boleh dibaca disetiap shalat, bila ada keperluan yang bersifat darurat, tidak hanya dalam shalat subuh.
JAWAB
Berikhtilaf para Imam Madzhab mengenai pembacaan doa qunut, dan Imam Syafii berpendapat bahwa Qunut itu diwaktu setiap subuh, dan Imam Hanbali dan Imam Malik berpendapat Qunut adalah setiap waktu shalat.

Namun satu hal.. tidak ada yang mengharamkan Qunut dibaca setiap subuh, bahkan para Mufassirin menjelaskan tak ada qunut kecuali saat shalat subuh, sebagaimana diriwayatkan pada tafsir Imam Attabari Juz 2 hal 566, dan ini merupakan Ijtihad para Imam yang mengeluarkan pendapat dengan beribu pertimbangan, dengan keluasan ilmu syariah yang mendalam, dan telah diakui pula oleh puluhan Imam dan ratusan Huffadhulhadits dan Muhadditsin setelah mereka, maka menyangkal dan mengharamkan hal ini adalah kesesatan yang nyata. 

5. Shalat Rawatib / shalat sunah qobliah / ba diah adalah sebagai berikut : Qobla subuh, qobla dan ba da dhuhur, shalat ashar tidak ada rawatib, ba da magrib dan ba da shalat isya.
JAWAB
Banyak riwayat lain mengenai rawatib Qabliyah asar, bahwa Rasul saw shalat Rawatib Qabliyah Asar dan tak pernah meninggalkannya (Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1114, 1118, Shahih Ibn hibban hadits no.2452,  Mustadrak ala shahihain hadits no.1173, Sunan Attirmidziy hadits no.429 dan masih terdapat belasan riwayat hadits shahih mengenai shalat Qabliyah Asar diantaranya diriwayatkan pada Shahih Ibn Hibban, Shahih Muslim dll.


DALAM SHALAT JUM AT

Sebelum khotib naik mimbar, tidak ada adzan dan tidak ada shalat sunat qobla jum at
JAWAB
Diriwayatkan bahwa ketika jamaah jumat semakin banyak di Madinah maka Khalifah Utsman bin Affan ra menambahkan adzan jumat dengan dua adzan (shahih Bukhari hadits no.870,871,874), maka menggunakan dua adzan ini merupakan sunnah hukumnya, karena Rasul saw telah bersabda : "Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah khulafa urrasyidin para pembawa petunjuk" (shahih Ibn Hibbah, Mustadrak ala shahihain). 

Maka tidak sepantasnya kita muslimin menghapuskan hal hal yang telah dilakukan oleh para sahabat, karena sungguh mereka jauh lebih mengerti mana yang baik dijalankan dan mana yang tak perlu dijalankan, pengingkaran atas perbuatan sahabat berarti menganggap diri kita lebih mengetahui syariah dari mereka, dan hal ini merupakan pengingkaran atas hadits Rasul saw yang memerintahkan kita berpegang pada sunnah beliau dan sunnah khulafa urrasyidin, maka pengingkaran atas hal ini merupakan kesesatan dan kebodohan yang nyata.

Mengenai shalat dua rakaat sebelum jum at hal itu adalah sunnah, sebagaimana teriwayatkan dari belasan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw melakukan shalat sunnah qabliyyah dhuhur dan ba diyah dhuhur, dan para ulama dan muhadditsin berpendapat bahwa shalat jumat adalah pengganti dhuhur, demikian para Muhadditsin dan ulama berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah Qabliyah jumat merupakan sunnah. (Fathul Baari Almasyhur Juz 2 hal 426)

ketika khotib duduk diantara dua khutbah, tidak ada shalawat
JAWAB
Tidak pernah ada larangan shalawat diperbuat kapanpun dan dimanapun, shalawat boleh boleh saja dibaca kapanpun dan dimanapun, silahkan munculkan ayat alqur an atau hadits shahih yang mengharamkan membaca shalawat dalam suatu munasabah tertentu, lalu bagaimana terdapat pelarangan dari apa yang tidak diharamkan Allah swt, ataukah ada syariah baru

2. Ba da shalat jum at, imam tidak mempunyai kewajiban untuk memimpin do a bagi makmum dengan suara kuat, silahkan imam dan jama ah berdzikir, wirid dan do a masing- masing
JAWAB
Selama hal itu baik tidak ada salahnya dilakukan, yang tak boleh dilakukan adalah hal hal yang dilarang dan diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya, dan tak pernah ada hadits dan ayat yang mengharamkan hal ini, maka mengharamkannya merupakan pengingkaran atas syariah.

3. Dalam shalat jum at, tongkat yang selama ini dipakai oleh khotib, bukan merupakan sarana ibadah, hanya kebiasaan Khalifah Utsman, sekarang dapat ditinggalkan.
JAWAB
Perbuatan sahabat merupakan hal yang mesti kita jalankan hingga kini, termasuk diantaranya adalah penjilidan Alqur an, sebagaimana tak satu ayat pun atau hadits yang memerintahkan Alqur an untuk dibukukan dalam satu kitab, itu baru dilakukan dizaman Khalifah Abubakar ra, dan selesai pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, maka mereka yang merasa tak perlu mengikuti perbuatan Utsman bin Affan ra berarti mereka pun tak mengakui kitab Alqur an yang ada hingga kini, karena penjilidannya baru dilakukan dimasa sahabat, satu hal yang sangat menyakitkan hati adalah kalimat : "hanya kebiasaan Khalifah Utsman dan sekarang dapat ditinggalkan", seakan akan bagi mereka Amirulmukminin Utsman bin Affan ra itu tidak perlu dipanut, bukan seorang baginda mulia yang sangat agung disisi Allah sebagai Amirulmukminin, padahal beliau ini dimuliakan dan dicintai nabi saw.

4. Sebelum khotib naik mimbar, tidak perlu pakai pangantar dan tidak perlu membaca hadits Nabi SAW tentang jangan berkata-kata ketika khotib sedang khutbah. Tetapi sampaikanlah bersamaan dengan laporan petugas masjid tentang laporan keuangan, petugas khotib dan imam, hal ini sebagai perangkat laporan administrasi masjid bukan proses ibadah dalam shalat jum at.
JAWAB
Baru ini ada muncul ajaran yang mengatakan bahwa kabar laporan keuangan masjid jauh lebih baik dari hadits Nabi Muhammad saw


DALAM SHALAT TARAWIH / WITIR / TAHAJJUD

Dalam bulan ramadhan diwajibkan shaum dan dimalam hari disunnahkan shalat tarawih, witir, yang selama ini masih ada yang berbeda pendapat karena itu perlu dikeluarkan himbauan ini.
1. Shalat tarawih, dilakukan Nabi SAW, sebanyak 8 rakaat dan 3 rakaat witir dapat dilakukan dengan cara 4-4-3.
JAWAB
Rasul saw melakukan shalat malam berjamaah dibulan ramadhan lalu meninggalkannya, dan tak memerintahkan untuk melakukannya, dari sini kita sudah mengetahui bahwa shalat sunnah tarawih adalah Bid ah hasanah, dan baru dilakukan di masa Umar bin Khattab ra, yang mana beliau melakukannya 11 rakaat, lalu merubahnya menjadi 23 rakaat, dan tak ada satu madzhab pun yang melakukannya 11 rakaat, Masjidilharam menjalankannya 23 rakaat, dan Masjid Nabawiy Madinah hingga kini masih menjalankan madzhab Imam Malik yaitu 41 rakaat, tak ada satu madzhab pun yang melakukan 11 rakaat. (Rujuk Sunan Imam Baihaqiy Al Kubra, Fathul Baari Almasyhur, Al Umm Imam Syafii)

2. Tidak disunahkan membaca do a bersama-sama antara rakaat.
JAWAB
Namun tak ada pula hadits yang mengharamkannya, maka tak ada hak bagi muslim manapun untuk mengharamkan hal yang tak diharamkan oleh Allah, dan berdoa boleh saja dilakukan kapanpun dan dimanapun, dan melarang orang berdoa adalah kesesatan yang nyata.

3. Tidak dibenarkan antar jama ah membaca shalawat Nabi bersahut-sahutan
JAWAB
Allah swt memerintahkan kita bershalawat, maka melarang seseorang untuk menjalankan perintah Allah swt Kufur hukumnya.

4. Sebelum ramadhan tidak perlu shalat tasbih dan shalat nisfu sya ban dan sedekah ruwah karena hadits tentang kedua shalat tersebut ternyata dhaif, lemah dan berbau pada hadits maudhu (palsu) karena terputus parawinya dan shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat.
JAWAB
Mengenai shalat Tasbih maka haditsnya jelas diriwayatkan pada Almustadrak ala Shahihain dan berkata Imam Hakim bahwa hadits itu shahih dengan syarat Imam Muslim, dan Ibn Abbas ra melakukannya, dan para Muhadditsin meriwayatkan keutamaannya, dan Rasul saw memerintahkannya (Rujuk Fathul Baari Almasyhur, sunan Imam Tirmidzi, sunan Abi Daud, sunan Ibn Majah, Sunan Imam Baihaqi Alkubra).

Satu hal yang lucu adalah ucapan : "berbau pada hadits maudhu (palsu)", ini baru muncul Muhaddits baru dengan ilmu hadits yang baru pula, yang mana belasan perawi hadits yang meriwayatkan hal itu namun para ulama sempalan ini mengatakan hal itu mesti dihapuskan.

5. Pada shalat witir dibulan ramadhan, tidak perlu ada do a qunut.
JAWAB
Qunut bukan hal yang wajib, Qunut hukumnya sunnah, Qunut pada shalat witr diriwayatkan dengan hadits shahih pada Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1095, Sunan Imam Addaarimiy hadits no.1593, Sunan Imam Baihaqy Alkubra hadits no.4402, Sunan Imam Abu dawud hadits no.1425, dan diriwayatkan pula bahwa membaca qunut witir adalah sesudah setengah pertama ramadhan, yaitu pada setengah kedua (mulai malam 15 ramadhan) (Al Mughniy Juz 1 hal 448) tak ada madzhab manapun yang mengharamkan Qunut di subuh, di witir, bahkan hal ini merupakan sunnah dengan hujjah yang jelas, maka bila muncul pendapat yang mengharamkan Qunut maka jelas bukanlah muncul dari ucapan ulama ahlussunnah waljamaah.


DALAM UPACARA TA ZIYAH

1. Keluarga yang mendapat musibah kematian, wajib bagi Umat Islam untuk ta ziyah selam tiga hari berturut-turut.
JAWAB
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakannya wajib, hal ini sunnah muakkadah, tidak ada dalil ayat atau hadits shahih yang mengatakan takziyah 3 hari berturut turut adalah wajib.

2. Kebiasaan selama ini yang masih melakukan hari ke 7, ke 40 dan hari ke 100 supaya ditinggalkan karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW dan tidak ada tuntunannya. Upacara itu berasal dari ajaran agama Hindu dan Budha, menjadi upacara dari kerajaan Hyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh orang Hindu ketanah melayu tempo dulu.
JAWAB
Mengikuti adat kuffar selama itu membawa maslahat bagi muslimin dan tidak melanggar syariah maka itu boleh saja, sebagaimana Rasul saw pun ikut adat kaum yahudi yang berpuasa di hari 10 Muharram (asyura) karena hari itu hari selamatnya Musa as dari kejaran fir aun, maka Rasul saw pun ikut berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa asyura (rujuk shahih Bukhari, shahih Muslim)

Demikian pula kita menggunakan lampu, kipas angin, karpet, mikrofon, speaker dll untuk perlengkapan di masjid yang kesemua itu adalah buatan orang kafir dan adat istiadat orng kafir, boleh saja kita gunakan selama itu manfaat bagi muslimin dan tidak bertentangan dengan syariah, demikian pula Alqur an yang dicetak di percetakan, dan mesin percetakan itupun buatan orang kafir, dan mencetak buku adalah adat orang kafir, juga Bedug di masjid yang juga adat sebelum Islam dan banyak lagi. 
Boleh boleh saja kumpul kumpul dzikir dan silaturahmi dirumah duka 7 hari, 40 hari, bahkan tiap hari pun tak apa karena tak pernah ada larangan yang mengharamkannya.

3. Dalam ta ziyah diupayakan supaya tidak ada makan-makan, cukup air putih sekedar obat dahaga.
JAWAB
Bukankah air putih pun merupakan hidangan, bila anda mengharamkan hidangan bagi yang takziah, lalu dalil apa yang anda miliki hingga anda memperbolehkan air minum dihidangkan, telah sepakat Ulama bahwa hidangan di tempat rumah duka hukumnya makruh, sebagian mengatakannya mubah.  

4. Acara dalam ta ziyah baca surat Al Baqarah 152-160, kemudian adakan tabligh yang mengandung isi kesabaran dalam menerima musibah tutup dengan do a untuk sang almahrum, tinggalkan kebiasaan membaca surat yasin bersama-sama, tahlil dan kirim fadhilah, semua itu ternyata hukumnya bid ah.
JAWAB
Aturan mana yang menentukan Al Baqarah 152-160 dirangkai Tabligh lalu ditutup dengan doa, anda pun mengada ada saja tanpa Nash yang jelas dari hadits shahih.

Tahlil, Yaasiin dan dzikir yang dihadiahkan pada mayyit merupakan amal amal yang dikirimkan pada mayyit, dan itu diperbolehkan oleh Rasul saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang wanita datang pada Rasul dan bertanya : "wahai rasulullah, aku bersedekah dengan membebaskan budak dan pahalanya kukirimkan untuk ibuku yang telah wafat, bolehkah, Rasul memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : ibuku sudah wafat dan belum haji, bolehkah aku haji untuknya, Rasul saw memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : "wahai Rasulullah, ibuku wafat masih mempunyai hutan puasa ramadhan sebulan penuh, maka bolehkah aku berpuasa untuknya, maka Rasul saw menjawab : Boleh (shahih Muslim) 


DALAM UPACARA PENGUBURAN


1. Tinggalkan kebiasaan dalam shalat jenazah dengan mangajak jama ah untuk mengucapkan kalimat bahwa "jenazah ini orang baik, khair khair" Hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, dan tidak ada hadits sebagai pembimbing.

JAWAB

Ketika lewat sebuah jenazah dihadapan Rasul saw maka para sahabat memujinya dengan kebaikan, maka Rasul saw berkata : "semestinya.. semestinya.. semestinya..", lalu tak lama lewat pula jenazah lain, dan para sahabat mengutuknya, maka rasul saw berkata : "semestinya.. semestinya.. semestinya..". maka berkatalah Umar bin Khattab ra mengapa beliau berucap seperti itu, maka Rasul saw menjawab : "Barangsiapa yang memuji jenazah dengan kebaikan maka sepantasnya baginya sorga, dan barangsiapa yang mengutuk jenazah dengan kejahatannya maka sepantasnya baginya neraka, kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., Kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.." (shahih Muslim hadits no.949, Shahih Bukhari hadits no.1301), 

Lalu ketika dimasa Umar bin Khattab ra menjadi khalifah pun terjadi hal yang sama yaitu lewat jenazah maka orang orang memujinya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : "sepantasnya..", lalu lewat jenazah lain dan orang orang mengumpatnya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : "sepantasnya..". maka para sahabat bertanya dan berkata Amirulmukminin Umar bin Khattab ra : "tiadalah jenazah disaksikan 4 orang bahwa dia orang baik maka ia masuk sorga", lalu kami bertanya : Bagaimana kalau tiga saja yang bersaksi, beliau ra menjawab : "walaupun tiga". Lalu kami bertanya lagi : Bagaimana kalau dua orang saja.., maka beliau ra menjawab : "dua pun demikian". Maka kami tak bertanya lagi". (shahih Bukhari hadits no.1302), oleh sebab itu sunnah kita mengucapkan : "khair..khair.." pada jenazah dengan Nash yang jelas dan shahih dari shahihain dll.

Apapun yang dijadikan fatwa, namun fatwa fatwa diatas adalah batil dan tidak dilandasi pemahaman yang jelas dalam syariah Islamiyah, oleh sebab itu saya menilai bahwa segala fihak yang menyebarkan selebaran ini sebelum kami beri penjelasan seperti sekarang ini, maka ia turut bertanggung jawab atas kesesatan ummat yang membacanya.

Wassalam.

Senin, 17 September 2012

Seputar Ziarah Kubur


Kesalahpahaman seputar ziarah kubur Rasulullah


Satu lagi contoh potongan perkataan ulama salaf yang sholeh  disalah gunakan oleh mereka yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) untuk melarang ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Bahkan ulama panutan mereka,  Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan potongan perkataan tersebut.
Ibnu Taimiyah berkata:
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wsallam  yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .”
Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut.
Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam dengan kaki hewan (kendaraan-pent)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ?
Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi  atau mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” berhubung banyak hadits mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan kaum muslim yang telah meraih maqom di sisiNya  di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya.  Tampak Imam Malik tidak suka Rasulullah Shallallahu Wasallam yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Imam Nawawi didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.
“Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabkiy mengata- kan sebagai berikut:  “Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meng-hadapkan wajah kepadanya  (Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu Alaihi Wasallam beserta keluarganya (ahlu-bait beliau Shallallahu Alaihi Wasallam) dan para Sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau Shallallahu Alaihi Wasallam (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman 398).
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah yang tersebut diatas adalah haram, bid’ah, sesat dan lain sebagainya.
Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam seperti padahttp://abahnajibril.wordpress.com/2011/04/20/madzhab-ibnu-taimiyyah-dalam-ziarah-kubur/   dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.
Hadits tersebut berkaitan dengan masalah sholat dan masjid jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersholat di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’ , karena sholat di selain ketiga masjid tersebut  sama pahalanya.  Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram(di Makkah), Al-Masjidul- Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah)”  Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.
Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah)” . (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.
Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat dan masjid bukan sebagai  larangan untuk (perjalanan) berziarah kubur  kepada Rasulallah Shallallahu Alaihi wasallam dan kaum muslimin lainnya!
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka makin terlihatlah kejanggalannya.  Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.
Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid”.  Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Hasyiyah Al-’allaamah Ibn Hajar Al-Haitami ‘Alaa Syarh Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”,  (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi)  menuliskan (yang artinya)
“… Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga sebagaimana telah panjang lebar dijelaskan tentang kesesatannya oleh Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya tersendiri untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam)Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan, –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
Selain mereka mengingkari sunnah Rasulullah mengenai ziarah kubur, merekapun melarang berdoa di kuburan dengan dalil sebagai berikut,
 dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’(diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Mereka memahami riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Tholib) sebagai larangan berdoa atau bertawassul di makam Nabi.
Riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib tersebut sekedar mengingatkan orang yang masuk dan berdoa pada celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menyembah kuburan Nabi (“larangan menjadikan kuburan sebagai ‘ied” atau “larangan menjadikan menjadikan kuburan sebagai masjid” dengan mengembalikan kata masjid kepada kata asalnya sajada, tempat sujud. Berikut anjuran untuk tidak perlu mempersulit diri dengan memasuki celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam karena  bersholawat, bertawassul dapat dilakukan dimanaoun.
Dalam ziarah kubur kita sebaiknya menghindari timbulnya fitnah orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan.
Begitupula perkataan Imam As Syafi’i rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat”  cara memahaminya kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud sehingga maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari timbulnya fitnah orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah radiallahu anha “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.”(HR Muslim 853) maknanya Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada kuburan Beliau untuk menghindari timbulnya fitnah orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan walaupun di hati yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Cara memahami hadits yang berisisi larangan dengan kata kuburan dan masjid telah diuraikan dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/10/pembahasan-lebih-lanjut-tentang-makna.htm , untuk lebih memahami pengertian tersebut sejenak kita bahas dulu tentang cara memahami hadist tersebut.

Hadits Pertama :

Nabi Saw bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya “

Hadits Kedua :
لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat menghadapnya “.

PENJELASAN  HADITS PERTAMA :

Segi Ilmu Nahwu :

لعن : فعل ماض مبني على الفحة
الله : فاعل مرفوع بالضمة
اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة
و : حرف عطف
النصارى : معطوف باليهود منصوب بالفتحة
اثخذوا : فعل ماض والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل
والاتخاذ من افعال التحويل تنصب مفعولين.
قبور : مفعول اول وهو مضاف
انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة
هم : ضمير متصل مبني على السكون
مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة
وجملة الفعل والفعل وما بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى

Keterangan :
• Lafadz ittakhadza termasuk fi’il tahwil yaitu predikat yang menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf’ul karena ia juga termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua maf’ulnya.
• Maf’ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM (Kuburan para nabi mereka). Dan maf’ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).
• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA’AT (Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.

Maka arti dari sisi nahwunya “ Allah melaknat kepada Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid “.
Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :
لعن الله • : Adalah jumlah du’aiyyah (susunan doa) yang mengandung makna tholabiyyah (permohonan).
اتخذوا • : Adalah jumlah musta’nifah ‘ala sabilil bayan limuujibil la’an (Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)
قبور انبيائهم مساجد • : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.
- Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
- Tasybih : Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.
Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera.
Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :
“  Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.

Syarah alfadz atau mufradat :
Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat hadits tersebut dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya, merujuk pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga kita akan dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan hadits-hadits lainnya yang saling berkaitan.
Setelah itu kita akan timbang dengan komentar-komentar atau pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat berkompeten dan menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.
PEMBAHASAN :
Mufradat :
• Lafadz qubur jama’ dari mufrad qobrun yang berarti madfanul insane al-mayyit (tempat pendaman mayat).

• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan lilqobri yaitu maudhi’u dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati atau istilah lainnya pekuburan / pemakaman). Yang berarti juga tempat dimana terdapat tiga atau lebih dari orang yang dipendam.
• Dan lafadz Masajid adalah jama’ dari kata Masjid berasal dari kata sajada yasjudu (bersujud). Masjid adalah isim makan ‘ala wazni maf’ilun. Maka masjidun artinya makanun lis sujud (tempat untuk sujud).
Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah  : “ Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman para nabi mereka sebagai tempat untuk sujud “.
Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat sujud dan ibadah mereka. Mereka buat patung seorang nabi atau orang sholeh di atas kuburan nabi atau orang sholeh tersebut. Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.
Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bias demikian ? simak..
Pertama : Fi’il ittakhodza (اتخذ) adalah dari fi’il khumasi muta’addi dan salah satu fi’il tahwil atau shoirurah yang memiliki makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf’ul (objek)-nya. Maf’ul yang pertama menjadi dzat maf’ul yang kedua seluruhnya.
Contoh : اتخذت الحقل مرعى  “ Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.
Artinya ; “ Aku merubah semua ladang itu menjadi tempat penggembalaan .
Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :
اتخذت من الحقل مرعى
“ Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.

Kalau untuk di artikan membangun, maka tidak boleh kita katakan :
اتخذت الارض بيتا
“ Aku bangun tanah itu sebagai rumah “,
kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai dengan fungsi fi’il ittakhodza sebagai fi’iI tahwil bukan bina’.
Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah sebagai berikut :
بنيت على الارض بيتا
“ Aku membangun rumah di atas tanah itu “.
Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan membangun tempat sujud di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan sebagai tempat sujud. Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi’il tersebut.

Dan hadits membangun masjid / tempat sujud dikuburan, ada matan dan riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan hadits di atas. Nanti saya akan jelaskan.

Kedua : 
Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui makna hadits di atas yang sebenarnya :

فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد.

Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah Rasulullah Saw “ Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “.

Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam al-Quran berikut :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)

Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw melaknat orang yahudi dan nashoro adalah karena mereka menyembah patung para nabi dan patung orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara mereka. Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid yang ada kuburannya.

Ketiga : 
Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut diriwayatkan dari Atho'’bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud “.
Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang menyembah kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota tubuh dan juga hati mereka. Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata “ watsanan yu’bad “ (sesembahan yang disembah). Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah Nampak jelas mereka menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.
Keempat : 
Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud bukan berupa bangunan masjid. Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid, demikian juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan mereka beribadah di ma’bad dan kanisah (kuil dan gereja).
Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan pada bangunan masjid kaum muslimin. Maka makna hadits tersebut yang shahih adalah “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud “.
Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut :
"الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“ Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk dijadikan tempat sujud (tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah bangunan masjid, maka logikanya kita boleh melakukan I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar. Sungguh hal ini bertentangan dengan hokum fiqihnya.
Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid di situ adalah bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutstsana minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan) dan al-Hammam (tempat pemandian).
Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi disebut juga bangunan masjid. Maka arti hadits tersebut bermakna :
“ Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat sujud, kecuali tempat pekuburan dan tempat pemandian “.

Jika kita artikan masjid disitu dengan bangunan masjid “ Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan tempat pemandian “, maka pengertian seperti ini jelas salah dan batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat pemandian itu dengan masjid yang boleh I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.
Kelima :
Melihat sejarah pemakaman Nabi SawRasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.
Di masa Nabi Saw Awalnya,  masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas lagi walaupun yang pertama merovasinya adalah Umar bin Khoththob. Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Selanjutnya diperluas lagi oleh raja  Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd tersebut. Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob.
Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya atau mengatakannya haram. Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.
Nabi Saw bersabda :
صلاة في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام
“ Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali diselainnya kecuali di masjdil haram “
Beliau juga bersabda :
من زار قبري وجبت له شفاعتي
“ Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa’atku “.
Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana telah dikisahkan dalam shahih Bukhari.
Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.
Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah ke masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun ulama di seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.
Ke enam : Allah Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)
Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.

Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt.  Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :
يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.
Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum muslimin “.
وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى
Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami akan menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah kepada Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para pemuda ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.
Ketujuh :
عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات فيه: لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang wafatnya “ Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “. Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud “.


Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan kuburan para Nabi sebgai tempat sujud.
Maka ucapan siti Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid. Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah “ Nabi tidak mengatakan :
اللهم لا تجعل قبري مسجدا
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sebagai masjid “.
Doa Nabi Saw terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi sesembahan kaum  muslimin yang berziarah di sana.
Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat “.
Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan masjid.
Maka makna hadits Nabi Saw :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan hawa nafsu atau kedangkalan cara berpikir.
Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits yang kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya. Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai hadits tersebut seperti penjelasan di atas. Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.
Dari segi ilmu fiqihnya yaitu berkaitan pada illat / sebab pelaknatannya yang ada pada hadits berikut :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Sebelumnya saya telah mengupas makna hadits tersebut dari sisi ilmu alatnya yang kesimpulannnya sebagai berikut :
1. Kata al-Ittikhaz dalam hadits tersebut sudah maklum adalah min af’aalit tahwil atau shairurah (mengandung makna merubah) yang memiliki hokum menashobkan dua maf’ulnya karena ia juga termasuk saudaranya Dzhann.
Memang ada juga fi’il ittikhadz yang yata’addi ila maf’ulin wahidin (membutuhkan hanya satu maf’ul) contoh :
اتخذت سيارة : Aku telah membuat mobil.
Dan terkadang oleh ulama fi’il iitikhazd ini juga digabungkan dengan kata al-Binaa (membangun), sebagaimana penjelasannya nanti.

2. Kata masjid dalam hadits tersebut memiliki makna majazan (tempat sujud) dan tidak bisa secara haqiqatan (bangunan masjid), sebab memang realitanya saat itu mereka membangun tempat ibadah versi agama mereka yang bukan Islam dan juga tempat ibadah mereka (Yahudi dan Nashoro) bukanlah masjid.  
Maka hadits di atas ditinjau dari sisi ilmu alatnya adalah :

“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro itu, sebab mereka telah merubah kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “
Makna Hadits di atas senada dengan Hadits :
الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“ Bumi itu seluruhnya layak dijadikan tempat sujud kecuali pekuburan dan tempat pemandian “
●●●
Sekarang mari kita masuk pada Ushul Fiqihnya untuk mengetahui illat yang menyebabkan datangnya laknat tersebut. Dan juga saya akan membahas hadits-hadits lainnya yang menyinggung masalah kuburan. Serta pendapat para ulama berkaitan tentang persoalan ini.
Dalam Ushul Fiqih ada kaidah yang mengatakan :
الحكم يدور على علته وجودا وعدما
“ hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hokum”
Illat adalah :
الوصف المعرف للحكم بوضع الشارع
“ Sifat yang dijadikan sebuah hokum dengan ketentuan syare’at “
Contoh Khomr, dalam khomr ada sifat yang memabukkan, wujudnya sifat memabukkan ini tidak lah diharamkan hingga syare’atlah yang menentukan keharamannya.
Dan hokum berputar pada iilatnya bukan pada hikmahnya. Jika ada illat maka timbullah hokum dan jika tidak ada illat maka hilanglah hokum.

Contoh ; bepergian saat bulan Ramadhan dibolehkan tidak berpuasa (mokel) dan mengqoshor sholat. Illatnya (sebabnya) adalah karena bepergian (safar).

Hikmahnya adalah menghindari kesulitan atau kepayahan (masyaqqah).
Masyaqqah ini atau kepayahan adalah hal yang relatif pada keadaan masing-masing orangnya. Jika tidak ada masyaqqah alias hilang masyaqqahnya, maka ia tetap boleh mengqoshor sholat dan boleh tidak berpuasa.
Karena bepergian itu merupakan illat yang menimbulkan hokum tsb dan hokum itu mengikuti illatnya yaitu safar bukan pada hikmahnya yaitu menghindari masyaqqah.
Nah sekarang kita bahas apakah illat yang ada dalam hadits tersebut sehingga menimbulkan pelaknatan. Sekali lagi saya masih membahas hadits di atas dan belom melebar pada hadits-hadits lainnya yang semisalnya dan nanti akan kita kaitkan dengannnya.
Untuk mengetahui illat dalam hadits di atas, maka perlu adanya nash lain yang lebih menjelaskannya. Maka di sini lebih tepatnya hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah berikut ini :
عن عائشة رصي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه و على آله و سلم في مرضه الذي لم يقم منه { لعن الله اليهود والنصارى اتخذو قبور أنبيائهم مساجد } قالت : فلولا ذلك ، أبرزوا قبره ، غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً أي يسجد له
“ Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha beliau berkata “ Nabi Saw bersabda di saat sakit yang beliau tidak bias bangun darinya “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “, Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka niscaya para sahabat akan menampakkan makam Nabi akan tetapi (tidak dilakukan) karena dikhawatirkan makam Nabi Saw dijadikan tempat sujud “. (Bukhari dan Muslim)
Dari komentar siti Aisyah dapat kita ketahui bahwa sebab Nabi Saw melaknat orang Yahudi dan Nashoro adalah karena wujudnya penyembahan atau pensujudan terhadap kuburan tersebut. Oleh karenanya siti Aisyah berkata “ Jika bukan hal itu, maka kuburan Nabi Saw akan ditampakkan akan tetapi dikhawatirkan (jika ditampakkan) akan dijadikan tempat sujud atau penyembahan “.

Artinya; Jika bukan karena khawatir makam Nabi disembah-sembah dan disujud-sujudi oleh orang-orang, maka makam Nabi Saw akan ditampakkan, tidak lagi di pagari atau didindingi.
Hal ini ditegaskan lagi oleh imam Al-Qadhi ‘Iyadh Rahimallahu berikut :
قال القاضي عياض: شدد في النهي عن ذلك ، خوف أن يتناهى في تعظيمه ، ويخرج عن حد المبرة إلى حد النكير فيعبد من دون الله عز وجل ، ولذا قال صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد } لأن هذا الفعل كان أصل عبادة الأوثان ولذا لما كثر المسلمون في عهد عثمان واحتيج إلى الزيادة في المسجد وامتدت الزيادة حتى أدخلت فيه بيوت أزواجه صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، أدير على القبر المشرف حائط مرتفع ، كي لا يظهر القبر في المسجد ، فيصلى إليه العوام ، فيقعوا في اتخاذ قبره مسجداً ثم بنوا جدارين من ركني القبر الشماليين وحرفوهما حتى التقيا على زاوية مثلثة من جهة الشمال 
، حتى لا يمكن استقبال القبر في الصلاة ، ولذا قالت : لولا ذلك لبرز قبره اهـ
Al-Qadhi Iyadh berkata “ Beliau  benar-benar melarang perbuatan itu (menampakkan makam Nabi Saw), karena ditakutkan berlebihan dalam mengagungi Nabi Saw dan akan keluar dari batas motif kebaikan pada batas motif kemungkaran sehingga ia akan menyembah pada selain Allah Swt. Oleh sebab itu lah Rasul Saw bersabda “ Ya Allah jangan jadikan kuburanku sebagai sesembahan yang disembah-sembah “, karena perbuatan ini adalah pokok dari perbuatan menyembah berhala-berhala. Oleh sebab ini pula, di masa Utsman bin ‘Affan saat masjid Nabawi butuh pelebaran dan perluasan hingga masuk pada rumah-rumah istri Nabi Saw, maka makam Nabi Saw dipagari dengan dinding yang agak tinggi, supaya kuburan beliau tidak tampak dalam masjid, sehingga (jika ditampakkan) orang awam akan sholat mengarah kuburan nabi Saw dan jatuh pada istilah menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai tempat sujud. Kemudian para sahabat membangun dua dinding dari dua sudut makam Nabi Saw sebelah utara dan selatan dan para sahabat merubahnya hingga menjadi sudut segi tiga dari arah selatannya, sehingga tidak memungkinkan menghadap kuburan beliau di dalam sholat. Oleh sebab inilah siti Aisyah berkata “ Kalau bukan sebab itu, maka makam Nabi akan ditampakkan “.
Dari ucapan siti Aisyah dan penjelasan al-Qadhi, semakin jelas dan terang bahwa illat / sebab Nabi Saw melaknat kaum Yahudi dan Nashara adalah karena mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat pensujudan yang mereka sembah-sembah. Sehingga mereka menyembah kuburan tersebut dan telah menysirikkan Allah Swt.
Dalam riwayat yang lainnya yaitu riwayat Abu Hurairah, disebutkan bahwasanya nabi Saw bersabda :
 اللهم لا تجعل قبري وثناً لعن الله قوماً اتخذوا من قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan, semoga Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “.
Setelah Nabi Saw menyebutkan kata watsanan (sesembahan), maka Nabi Saw mengucapkan laknat pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud, maka kalimat La’anallahu qouman dan seterusnya merupakan sebagai penjelas makna watsanan yaitu menyembah kuburan dan sujud pada kuburan yang merupakan perbuatan syirik pada Allah Swt.
Dan juga merupakan isyarat agar umatnya nanti setelah beliau wafat, tidak menjadikan makam beliau Saw seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro pada makam-makam Nabi mereka yaitu menjadikan kuburan para nabi sebagai sesembahan.
Dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan berikut ini :
{ لعن الله اليهود ، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد } يحذر مثل ما صنعوا
“ Semoga Allah melaknat orang Yahudi yang menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud “. Si perawi hadits ini berkomentar “ Nabi Saw memberi peringatan agar tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi tersebut “  yaitu menjadikan kuburan sebagai sesembahan.
(Bukhari dan Muslim)
Doa Nabi Saw tersebut agar makamnya tidak dijadikan berhala yang disembah (watsanan yu’bad), merupakan titik penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Dan juga merupakan sebuah isyarat Nabi Saw pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro yaitu menyembah kuburan nabi mereka sebagai watsanan yu’bad.
Dan telah terkabullah doa Nabi Saw tersebut, terbukti kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai watsanan yu’bad (berhala yang disembah). Fa lillahil hamdu wal minnah..
Karena kita tahu bahwa do’a nabi Saw selalu dikabulkan oleh Allah Swt.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
لكل نبي دعوة مستجابة يدعو بها وأريد أن أختبئ دعوتي شفاعة لأمتي في الآخرة
“ Setiap Nabi memiliki do’a yang (pasti) dikabulkan jika ia berdoa, dan aku ingin menyimpan doaku (yang pasti mustajab ini) sebagai syafa’at bagi umatku kelak di akherat “
Imam Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Barinya berkata mengenai hadits do’a ini berikut :
وقد استشكل ظاهر الحديث بما وقع لكثير من الأنبياء من الدعوات المجابة ولا سيما نبينا - صلى الله عليه وسلم - وظاهره أن لكل نبي دعوة مستجابة فقط والجواب أن المراد بالإجابة في الدعوة المذكورة القطع بها وما عدا ذلك من دعواتهم فهو على رجاء الإجابة وقيل معنى قوله " لكل نبي دعوة " أي أفضل دعواته ولهم دعوات أخرى
“ Dzahirnya hadits terdapat kemusykilan dengan beberapa doa para Nabi Saw yang msutajabah terutama Nabi kita Muhammad Saw. Dhahir hadits mengatakan bahwa setiap Nabi hanya memiliki satu doa saja. Maka jawabannya adalah yang dimaksud dengan doa yang dikabulkan dalam hadits tersebut adalah “ doa yang pasti dikabulkan “ adapun selain itu dari doa-doa para nabi, maka selalu ada harapan dikabulkan. Ada yang mengartikan hadits tsb bahwa yg dimaskud setiap nabi memiliki satu doa maksudnya adalah satu doa yang paling utama, dan para nabi memiliki doa-doa yg lainnya “.
Komentar para ulama tentang Hadits di atas :
1.            Imam Baidhowi dalam kitab Syarh Az-Zarqani atas Muwaththo’ imam Malik berkata :
قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه ، أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .

والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya.
Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya.
Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “
(Kitab syarh Az-Zarqani bab Fadhailul Madinah)
Qoul ini banyak dinukil oleh para ulama pensyarah Hadits seperti imam Ibnu Hajar Al-Astqalani dalam Fathu al-Barinya dan imam Al-Qadhi dalam Faidhul Qadirnya, imam az-Zarqani dalam syarh muwaththo’nya dan selainnya.
Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.
Dan beliau menghukumi makruh sholat di pemakaman yang ada bongkaran kuburnya karena dikhawatirkan ada najis, jika tidak ada bongkarannya maka hukumnya boleh tidak makruh.
Catatan :

Menurut imam Baidhawi larangan yang bersifat makruh tanzih tersebut, bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya. Beliau memperjelasnya dengan kalimat :
لما فيها من النجاسة
Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.
Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Beliau berkata :
وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة
“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.
2.      Imam Az-Zarqani dalam kitab Syarh Muwaththo’nya berkata ketika mengomentari makna MASAJID dalam hadits Qootallahu berikut :
( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) أي اتخذوها جهة قبلتهم مع اعتقادهم الباطل ، وأن اتخاذها مساجد لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وقدم اليهود لابتدائهم بالاتخاذ وتبعهم النصارى فاليهود أظلم
“ (Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid / tempat sujud) yang dimaksud adalah mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat mereka dengan aqidah mereka yang bathil. Dan menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid melazimkan untuk menjadikan masjid (tempat sujud) di atas kuburan seperti sebaliknya. Dalam hadits di dahulukan orang Yahudi karena mereka lah yang memulai menjadikan kuburan sbgai masjid kemudian diikuti oleh orang nashoro, maka orang yahudi lebih sesat “.

Kemudian setelah itu beliau menukil ucapan imam Baidhawi tersebut. Dan setelahnya beliau berkomentar :
لكن خبر الشيخين كراهة بناء المساجد على القبور مطلقا ، أي : قبور المسلمين خشية أن يعبد المقبور فيها بقرينة خبر : " اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد " فيحمل كلام البيضاوي على ما إذا لم يخف ذلك
 .“ Akan tetapi Hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim tersebut menunjukkan KEMAKRUHAN membangun masjid di atas kuburan secara muthlaq, yaitu kuburan kaum muslimin karena ditakutkan penyembahan pada orang yang dikubur, dengan bukti hadits “ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah. Maka ucapan imam Baidhawi tersebut diarahkan jika tidak khawatir terjadinya penyembahan pada orang yang disembah “.
3.            Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya at-Tamhid lima fi al-Muwaththo min al-Ma’ani wa al-asaanid :
فى هذا الحديث إباحة الدّعاء على أهل الكُفر، وتحريم السّجود على قبور الأنبياء، وفى معنى هذا أنّه لا يحل السّجود لغير الله جل وعلا، ويحتمل الحديث أنْ لا تُجعل قبور الأنبياء قِبلة يُصلّى إليها. ثم قال ابن عبد البر: وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة
“ Di dalam hadits itu mengandung ; dibolehkannya mendoakan buruk pada orang kafir, diharamkannya sujud di atas kuburan para nabi, semakna juga keharaman sujud pada selain Allah Swt. Hadits itu juga mengandung makna untuk tidak menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat yang ia sholat menghadapnya. Kemudian dalam ucapan beliau selanjutanya, beliau berkata “Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Coba renungkan pendapat imam Ibnu Abdil Barr, bahwa beliau tidak menjadikan hadits di atas sebagai hujjah pelarangan sholat di maqbarah atau sholat menghadap ke maqbarah.  Bahkan beliau menyalahkan orang yang menggunakan hadits di atas sebagai pelarangan sholat di maqbarah atau menghadap maqbarah, meminjam bahasa gaulnya “ Gak nyambung “.
Untuk pembahasan sholat dipekuburan ini, saya akan kupas pada pembahasan berikutnya setelah ini.

4.            Imam Ath-Thibiy dalam kitab Mirqah al-Mafatih syarh Misykah al-Mashobih berkata :
: قال الطيبي : كأنه - عليه السلام - عرف أنه مرتحل ، وخاف من الناس أن يعظموا قبره كما فعل اليهود والنصارى ، فعرض بلعنهم كيلا يعملوا معه ذلك ، فقال : ( لعن الله اليهود والنصارى ) : وقوله : ( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) : سبب لعنهم إما لأنهم كانوا يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيما لهم ، وذلك هو الشرك الجلي ، وإما لأنهم كانوا يتخذون الصلاة لله تعالى في [ ص: 601 ] مدافن الأنبياء ، والسجود على مقابرهم ، والتوجه إلى قبورهم حالة الصلاة ; نظرا منهم بذلك إلى عبادة الله والمبالغة في تعظيم الأنبياء ، وذلك هو الشرك الخفي لتضمنه ما يرجع إلى تعظيم مخلوق فيما لم يؤذن له ، فنهى النبي - صلى الله عليه وسلم - أمته عن ذلك لمشابهة ذلك الفعل سنة اليهود ، أو لتضمنه الشرك الخفي ، كذا قاله بعض الشراح من أئمتنا ، ويؤيده ما جاء في رواية : ( يحذر ما صنعوا )

Ath-Thibiy berkata “ Seakan-akan Nabi Saw mengetahui bahwa beliau akan meninggal dan khawatir ada beberapa umaatnya yang mengagungi kuburan beliau seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nashara. Maka Nabi mngucapkan kata laknat, agar umatnya tidak melakukan itu pada kuburan Nabi Saw, sehingga Nabi Saw bersabda ; “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro “ dan sabda Nabi Saw “ Mereka telah menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud mereka.

Sebab adanya pelaknatan, adakalanya mereka konon sujud pada kuburan para nabi sebagai bentuk pengagungan pada nabi  mereka, dan inilah bentuk kesyirikan yang nyata. Dan adakalanya mereka menjadikan sholat pada kuburan para Nabi, sujud pada kuburan mereka dan menghadap kuburan mereka saat sholat, karena mengingat ibadah pada Allah dengan hal semacam itu dan berlebihan di dalam mengagungi para nabi, dan hal ini merupakan bentuk kesyirikan yang samar, karena mengandung pada apa yang kembali akan pengangungan makhluk yang tidak ditoleran ileh syare’at.

Maka Nabi Saw melarang umatnya dari melakukan hal itu karena menyerupainya pada kebiasaan orang Yahudi. Atau mengandung syrirk yang samar sebagaimana dikatakan oleh sebagian pensyarah hadits dari para imam kita. Yang menguatkan hal ini adalah kalimat riawayat berikut “ Nabi Saw memberi peringatan agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro “.

5.            As-Syaikh As-Sanadi dalam kitabnya Hasyiah As- Sanadi berkomentar tentang maksud hadits di atas sebagai berikut :
ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيمًا أو بجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركًا غير ممنوع
“ Yang dimaksud hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi Saw memperingatkan umatnya agar tidak berbuat dengan makam beliau sebagaimana orang Yahudi dan Nashoro berbuat terhadap makam para nabi mereka berupa menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Baik sujud pada kuburan dengan rasa ta’dzhim atau menjadikannya sebagai qiblat yang ia menghadap padanya diwaktu sembahyang atau semisalnya. Ada yang berpendapat bahwa seamata-mata menjadikan masjid di samping makam orang sholeh dengan tujuan mendapat keberkahan, maka tidaklah dilarang “ (Hasyiah As-Sanadi juz 2 hal/ 41)
Maka dengan membaca penjelasan siti Aisyah dan komentar para ulama di atas dapat kita tangkap bahwa illat, manath, motif atau sebab pelaknatan Nabi Saw kepada orang yahudi dan nashoro adalah wujudnya penyembahan pada kuburan, mereka menjadikan kuburan sebagai tempat sujud, mereka menjadikan kuburan sebagai sesembahan sehingga ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah Swt.
FIQHUL HADITS :
1.            Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan sebagaimana kaum Yahudi dan Nashoro menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat peribadatan yang mereka sujud pada kuburan itu.
2.            Nabi Saw melarang umatnya mengikuti perbuatanYahudi dan Nashoro tersebut.
3.            Dalam hadits tersebut tidak menyinggung masalah sholat dipekuburan / pemakaman
4.            Illat atau sebab Nabi Saw mengecam orang yahudi dan nashoro dengan laknat adalah karena mereka menyembah kuburan dan telah menysirikkan Allah Swt.

Pembahasan berikutnya, saya akan membahas :

-          Makna Hadits kedua (لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها)
-          Tentang sholat di pekuburan / pemakaman
-          Tentang sholat di dalam masjid yang terdapat makamnya
-          Tentang membangun sebuah bangunan di atas kuburan

Tentunya pembahasan akan kita kaji dengan beberapa disiplin ilmu (ilmiyyah), agar lebih mengetahui makna yang sahih dan maksud yang sebenarnya.
Berikut kutipan perkataan Habib Munzir Al Musawa  tentang tidak ada pembedaan antara  tawassul pada yang hidup dan mati
***** awal kutipan *****
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para Tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul Shallallahu alaihi wasallam mengajarkannya, Sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tak ada pula yg membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yg membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yg hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dg Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??, tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat
***** akhir kutipan *******
Oleh karenanya cukuplah bersholawat atau bertawasul pada makam Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam contohnya dengan membaca doa
Artinya : Selamat sejahtera atasmu wahai Rasulullah, rahmat Allah dan berkat-Nya untukmu. Selamat sejahtera atasmu wahai Nabiyallah. Selamat sentosa atasmu wahai makhluk pilihan Allah. Selamat sejahtera aasmu wahai kekasih Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan ( yang disembah) selain Allah, Yang Esa/ Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya dan engkau adalah hamba-Nya serta rasul-Nya. Dan saya bersaksi, bahwa Engkau telah menyampaikan risalah engkau telah menunaikan amanat egkau telah memberi nasihat pada ummat, engkau telah berjihad di jalan Allah maka selamat-Nya, untukmu selawat yang berkekalan sampai hari kiamat, Wahai tuhan kami, berilah kami ini kebaikan di dunia dan kebaikan pula di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Allah, berilah pada beliau kemuliaan dan martabat yang tinggi serta bangkitkan dia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya, sesungguhnya Engkau tidak akan memungkiri janji.
Semoga hal ini bermanfaat untuk menangkal aqidah buruk mereka  yang melarang ziarah kubur.

Wassalam


 sumber :
 Zon Jonggol , Mutiara Zuhud
ibnu-alkatibiy.blogspot.com